Isu sosial dan apa saja yang berhubungan dengan kesehatan mental selalu menarik untuk dibahas. Biasanya saya mendapatkan informasi mengenai hal-hal tersebut dari buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Termasuk buku fiksi yang berjudul Egosentris ini. Bukan berarti saya sakit mental, namun lebih pada tindakan preventif jikalau seandainya saya berada dalam posisi mereka yang sedang tidak sehat. Selain itu, banyak pengalaman yang saya dengar dari orang terdekat tentang kesehatan mental. Mulai dari depresi ringan hingga depresi berat hingga ia harus dirawat di rumah sakit jiwa. Terabaikan atau tidak disadari sejak awal.

Suatu ketika ada sepasang suami istri datang ke rumah kami karena urusan bisnis. Beliau adalah pengusaha kertas di kota kecil kami. Cerita mengalir tanpa sengaja tentang keluarga kecilnya. Mereka memiliki anak laki-laki yang sudah menikah, bahkan baru saja punya bayi. Baru satu minggu kemarin anak laki-laki yang beliau miliki ini divonis sebagai pasien F12 (sebutan untuk penderita Skizofrenia) di salah satu Rumah Sakit Jiwa Surabaya. Tanpa diketahui sebabnya oleh istri, anak dan orang tuanya, tiba-tiba saja ia harus menghabiskan waktunya di Rumah Sakit Jiwa demi kesembuhan.

Seringkali orang yang sedang stres atau depresi ringan menganggap dirinya baik-baik saja. Begitu juga orang di sekitarnya, seolah tak peduli. Pembiaran otak yang sudah terkena depresi hingga mengalami distimia (bentuk kronis/jangka panjang dari depresi) tentu berawal dari hal-hal kecil sebagai pemicunya kan? Hanya saja kita abai terhadap apa yang terjadi pada diri kita sendiri atau orang di sekitar kita. Sehingga ketika seseorang sudah kehilangan ketertarikan yang normal pada aktivitas sehari-hari, merasa tidak ada harapan, produktivitas berkurang, harga diri yang rendah dan perasaan yang tidak layak bisa jadi akan menjadi pemantik gangguan kejiwaan yang lebih berat lagi hingga akhirnya harus menginap di Rumah Sakit Jiwa (Sumber : dr.Jiemi Ardian, Sp.KJ).

Kesadaran kita akan penyakit-penyakit mental seperti ini masih rendah. Buku-buku ilmiah juga masih membosankan untuk dibaca hingga tak jarang membuat kita tak sengaja tertidur di malam hari. Hadirnya Egosentris membuat saya lega dan bersenang hati karena pada akhirnya ada buku fiksi yang ingin menyampaikan pada pembacanya tentang daruratnya masalah kesehatan mental ini.

iidmhd.tumblr.com

Membaca egosentris awalnya saya pikir jalan cerita akan landai-landai saja. Seputar cinta segitiga, persahabatan yang terancam kandas, hingga isu sosial terkait kesehatan mental. Ternyata tidak. Egosentris menyuguhkan lebih dari itu. Buku pertama hasil karya Syahid Muhammad yang saya baca di tahun 2018 silam ini masih menyisakan kesan mendalam. Kisahnya memang sederhana, namun Bang Iid sukses memainkan tokoh-tokoh di dalamnya hingga kesan itu mengendap dalam hati dan kepala. Tentang Fatih, Saka, dan juga Fana. Perasaan saya seakan dipermainkan ketika membacanya.

Awal membaca bersimpati dengan dua tokoh di dalamnya. Halaman demi halaman, ternyata pikiran saya berubah, dari simpati menjadi antipati.
“Nih orang nyebelin banget dah ya.”
“Nih orang persis sama Bambang (nama disamarkan).”
“Bocah kenapa yak!”
Seruan-seruan dalam hati menyeruak begitu saja ketika membaca kisah dalam egosentris.
Sedih, senang, senyum sendiri, kesal, hingga sedih lagi. Begitulah hati dipermainkan oleh egosentris.

Egosentris berhasil menceritakan seseorang saat dia berada di titik nol kehidupannya dengan sangat dramatis. Bang Iid piawai sekali menggambarkan watak dan isi hati para tokohnya sehingga membuat saya seolah merasakan apa yang dilihat, didengar dan dialami oleh Fatih, Saka dan Fana.

Bang Iid juga banyak memberikan pelajaran berharga, banyak sekali. Bahkan saya banyak tersadarkan untuk belajar bersikap baik pada siapapun, tidak peduli sejahat dan seaneh apa orang itu. Karena semua punya masa lalu dan latar belakang yang membentuk sebuah karakter. Tidak selayaknya kita menyalahkan, menghindari juga menghakimi seseorang karenanya. Kita tidak pernah tau hal-hal apa saja yang sudah dilaluinya. Sebagaimana kita ingin diperlakukan baik oleh orang lain, maka berbuat baiklah seperti apa yang ingin kau dapat.

Benar apa kata Fatih,
“Peduli, emang bikin capek. Nggak heran banyak orang yang nggak pengin peduli. Mereka cuma pengin hidupnya santai, tanpa mau mikirin apa yang mereka lakuin bakal nyakitin orang lain apa enggak.” Egosentris menyadarkanku bahwa beginilah hidup, capek, lelah, dan tidak akan habis cobaan atau ujian yang akan menimpa hidup kita. Itulah nilai kita, sejauh mana kita bertahan ketika diuji. Kemudian hadiah dari Allah pun akan menanti.

Lalu, sejauh apa kita berjalan, terjatuh, sakit, kemudian bangkit lagi atau menyerah?
Terimakasih Bang Iid, bukunya sungguh membaikkan.

Review ini ditulis untuk memenuhi Tantangan Kelas NonFiksi ODOP Batch 7.