“Hadiah tak selalu di bungkus dengan indah. Kadang Tuhan membungkusnya dengan masalah dan penantian. Meski begitu, di dalam hadiah itu tetaplah berkah.” -anonim-

Sebagai pejuang dua garis biru maupun merah (karena tergantung alatnya, hehe) saya sudah lumayan kebal sih ketika bertemu orang dan selalu ditanya, “Sudah punya putra?” yang kemudian akan saya jawab dengan senyuman. Karena kalau dijawab dengan kata-kata, akan jadi panjang ceritanya. Lalu pertanyaan-pertanyaan tak menyenangkan akan hadir kembali dan menyesakkan dada saya.

Namun sebenarnya saya maklumi orang-orang melempar pertanyaan seperti itu setelah enam tahun pernikahan kami tidak juga datang ke kondangan bertiga. Atau datang ke reuni SMP atau SMA. Mereka mungkin peduli dan ingin bertanya kabar, dan kabar soal anak rasanya menjadi perbincangan yang menyenangkan bagi kita-kita yang akan memasuki kepala tiga.

pejuang dua garis biru

Mari saya ceritakan lewat tulisan ini bagaimana perjuangan dua garis biru yang mungkin bisa menjadi pelajaran bagi teman-teman semua, juga sebagai bentuk rasa syukur pada Allah karena masih karuniakan saya kebaikan dan kasih sayangNya.

Vonis Dokter atas Takdir Pejuang Dua Garis Biru

“Duh mas perutku kok sakit banget ya.” Ucap saya saat itu. Kira-kira 1,5 bulan pasca pernikahan kami. Saya mengeluhkan sakit di perut bagian bawah, letaknya persis ketika saya sakit saat menstruasi. Saya termasuk perempuan yang jarang sekali mengalami kram perut. Bisa jadi satu tahun sekali atau bahkan dua tahun sekali nyeri di perut itu datang saat menstruasi. Sisanya lancar-lancar saja.

Namun ada yang aneh di hari itu. Sakitnya luar biasa dan saya tidak pernah mengalami sakit sehebat ini. Akhirnya suami pun berinisiatif untuk membawa saya ke dokter spesialis kandungan yang sudah jadi langganan ibu saya sejak pernikahannya.

Saat itu saya benar-benar tidak berpikir macam-macam. Saya malah deg-degkan dan dengan pedenya merasa saya mungkin hamil. Namun usai dokter memeriksa saya dengan USG, wajah beliau tampak berbeda dibanding saat menyambut saya masuk ke ruangannya hari itu.

Ini mioma mbak.. Coba kita lihat hasil USGnya. Jadi di tempat dedek itu tumbuh jaringan yang mengakar ke rahim. Jadilah miom ini. Jalan satu-satunya ya operasi. Mensnya banyak banget ngga? Sudah punya anak?

Bagai petir di siang bolong, saya mendengar pemaparan dokter dan segera menjawab bahwa baru 1,5 bulan yang lalu kami menikah. Saat itu saya tidak tahu miom itu apa. Namun yang jelas, ada gumpalan besar di dalam rahim saya waktu itu. Inikah yang membuat saya kesakitan? Dan memang, selama 3 bulan belakangan ini darah menstruasi yang keluar sangat banyak. Tidak seperti biasanya.

Begini saja, karena baru saja menikah, saya kasih resep yaa. Sambil ikhtiar siapa tahu tahun depan bisa diangkat sekalian sama bayinya. Dokter mengucapkan itu sambil menuliskan resep berupa pengendali hormon estrogen.

Beruntung suami saya adalah orang yang tenang, dan beliau segera membawa saya keluar dari ruangan dokter dan menebus resep yang diberikan. Tidak ada air mata saat itu. Saya melihat wajah suami yang nampaknya juga sangat shock dengan kabar yang baru saja kami dengar.

Sesampainya di rumah saya segera mencari tahu apa itu mioma. Saya pun mencocokkan hasil analisis dokter pada kartu periksa yang diberikan. Mioma uteri. Tertulis begitu di dalam kartu saya. Ternyata mioma adalah benjolan atau tumor jinak yang tumbuh di rahim. Miom atau fibroid uterus dapat tumbuh di dinding rahim bagian dalam maupun bagian luar.

Sedangkan dalam kasus saya, miom ini tumbuh di endometrium alias bagian dalam rahim. Benar-benar menempati kantong untuk tempat bayi. Saya pun mencari tahu segala hal tentang mioma ini. Apa sebabnya, bagaimana cara pengobatannya, apa dampaknya, dan lain sebagainya.

Siapa sangka di usia 23 tahun saya punya tumor yang mengancam masa depan?

pejuang dua garis biru

Namun semakin saya banyak membaca soal mioma uteri ini saya semakin stres. Kali kedua kontrol ke dokter pun saya dimarahi habis-habisan. Kata beliau, “jangan baca-baca di internet. Karena setiap orang itu tubuhnya berbeda-beda, ngga bisa dipukul rata seperti yang kamu baca di internet. Jadi jangan menyerah, jangan sedih dan jangan stres!”. Nasihat beliau memang ada benarnya. Namun saat itu saya benar-benar ingin tahu bagaimana penyakit ini bisa tumbuh, bagaimana ia bisa kambuh dan bagaimana cara menghilangkannya.

Bukannya solusi yang saya dapat, kondisi saya makin drop. Bahkan saya harus bedrest karena pendarahan yang tak henti-henti sebulan setelah pemeriksaan itu. Kadar hb (haemoglobin) dalam tubuh saya pun sangat mengenaskan. Hanya tinggal 3,4 atau 4 saya lupa persisnya saat itu (normalnya 11-12 untuk perempuan).

Menjadi pejuang dua garis biru ternyata juga menguras harta, tenaga dan biaya.

Akhirnya dua bulan setelah pemeriksaan itu, saya harus transfusi darah. Saat itu saya menghabiskan 2 hingga 3 ampul darah setiap tiga bulan sekali untuk keperluan transfusi. Kondisinya selalu berulang. Setelah transfusi darah saya akan kembali fit dan bisa beraktivitas lagi. Namun dua bulan setelahnya (karena pendarahan setiap kali menstruasi) saya harus tranfsusi lagi karena hb turun lagi. Dokter masih percaya saya akan bisa hamil dalam rentang waktu itu.

Segala macam ikhtiar telah saya lakukan. Mulai pengobatan herbal hingga obat dari dokter. Namun hasilnya tak memuaskan. Bahkan ukuran miom dalam rahim saya semakin besar dan semakin mendesak jaringan yang lain. Dokter takut jaringan ini akan menjadi lebih ganas dan berbahaya bagi kondisi tubuh sepenuhnya.

Suami saya pun masih sangat percaya saya akan bisa hamil meskipun dalam kondisi seperti itu. Bahkan ketika kondisi saya drop karena kehabisan darah, suami tak hentinya memberikan semangat dan kesabarannya melebihi kesabaran lelaki manapun yang pernah saya temui di dunia ini. Serius, ini bukan lebay.

Dialah yang mencuci rambut saya ketika saya tidak mampu berdiri untuk mandi. Tidak lelah ia siapkan segala kebutuhan saya di atas tempat tidur. Meskipun ada kalanya saya bosan dan ingin jalan-jalan, punggung sudah sangat panas karena terlalu banyak berbaring, suami tetap menemani hingga saya pun menyerah.

Apa sih Penyebab Miom?

pejuang dua garis biru

source : PBSafety

Seperti yang telah dilansir oleh Ibupedia.com mengenai penyebab miom, tak ada seorang pun yang tahu pasti penyebab terjadinya tumor otot rahim pada perempuan. Namun perubahan hormon estrogen dalam tubuh wanita lah yang diduga kuat menjadi penyebab utama bertumbuhnya tumor otot rahim ini.

Seperti yang teman-teman ketahui, ketika kita hamil, banyak terjadi perubahan hormon dalam tubuh. Termasuk hormon estrogen. Kadar estrogen dalam tubuh ibu hamil cenderung mengalami peningkatan, hal inilah yang dapat memicu pertumbuhan miom dalam tubuh menjadi lebih besar. Sebenarnya setiap wanita didunia yang memiliki kemampuan untuk hamil pasti memiliki cikal bakal miom.

Meskipun saat itu saya belum sempat hamil, namun Prof. dr. Soetomo, Sp. OG, dr. Kusuma Andriana, Sp. OG, dan terakhir dioperasi oleh DR. dr. Prita Muliarini, Sp OG (K)Si kompak menyatakan bahwa usia produktif setelah pernikahan saat itu menjadi lahan subur berkembangnya mioma dalam tubuh saya. Kadang, perempuan sebelum menikah pun juga banyak yang mengalami kista atau bahkan miom. Semua semata karena lonjakan hormon yang tidak stabil.

Jadi bagi teman-teman yang pernah mengalami keluhan nyeri yang sama atau gejala yang sama, segera periksakan ke dokter yuk. Agar kalaupun ada kista atau mioma dalam tubuh kita, segera dapat terdeteksi dengan baik.

Apa yang Harus Dilakukan?

Masih dari Ibupedia.com, tak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegah munculnya miom dalam tubuh. Karena miom itu sendiri berkenaan dengan produksi hormon estrogen dalam tubuh perempuan. Namun jika kita merasa termasuk salah satu orang yang menderita miom, cobalah tips berikut ini untuk sekedar meringankan rasa sakit yang  diderita di saat sedang merasakan nyeri :

  • Beristirahatlah di kursi atau tempat tidur yang membuat kita merasa nyaman ketika rasa sakit mulai mendera.
  • Taruhlah botol yang berisi air hangat diatas perut, hal ini diketahui dapat meringankan nyeri pada area perut.
  • Mintalah resep untuk meringankan rasa sakit yang diderita pada dokter.
  • Makanlah makanan yang tinggi kandungan zat besinya untuk menghindari Anemia, mengingat kita akan selalu mengalami menstruasi yang tidak biasa dan bisa saja menyebabkan anemia. Teman-teman bisa mengkonsumsi makanan seperti daging merah, bayam atau bisa juga meminum suplemen zat besi yang direkomendasikan oleh dokter.

Keempatnya sudah pernah saya praktikkan, dan itu cukup membantu untuk bertahan hingga hari H operasi.

Catatan Pejuang Dua Garis Biru : Ada Saatnya Kita Perlu Menyerah untuk Kebaikan

Satu tahun berlalu dengan kondisi yang demikian. Bolak balik transfusi sampai perawat dan dokter di Rumah Sakit sudah hapal dengan saya. Bantuan mereka saat saya di titik paling lemah akan saya ingat sampai akhir hayat. Sungguh, di saat-saat seperti itu rasanya saya tidak ingin apa-apa kecuali bisa sehat seperti sedia kala.

Keinginan untuk mendapatkan anak setelah satu tahun pernikahan pun tidak juga nampak hilalnya. Saya sudah lelah setiap tiga bulan sekali harus transfusi darah dengan prosedur yang sangat melelahkan tentu saja. Rontgen paru, jantung, tes alergi, hingga rawat inap yang minimal harus saya habiskan selama 10 hari di Rumah Sakit.

Saya mulai frustasi dan putus asa. Begitu juga dengan ayah saya yang selalu berkata,

Udahlah Nduk, ngga apa-apa operasi saja. Soal anak itu rezeki. Lihat ibumu, sudah disteril indung telurnya tapi masih tetap bisa punya anak kan? Sekarang yang paling penting itu kesehatanmu.

Begitulah beliau menasihati kami yang sudah babak belur dari sisi psikologi, jasmani hingga materi. Saya juga mulai sounding ke suami jika kelak saya benar-benar harus melakukan histeroktomi (operasi pengangkatan rahim) maka saya akan membolehkan suami saya untuk menikah lagi. Demi keturunan yang bisa ia dapatkan di tengah-tengah keluarganya. Maklum, suami saya adalah anak laki-laki satu-satunya di kelurganya.

Oleh karena saya merasa sangat bersalah ketika tidak bisa memberikan keturunan untuk mereka. Belakangan saya sadar, kalimat itu sebenarnya kalimat yang penuh emosi dan keputusasaan. Kalau sekarang, mana rela berbagi suami? Beruntungnya suami saya saat itu menggeleng, ia akan menunaikan janjinya pada ayah saya hingga akhir, katanya.

Hingga suatu hari suami saya pun setuju untuk melakukan hiteroktomi. Soal anak, benar kata ayah, adalah rezeki yang sudah Allah tetapkan. Saya pun lebih tenang. Mungkin ayah dan suami saya sudah tidak tega dengan kondisi yang terus-terusan seperti itu. Bahkan dokter pun mengatakan bahwa tidak baik untuk tulang belakang juga jantung jika terus menerus melakukan transfusi darah. Oleh karena itu akar pemasalahannya harus segera diambil. Jalan satu-satunya untuk saat ini memang histeroktomi.

Maka terjadilah operasi pengangkatan rahim saat itu. Lega sekaligus sedih. Lega karena saya bisa beraktivitas kembali seperti biasanya. Sedih karena secara medis saya tidak akan pernah menjadi seorang ibu.

Amor Fati, Cintai Takdirmu

perjuangan dua garis biru

Pada akhirnya di pertengahan tahun 2014 takdir Allah menguji hati dan iman saya. Merelakan segala yang saya punya dan berserah diri pada Allah, mencoba mencintai takdir. Lalu dengan kondisi hb yang membahayakan dan transfusi yang tidak lagi dianjurkan, histeroktomi itu saya jalani.

Bagaimana seorang wanita merasa dirinya utuh ketika rahimnya diangkat? Umur pernikahan baru satu tahun dan harus menerima fakta bahwa saya tidak akan pernah bisa punya anak secara medis adalah hal yang sangat menyedihkan.

Begitulah pilihan. Kadang menyesal, andai saya bisa bertahan lebih lama. Tapi justru kalimat andai itu sendiri yang tak kunjung menyembuhkan luka. Berusaha untuk mencintai takdir adalah satu-satunya jalan yang membuat dada saya lapang. Sesungguhnya hidupku, salat dan matiku adalah hanya untuk Allah.

Menjadi ibu memang tidak mudah dan selamanya akan menjadi amal jariyah yang mengalir. Namun jika memang Allah menilai bahwa saya tidak mampu mengemban amanah itu, maka saya pun harus menerimanya dengan lapang dada. Satu-satunya jalan ya memang berdamai dan berusaha mencintai takdir. Siapapun justru akan babak belur jika menentang takdir bukan?

Saya jadi teringat dengan kalimat yang disampaikan oleh Rando Kim dalam bukunya, Amor Fati :

Bukankah keikhlasan untuk menerima kekurangan diri adalah kunci kesehatan maupun kesuksesan? Keikhlasan untuk mengakui kelemahan dan penyakit diri sendiri serta menempa diri dengan tekun untuk memulihkannya. Keikhlasan yang akan membunyikan alarm saat hidup melaju melampaui batas agar kita tidak menjadi sombong.

Apa penyakitmu? Apa kekuranganmu? Rangkullah semua itu dengan kerendahan hati. Dengan demikian, penyakit dan kekuranganmu itu akan menjadi kunci untuk meraih umur panjang dan kesuksesan, bukan lagi menjadi hambatan.

Hari ini pun saya akan menanamkan dalam hati bahwa orang yang sakit akan berumur panjang dan orang yang memiliki banyak kekurangan akan sukses. Ini lebih pada menanamkan pikiran positif dalam diri sendiri sih, dan saya menjadi lebih tenang setelah berpikir demikian.

Saya berpikir, masih banyak orang yang mengalami kemalangan yang lebih menyesakkan ketimbang yang saya alami. Masih banyak perempuan yang lebih menderita dibanding saya. Pun banyak pula perempuan yang menantikan permata sebagaimana kami menantikannya. Pikiran-pikiran seperti itu akhirnya membuat hati tenang dan lapang.

Bahkan ayah saya pernah berkata,

Kamu masih bisa punya anak. Bisa adopsi, bisa merawat anak-anak di panti asuhan, dan juga keponakanmu yang jumlahnya ada sepuluh itu.

Saya pun tertawa. Benar, mana boleh kita berputus asa pada kasih sayang Allah? Sudah diberi hidup dan dikelilingi orang-orang yang menyayangi saya saja sudah sangat bersyukur dan membahagiakan. Bagaimana pula saya menuntut lebih? Tentu saja tulisan ini merupakan motivasi pejuang dua garis biru. Kalau mau dibilang curhat pejuang garis dua, ya memang benar sih. 

Namun di sini saya ingin menuliskan agar pejuang garis dua di luar sana tidak merasa sendiri. Tidak pula harus merasa bersalah dan patah hati. Kamu tidak sendiri, hai perempuan. Yuk kita jemput kebahagiaan masing-masing dengan terus melakukan upgrade diri. Dunia tidak berhenti di sini. Ada banyak tugas yang menanti.

Nah, sebagai penutup yuk mari renungi kalimat berikut :

menjadi ibu

source : facebook/timeforlearning

Inilah yang kemudian menjadi penghiburan bagi diri saya sendiri. Pada akhirnya saya punya Isya yang diberikan oleh Allah di saat dan waktu yang tepat. Karena untuk menjadi Ibu, kita tidak harus melahirkan kok 🙂

Siapa nih yang juga menjadi pejuang garis dua? Testimoni pejuang dua garis biru saya tunggu banget ya di kolom komentar. Agar kita bisa saling mendukung dan juga menguatkan. Selain itu, saya merasa diantara pejuang dua garis biru lain, saya masih harus banyak bersyukur karena perjuangan saya tidak ada apa-apanya dibandingkan teman-teman lainnya.

Semoga bermanfaat 🙂 Semangat!