Paru-paru kita butuh oksigen, tapi oksigen hanya sebagian udara yang kita hirup, dan bagian tersebut cenderung mengecil jika ada makin banyak karbon di atmosfer. Artinya kita terancam sesak napas! Oksigen memang masih banyak tapi kita akan tetap menderita. Dengan kadar CO2 930 parts per million (saat ini sudah dua kali lipat di atasnya), kemampuan kognitif manusia turun 21 persen (Uninhabitable Earth by David Wallace Wells). Mengerikan bukan?
Lalu efek dari itu semua akan lebih terasa di dalam ruangan, dimana karbon dioksida cenderung berkumpul. Itulah alasan kenapa teman-teman hilang kantuknya ketika berjalan-jalan di luar dibanding harus menghabiskan waktu di ruang tertutup.
Sedangkan ruang kelas di sekolah dan juga universitas didesain tertutup untuk mendorong prestasi intelektual itu sendiri.
Tidak hanya soal menurunnya kemampuan kognitif manusia. Tapi kita juga dihadapkan pada permasalahan seperti infeksi saluran pernapasan.
Hal ini sudah menjadi rahasia bersama. Bahkan data WHO berbicara bahwa di negara-negara berkembang, 98% kota diliputi oleh udara dengan kualitas lebih buruk daripada batas aman yang ditetapkan WHO. Termasuk Indonesia (data dari: WHO Global Urban Ambient Air Pollution Database).
Lalu bagaimana solusi dari Pemerintah terkait polusi udara di berbagai kota besar di Indonesia saat ini?
Bagaimana tantangan dan kendala untuk mewujudkan kebijakan mengurangi polusi di kota-kota besar di Indonesia? Seperti apa keseriusan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut? Hal ini sudah dibahas dalam “Diskusi Publik” kerjasama KBR dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI. Yuk simak rangkumannya di sini!
Faktor Penyebab Polusi Udara di Kota Besar Indonesia
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam “Diskusi Punlik” kerjasama KBR dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI, diungkap bahwa banyak faktor penyebab polusi udara di beberapa kota besar saat ini, baik bersifat alami maupun tidak alami.
Faktor alami berupa musim, arah dan kecepatan angin, hingga lanskap kota. Faktor alami ini susah untuk dikendalikan. Adapun faktor tak alami berasal dari aktivitas manusia, seperti sektor transportasi, industri, kegiatan rumah tangga hingga pembakaran sampah.
Pembuangan emisi dari sektor transportasi disebut menjadi penyebab utama polusi di di kota-kota besar di Indonesia, disusul sektor industri. Sektor transportasi yang menjadi penyebab polusi udara kota memang tidak terlepas dari cara masyarakat bertransportasi.
Masyarakat memiliki kesadaran yang masih rendah untuk menggunakan transportasi umum massal jika bepergian atau menuju kantor, dan lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi. Sehingga jalanan menjadi padat, macet, dan tentu saja menjadi penyebab polusi udara yang membahayakan.
Sinergitas Sektor Transportasi dan Sektor Energi untuk Mewujudkan Kualitas Udara Bersih
Hal pertama yang pasti akan teman-teman tanyakan adalah bagaimana solusinya?
Tentu saja solusinya harus dari hulu ke hilir (dari kementerian hingga sektor swasta). Memang yang kita dengar adalah polusi udara, namun jika kita telaah, ini adalah upaya global menuju net zero emission yang sudah kita rasakan bersama dampak dari climate change ini.
Lalu sistem transportasi ini juga menjadi salah satu hal serius, karena masih banyak sekali orang-orang menggunakan kendaraan pribadi. Orang-orang masih malas untuk berbondong-bondong menggunakan transportasi umum. Padahal soal transportasi ini sudah menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi di kota-kota besar Indonesia karena bahan bakar yang digunakan.
Selain itu juga ada PLTU-PLTU swasta yang harus segera diatasi, khususnya di Jabodetabek yang dikepung oleh belasan PLTU. Bahkan di Bali yang mendelegrasikan green island juga ternyata ditemukan PLTU-nya.
Pimpinan Daerah juga kelihatannya tidak menjadikan isu climate change ini menjadi target mereka, padahal ini adalah isu yang sangat penting, bahkan menjadi critical issue agar Pemerintah Pusat hingga Daerah berkomitmen untuk mengembalikan kualitas udara di kota-kota yang terpapar polusi ini.
Ketua Komite Penghapusan Bahan Bakar Bertimbal, Ahmad Safrudin menyatakan bahwa:
“Tahun 2006 dan sebelumnya masalahnya adalah bahan bakar bertimbal sudah dihapus setelah perjuangan panjang. Namun sekarang tantangannya berbeda. Yakni kadar BBM dengan kadar belerang yang sangat tinggi, kadar benzen dan aromatik yang sangat tinggi. Semua itu belum memenuhi standar internasional.”
Kalau kita masih menggunakan bahan bakar kotor untuk transportasi di Indonesia maka selamanya tidak akan lolos menuju uji emisi.
Perlu teman-teman ketahui bahwa bensin yang layak hanyalah Pertamax Turbo. Ini yang paling layak untuk digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dan lulus uji emisi.
Selain bensin juga ada solar yang terdiri dari empat jenis. Yaitu Pertadex, Pertadex High Quality, Bio Solar, dan Solar. Namun yang memenuhi syarat hanya Pertadex High Quality. Namun ini pun diekspor ke Malaysia dengan harga yang sangat murah, yakni sekitar 4300 rupiah per liter. Sementara kita sendiri kesulitan untuk memperoleh bahan bakar yang lolos uji emisi dan sudah kita adopsi standarnya sejak 2018.
Sebenarnya regulasi ini sudah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, namun disabotase sendiri oleh penyedia BBM. Akhirnya ya regulasi tersebut tidak bisa berjalan dengan baik.
Sebenarnya sudah menjadi keharusan bahwa transportasi di Indonesia sudah menggunakan standar terbaru, yakni Euro 4, kalau di Indonesia adalah Pertamax Turbo yang harganya masih terlalu tinggi. Padahal Asia sendiri sudah banyak yang meninggalkan bahan bakar kotor.
“Agar BBM kotor bisa masuk Indonesia, maka dibuat harga yang tidak masuk akal untuk BBM yang bersih dan sesuai standar. Karena sesungguhnya tidak semahal itu. Bahkan di Malaysia untuk BBM yang berstandar Euro 4, harganya sekitar 7000 rupiah saja, hampir setengahnya dari harga Pertamax Turbo.” Demikian penuturan Ketua Pengurus YLKI, Tulus Abadi
Benarkah Masyarakat Lebih Sensitif Terhadap Harga Dibanding Kualitas?
Sebenarnya ketika menuliskan ini, saya juga melihat ke dalam diri sendiri. Bagaimana jika saya ditawari sesuatu yang murah untuk menikmati hidup satu tahun ke depan? Dibanding harus membayar mahal untuk lima tahun ke depan.
Apa yang saya pikirkan (karena emang bukan sultan alias kalangan menengah ke atas banget), punyanya segini, yaudah beli yang segini dulu. Besok-besok kalau ada rezeki beli yang mahal. Lalu pikiran seperti itu terus berulang hingga kita tidak pernah merasa cukup ketika ada rezeki, akhirnya beli yang murah terus. Karena rezeki yang segitu tidak cukup untuk beli yang mahal.
Padahal jika diakumulasikan, kita bisa beli yang mahal dengan kualitas yang lebih awet dan nyaman digunakan meskipun belinya harus ditunda.
Masyarakat juga masih mengira bahwa harga yang murah itu adalah bentuk penghematan. Namun tidak pernah memikirkan jangka menengah hingga jangka panjang.
Dalam kasus bahan bakar, kita boleh berpikir memang murah, tapi kita sendiri akan rugi karena kandungan kalorinya rendah sehingga jarak tempuhnya pun juga rendah. Sedangkan kualitas jarak tempuhnya dipengaruhi oleh kandungan kalorinya. Inilah yang belum bisa dipahami oleh masyarakat.
Oleh karena itu YLKI akan terus mendorong Pemerintah, khususnya Pertamina untuk segera meninjau ulang kembali harga BBM yang ramah lingkungan. Meskipun saat ini sudah mulai merilis Pertamax Green untuk BBM bersih.
Sebenarnya subsidi ini yang harusnya dialihkan ke BBM yang lebih baik kualitasnya. Harusnya subsidi saat ini bisa dialihkan ke BBM yang memenuhi standar, bukan yang di bawah standar atau belum memenuhi standar. Jadi kalau kita bisa mendapatkan harga yang murah untuk BBM ramah lingkungan disertai dengan kesadaran untuk mengurangi polusinya dengan memilih transportasi umum, saya yakin polusi udara di kota besar bisa berkurang drastis.
Memangnya seperti apa sih sebuah kota yang dikatakan berpolusi tinggi itu? Apakah seperti kota Malang yang saat ini saya tinggali? Macet, panas yang tidak biasa (padahal Malang termasuk dataran tinggi), bahkan banjir?
Bagaimana Sebuah Kota Dikatakan Berpolusi Tinggi?
Ibu Luckmi Purwandari sebagai Direktur Pengendalian Pencemaran Udara PPKL KLHK memaparkan bahwa di Indonesia indikator udara berpolusi tinggi ditentukan dengan menggunakan indeks. Dalam hal ini menggunakan parameter kimia, fisika, maupun meteorologinya. Semua itu ada perumusannya dan menghasilkan Indeks Standar Minimal Udara (ISMU).
Parameter kritisnya: memiliki nilai ISMU tertinggi, maka itulah nilai ISMU di daerah tersebut.
Dikatakan baik kalau ISMU nya antara 0-50, 50-100 adalah sedang, 100-200 tidak sehat, 200-300 sangat tidak sehat dan di atas 300 disebut berbahaya.
Standar proper sendiri ada 2 level, yakni :
- Taat : harus taat pada peraturan yang berlaku (tidak hanya pemenuhan baku mutu emisi, tapi juga pengelolaan limbahnya, pengelolaan limbah B3nya) dan itu semua dipublikasi ke masyarakat melalui media sosial
- Hijau dan Emas: artinya tidak hanya taat aturan tapi juga bagaimana inovasi-inovasinya untuk menurunkan emisi, melakukan efisiensi energi, audit energi, hingga program CSR yang menonjol pada pemeliharaan lingkungan. Mudahnya, mereka melakukan hal-hal lebih dari yang diwajibkan.
Yang dilakukan oleh Pemerintah saat ini adalah dengan memperketat baku mutu emisi bagi Pembangkit Listrik Tenaga Termal melalui Peraturan PermenHK tahun 2019. Lalu yang kedua, PLTT diwajibkan untuk memasang peralatan pemantauan untuk mengukurnya sebelum dibuang ke lingkungan. Alat pantau ini otomatis terhubung dengan KLHK dan diawasi terus. Lalu dilakukan penilauan ulang setiap tahun sehingga mendapatkan nilai biru (taat peraturan) atau hijau dan emas (lebih dari taat peraturan).
Selain dari faktor alam, musim juga sangat berpengaruh pada kualitas udara di Indonesia. Lalu pengaruh dari aktivitas manusia (hingga proses produksi konsumsinya) dan lebih didukung lagi oleh mesin di musim kemarau.
Mudah-mudahan atas kesadaran sendiri kita semua bisa melakukan kontrol diri agar tidak sampai mencemari lingkungan. Termasuk memilih untuk menggunakan transportasi umum alih-alih menggunakan kendaraan pribadi saat berangkat bekerja, sekolah, atau bahkan jalan-jalan.
Pengalaman Menggunakan Transportasi Umum yang Nyaman di Surabaya
Saya sendiri sudah merasakan betapa nyamannya menggunakan transportasi umum yang disediakan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Sebagai orang Malang yang transportasi umumnya “buruk”, saya pikir tak ada salahnya Malang meniru Surabaya dalam hal transportasi publik menuju net zero emission.
Bis kota yang dihadirkan untuk masyarakat Kota Surabaya nyaman banget, pos-pos yang dilalui juga sudah banyak dan terjangkau oleh masyarakat luas. Selain itu yang paling penting, ontime! Jadi saya pergi dari terminal menuju hotel tempat undangan yang harus saya hadiri, tidak perlu naik taxi yang mahal.
Cukup bayar lima ribu rupiah saja sudah bisa sampai ke tujuan dengan aman, nyaman dan murah!
Kalaulah di kota saya ada transportasi publik yang nyaman dan terjangkau seperti ini, rasanya adik-adik yang akan berangkat ke kampus tidak lagi butuh “motor” untuk memburu waktu (karena bus dalam kotanya sudah ontime), juga untuk penghematan. Ini murah banget, ditambah kita juga turut mendukung program Pemerintah menuju net zero emission.
Berkendara menuju kepunahan atau tersadarkan setelah bencana yang datang?
Kini pilihan itu ada di tangan kita; memprioritaskan untuk menggunakan transportasi umum atau tetap berada di zona nyaman dengan banyak kemudharatan?
Jika transportasi publik sudah teratasi dengan baik dan apik (karena ada faktor kesadaran dari seluruh masyarakat) maka yang tersisa dari penyebab utama udara yang tidak layak dihirup adalah soal PLTU atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang tersebar di banyak kota-kota besar di Indonesia.
Benarkah PLTU Menjadi Pemicu Terbesar Indeks Standar Minimal Udara Meningkat?
Dikatakan oleh Erwin Edi Syahputra sebagai General Manager PLN Indonesia Power Surabaya PGU bahwa saat ini ada 17 pembangkit termal dan berbahan gas. Sebelas di antaranya adalah PLTU.
PLN selalu bertanggung jawab dalam memelihara lingkungan, terutama dalam hal bahan baku emisi. Untuk beberapa hal sudah PLN implementasikan. Seperti pemasangan alat untuk mengendalikan emisi gas buang. Lalu untuk pemantauan lingkungan menggunakan teknologi secara online dan terintegrasi dengan KLHK. Sehingga bisa dipantau gas buang dari PLN.
Dari total pembangkit tadi tidak semua milik PLN, dan semuanya sudah menetapkan standar lingkungan dan sudah proper. Pengukuran emisi sudah dilakukan secara rutin untuk dilaporkan ke dinas, salah satunya juga ke KLHK.
Beberapa terobosan juga sudah dilakukan, seperti menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya untuk menurunkan emisi, khususnya pemakaian listrik di gedung-gedung. Bahkan yang terbaru PLN juga meluncurkan dan meresmikan 21 lokasi Pembangkit yang memproduksi nitrogen secara green. Karena nitrogen ini sendiri juga sangat dibutuhkan untuk pendinginan.
Semua hal tersebut di atas sudah memenuhi standar proper tapi kenapa ya kok masih menimbulkan polusi?
Sudah Memenuhi Standar Proper Tapi Kok Masih Menimbulkan Polusi?
Selama masih menggunakan energi fosil maka masih akan ada polusi. Tapi energi fosil ini dalam konteks tertentu bisa didesain hingga emisinya semakin sedikit. Bagaimanapun BBM yang kita gunakan adalah energi fosil sehingga pasti menghasilkan emisi.
Semakin tinggi kualitas BBM maka semakin rendah emisinya. Begitu juga dengan PLTU, seminimal mungkin bagaimana caranya ia menghasilkan emisi yang paling rendah.
Untuk menuju net zero emission tidak bisa tiba-tiba dimatikan semua. Karena belum ada penggantinya. Oleh karena itu ada masa transisi dan kita gunakan energi transisi yang bisa kita gunakan. Demikian juga dengan PLTU, dengan standar yang sudah ditetapkan tersebut bisa sebagai bentuk transisi.
Disebutkan oleh para ahli dalam “Diskusi Ruang Publik” bahwa syarat energi itu ada tiga. Yakni:
- Ketersediaan
- Keterjangkauan (dari sisi harga) dan
- Kehandalan.
Ketiga ini harus dipenuhi oleh energi apapun, baik energi fosil maupun energi terbarukan. Salah satunya yakni menyediakan angkutan umum yang baik di kota-kota besar, sebagai bentuk transisi. Walaupun kita tetap menghasilkan emisi, namun seminimal mungkin dan dipakai oleh orang banyak. Inilaah kira-kira Pemerintah Pusat maupun Daerah untuk mendorong bersama-sama mengurangi emisi di Indonesia menuju net zero emission.
Suatu saat kita memang harus menutup PLTU, tapi saat ini kan belum ada penggantinya. Karena dari kita bangun tidur sampai mau tidur, semuanya menghasilkan emisi. Inilah yang harus kita sadari untuk mencoba mengurangi emisi yang kita gunakan dengan menggunakan energi transisi sebelum ada energi terbarukan yang memenuhi 3 syarat energi di atas.
Tentu saja untuk mengubah semua ini, saya tidak bisa sendiri. Aksi kecil yang kita lakukan akan memberikan efek signifikan jika dilakukan secara bersama-sama dan secara masif, jadi jangan sampai artikel ini berhenti di kamu. Ajak juga sahabat, kerabat, kenalan hingga orang tercinta kita untuk melakukan aksi kecil untuk lingkungan yuk! Dimulai dari menggunakan transportasi umum hingga menyuarakan prioritas untuk memperbaiki lingkungan agar didengar oleh Pemerintah Pusat.
Kita bisa kok bersama-sama mengurangi efek perubahan iklim demi Indonesia yang lebih hijau dan lestari.
Semoga artikel ini bermanfaat ya!
Referensi :
Bumi Yang Tak Dapat Dihuni by David Wallace Wells
WHO Global Urban Ambient Air Pollution Database: www.who.int/phe/health_topics_outdoorair/database/cities
Diskusi Ruang Publik KBR dan YLKI di link berikut:
Iyaa Mbak. Orang2 lebih milih beli pertalite yg lebih murah padahal yaa begitulah.
Bus yg di Surabaya bagus ua
Coba kalo di Malang ada bus kayak gini.
Volume kendaraan yang ikut naik, sebaiknya memang ada perubahan juga untuk ini lewat transportasi publik, hanya aja armadanya juga belum memenuhi
Ngomongin soal polusi tuh sekarang nggak hanya ada di kota-kota besar. Bahkan di desa-desa udah mulai banyak polusi. Orang desa mungkin nggak tahu atau nggak perduli malah suka bakar-bakar sampah sembarangan.
Tapi jujur, memang kebiasaan kita lebih memilih yang lebih murah sih. Apalagi lebih banyak masyarakat kita dengan ekonomi terbatas. Ini PR banget sih buat negara, bukan hanya pemerintah. Semoga kedepan ada solusi kongkritnya
Aku turut mendukung kebijakan pemerintah utk energi hijau bahkan kalo perlu bikin transportasi publik yg ramah lingkungan..mslhnya, pembangkit listrik/energi kita msh memakai bahan bakar fosil, blm energi ramah lingkungan sepenuhnya.
Disuruh pake Pertamax series, aku jg setuju kok. Malah lbh bs ngebut dan awet dlm perawatan. Mslhnya bnyk masyarakat miskin kita yg msh memakai kendaraan lama mereka dgn CC rendah. Justru pemakaian BBM dgn oktan tggi malah ngga bgs buat kendaraan itu. Kalo dipaksa beli baru, ya masyarakat miskin bakal kesusahan. Buat makan aja susah, apalagi beli kendaraan baru yg hny bs diisi Pertamax series.
Perlu melihat kebijakan komprehensif utk bs menyelesaikan mslh tsb. Jgn hny fokus ke masyarakat kelas menengah tp jg hrs memikirkan masy kelas bawah jg jumlahnya lbh bnyk.
Sayangnya di Bali alat transportasi umum masih terbatas banget. Coba kalau ada kereta cepat Denpasar – Karangasem misalnya.
Aku juga mikirnya gitu, kak Putu. Tapi keknya nggak begitu penting sih, karena jarak antar kabupaten nggak begitu jauh.
Transportasi umum harus nyaman dan AMAN. Banyak orang yang males naik kendaraan umum karena dua faktor itu, terutama masalah keamanan. Pernah ngobrol sama sopir angkot tentang ini, dan dia bilang nggak berani bertindak karena takut ditandai sama pelaku.
wah baca ini jadi makan terbuka luas soal wawasan saya mengenai lingkungan mba Jihan, banyak yang bisa kita lakukan untuk menjaga lingkungan salah satunya dalah dengan menggunakan transportasi umum, sayangnya yang banyak menggunakannya kebanyakan dari kelas sosial menengah ke bawah, sementara kelas sosial atas yang jumlahnya juga banyak, masih tetap menggunakan kendaraan pribadi bahkan semakin banyak membeli kendaraan, ini khusus yang saya lihat di wilayah Jabodetabek. Atau mungkin bisa jadi karena fasilitas kendaraan umum di negara kita belum begitu banyak dan belum begitu aman untuk beberapa pihak ya, seperti di luar negeri, masih menjadi peer soal ini. Sementara di daerah lain kendaraan umum juga masih terbatas seperti di Jogja dan Bali
Aku juga mikirnya gitu, kak. Tapi keknya nggak begitu penting sih, karena jarak antar kabupaten nggak begitu jauh.
Ah ya lupa mau ikutan
Gara gara DL diundur lupa lihat
Jadilah saya menjadikan bahan tulisan penuhin folder laptop saja
Alhamdulillah, kalau di sini untuk transportasi umum seperti bus sudah tidak menggunakan bahan bakar. Hampir semua elektrik full electric bus. Hanya kendaraan pribadi saja yang masih menggunakan bahan bakar.
seandainya nih, kalau transportasi umumnya layak dan gak terjebak macet, tentu bisa menjadi pilihan tunggal berkendara ya. pembatasan jumlah kendaraan yang keluar juga nampaknya perlu di perhatikan sih, sama pentingnya dengan masalah BBM
Hiks sedih kalo bahas ginian. Berkendara menuju kepunahan. Serem!
Tapi hal ini bisa kita kurangi dengan dimulai dari diri sendiri yaitu melakukan gerakan ramah lingkungan; mengutamakan jalan kaki, bersepeda ketika berpergian atau menggunakan transportasi umum.
Apakah kita bisa? Yuk, bisa.
Seru banget discuss mengenai isu lingkungan dan kaitannya dengan solusi yang bisa kita lakukan bersama-sama.
Sayangnya memang belum semua persyaratan terpenuhi oleh masing-masing pemerintah daerah mengenai kendaraan massal yang nyaman dan terjangkau. Jangankan di daerah, di kota besar seperti Bandung juga kendaraan massal masih jarang banget ada yang ramah dari segi ketepatan waktu hingga jumlah yang tersedia.
Kalau untuk memilih BBM non-subsidi, ini kembali lagi dengan kendaraan yang digunakan yaa.. Gak bisa dipungkiri, meski menggunakan BBM non-subsidi tapi kendaraannya uda jompo, rasanya tetep gak lulus uji gas emisi.
Setuju sih dengan kalimat polusi tetap akan terjadi selama masih menggunakan bahan bakar fosil. Jadi jujur aku sih masih sangsi sama solusi kendaraan listrik yang ditawarkan. Apa bedanya kalau masih pake energi fosil?
transportasi umum ini yang wajib digencarkan ya mbakji. Kalau main ke Surabaya memang lebih suka pake transportasi umumnya karena sangat nyaman dan terasa lebih ramah untuk para pengguna, terus ngayal kapan di Malang dan Lamongan bisa fasilitas gini juga.
auto nyanyi lagunya Dere yang Rumah, mbak. “Duh mana yang lebih besar, egoku atau ketidaktahuanku yang terpasung~
aaaaaak judulnya nancep sekaliiiii. huhuhuuhuu. Tapi kalo dipikir pikir bener banget ya mak, semoga semakin banyak manusia yang lebih menyeadari tentang masalah ini agar masalah polusi bisa segera teratasi yaaa
Emang lagi sekarat ya mbak. Gak bisa bayangin kalau bumi kita beneran mati. Mau tinggal dimana kita? Hiks