Beberapa saat lalu lagi-lagi saya membaca artikel tentang perpustakaan atau persewaan buku, baik itu komik maupun novel yang bangkrut dan terpaksa harus menjual koleksinya demi biaya pengobatan untuk sang istri.
Satu sisi, saya prihatin (lagi) dan menyayangkan tutupnya perpustakaan tersebut. Namun di sisi lain, baru saja saya kesana dan membeli beberapa koleksi komik beliau.
Saat memasuki perpustakaan tersebut, saya disambut dengan penuh sesaknya pengunjung yang tengah berburu komik legend. Sampai-sampai tempat parkir tidak cukup dan terpaksa saya harus memarkir kendaraan di seberang jalan.
Memang, persewaan komik atau yang disebut taman baca ini sudah viral di media sosial karena kisah beliau yang tragis karena pergeseran zaman.
Saya pun baru sempat datang setelah kurang lebih 10 hari viral di banyak media sosial, bahkan sudah banyak dibahas di grup aplikasi chatting, baik grup literasi atau hanya sekedar grup reuni.
Sudah banyak novel yang terjual. Saya tidak lagi bisa menemui novel Harry Potter dan semacamnya. Hanya tersisa karangan Sandra Brown dan novel-novel roman lain yang tidak saya kenal saat remaja dulu.
Novel-novel dibandrol dengan harga setengah dari harga beli yang tertera pada buku. Sedangkan komik, dibandrol dengan harga 3000 hingga 7500 rupiah.
Menurut penuturan teman dan orang terdekat saya pun, konon perpustakaan ini terkenal dengan komiknya yang lengkap dan selalu update di zamannya. Bahkan saat itu saudara saya rela naik angkutan umum untuk menyewa komik dari tempat ini, karena memang masih jarang sekali persewaan buku saat itu, apalagi selengkap Perpustakaan Eddy.
Saya pun punya pengalaman menyewa komik dan novel-novel dari persewaan buku dekat rumah, karena saat itu tidak pernah punya uang untuk beli sendiri. Boro-boro nabung untuk beli komik atau novel, uang jajan sudah habis duluan karena lebih tertarik untuk membeli es campur saat matahari menyengat setelah berjalan jauh menempuh jarak dari sekolah ke rumah.
Tidak jarang liburan dan uang hasil berburu dari lebaran, saya habiskan untuk menyewa komik dan novel kesukaan. Berbeda dengan sekarang. Hampir setiap membuka instagram, saya sudah bisa menikmati komik gratis di timeline saya. Hampir setiap hari line memberitahukan bahwa ada update komik terbaru di aplikasi line webtoon. Jadi, inilah mungkin salah satu penyebab perpustakaan tidak lagi ramai didatangi orang-orang.
Dari segi waktu, tempat dan ruang, bacaan digital lebih praktis menurut kebanyakan orang. Mereka bisa membacanya dimana saja, kapan saja, gratis pula. Maka saya pun tidak bisa menyalahkan mereka-mereka yang tidak lagi berminat mengunjungi persewaan buku (komik dan novel). Bahkan perpustakaan yang menyewakan buku gratis saja tidak lagi menjadi jujukan pertama untuk mencari suatu hal setelah google menjadi mesin pencari nomor satu yang kita pakai saat ini.
Jangan melihat orang lain, kemudian mengkritiknya habis-habisan karena tidak ikut melestarikan “buku”. Lihat dulu pada diri kita, sudahkah kita benar-benar terlepas dari “mesin pencari” pada gawai? Kalau dulu kita harus rela merogoh kocek untuk membeli kamus, untuk membeli RPUL, atau buku-buku intisari pengetahuan yang lain, maka kita sekarang hanya perlu mengetik kata kunci dari gawai kita, lalu? Tara… Dapatlah banyak informasi yang bisa kita pilih. Termasuk bagaimana teman bloger menemukan tulisan ini dalam blog saya.
Apakah salah demikian? Nyatanya begitulah perkembangan zaman. Kita tidak bisa menyalahkan keadaan, karena beginilah tantangan hidup dari waktu ke waktu. Kita sebagai manusia yang dianugerahi akal pikiran harus mencari inovasi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman jika tidak ingin lumat menjadi abu. Lagi-lagi seleksi alam.
Begitu pula yang terjadi dengan angkutan kota yang semakin tergerus dengan moda transportasi online yang lebih praktis, cepat dan hemat.
Keduanya sama-sama mencari nafkah, keduanya juga sama-sama berusaha untuk melayani dengan baik. Namun sekali lagi, inilah perkembangan zaman. Tidak bijak jika kita menyalahkan satu sama lain, melabeli buruk satu sama lain hanya karena ada kelompok pendukung dan penentang.
Saya pun baru bisa membeli buku yang kertasnya selalu saya ciumi baru-baru ini saja. Karena saya punya uang, punya penghasilan sendiri. Meskipun banyak beredar ebook saya lebih memilih buku versi cetak yang nyata bisa saya cium harum kertasnya. Namun saya pun tidak juga memandang buruk orang yang lebih gemar membaca lewat layar. Peristiwa bangkrutnya persewaan buku bukan hal baru. Buktinya sudah ada dua persewaan buku yang gulung tikar dekat rumah saya. Tergantikan menjadi coffee tempat nongkrong yang instagram-able.
Jika ingin membantu, segera datang dan berikan sedekah terbaikmu untuk beliau. Jangan hanya sekedar berteriak, ini semua gara-gara ebook atau apalah itu. Jangan saling menyalahkan atau melabeli dengan gelar buruk seperti yang banyak diperdebatkan di banyak group diskusi.. Terima perubahan zaman dan beginilah memang keadaannya.
Mari langsung turun dengan aksi nyata, bukan kata-kata belaka.
*diambil dari pengalaman pribadi di tahun 2018
Kasihan banget..
Tapi ya gimana perkembangan zaman..
bukan salah siapa”..
Aku pun lebih suka cari refrensi lewat gawai. Tapi kalau boleh jujur, lebih nyaman baca buku daripada baca gawai.
aku dulu suka pinjam dan nyewa buku…Mbak jihan. Sekarang memang banyak buku digital mudah di akses. Namun aku lebih suka baca buku secara fisik. rasanya mareeemm….