Ketika ditanya apa yang melatarbelakangi seorang Syahid Muhammad menulis Novel Egosentris? Bang Iid menjawab,

“jadi Egosentris ditulis berdasarkan keresahan banyak orang, termasuk saya. Karena rasanya kok sulit sekali cari buku yang isinya mengangkat isu sosial, terlebih pada kesehatan mental. Dalam Egosentris, saya menciptakan 3 tokoh utama yang ketiganya punya masalah masing-masing, setiap tokoh memiliki rahasia.”

Tokoh Fatih diambil Bang Iid dari kata Faith yang berarti keyakinan. Adalah inti utama dalam buku ini, di mana keimanan dia memang diuji dan paling menguras emosi.

Lalu tokoh Saka, (mungkin yang sudah pernah membaca Kala/Amor Fati sudah tahu). Saka artinya tonggak, sebagai tumpuan. tetapi masalahnya justru dia memiliki masalah ketika menjadi seorang tumpuan.

Lalu tokoh Fana, adalah interpretasi dari hal-hal yang nyata. Beberapa orang mengatakan kefanaan sebagi cara untuk menghibur diri karena kenyataan yang dialami terlalu pahit atau membingungkan.

Dilanjutkan oleh Bang Iid, begitu sapaan akrabnya bahwa rahasia itu sendiri erat kaitannya dalam pembentukan karakter seseorang. Di egosentris, saya ingin menyampaikan tentang orang yang memiliki keresahan tapi tidak pernah punya tempat yang baik di telinga sosial (bahkan teman-temannya sendiri) dimana, pengaruh lingkungan sosial punya aspek lebih besar dalam beberapa keadaan.

Tujuan penulisan ini sebetulnya simple, hanya ingin menyampaikan bahwa kita perlu memanusiakan manusia. Perlu berhenti, membiarkan apa yang salah hanya karena terlalu menjadi kebiasaan. Lalu akhirnya, menjadi benar dan menjadi keterasingan itu sendiri.

Kenapa judulnya Egosentris? Bahwa konsep egosentris itu sendiri adalah menjadikan diri kita menjadi pusat semesta. Semua yang kita anggap benar, adalah untuk kepentingan kita berdasarkan bagaimana kita dididik, bagaimana ingin dan harap kita. Kita memperhitungkan ini benar dan salah, dipusatkan pada diri kita sendiri, tidak pada orang lain.

iidmhd.tumblr.com

Menurut Anderman dalam bukunya Egocentrism Psychology of Classroom Learning: An Encyclopedia. 1: 355–357, Egosentrisme adalah ketidakmauan seseorang untuk melihat dari perspektif (sudut pandang) orang lain. Hal ini meliputi gagalnya seseorang untuk menarik kesimpulan dari apa yang orang lain pikirkan, rasakan, dan lihat (perspektif). Egosentrisme merupakan sifat yang cenderung lebih sering ditemukan pada diri anak-anak dan remaja, sedangkan orang dewasa lebih mudah untuk menyesuaikan diri, bahkan mengoreksi pandangannya jika dirasa pandangannya tersebut tidak sesuai dengan kondisi/lingkungan sekitar yang berkaitan dengan relasinya terhadap orang lain. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa seorang yang telah beranjak dewasa juga memiliki sifat egosentrisme.

Meskipun sering disamakan dengan narsisme, namun keduanya merupakan sifat yang berbeda antara satu denagan yang lain. Sama seperti narsisme, seseorang yang memiliki sifat egosentrisme beranggapan bahwa dirinyalah pusat perhatian dan hanya pendapatnya sajalah yang penting. Namun yang membedakannya dengan narsisme adalah, ia tidak memerlukan pengakuan orang lain untuk mengukuhkan pandangannya tersebut, sedangkan pengakuan orang lain sangat penting bagi seorang narsis (sebutan bagi seseorang yang memiliki sifat narsisme).

Pesan-pesan yang berusaha disampaikan oleh Bang Iid lewat Novel Egosentris ini antara lain :

  1. saya harus berani “menampar” banyak teman saya. Di mana, itu adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Karena saya tumbuh dalam lingkungan yang memang senang bercanda dengan membully.
  2. saya seperti membaca kisah hidup saya sendiri.

Egosentris mengajarkan pada saya sebagai pembaca bahwa :

  • Tidak apa menjadi salah, karena yg salah justru adalah mereka yang tidak mau mengakui kesalahan.
  • Suatu hari nanti, kalau ada seseorang yang terluka dengan kata-kata kita, minta maaf bukanlah hal yang memalukan. Yang memalukan adalah justru kalau kita tidak meminta maaf.
  • Yang tidak kalah pentingnya adalah, seringkali kita selalu mengatakan pada seorang kawan kita yang sedang curhat atau punya masalah yang kita anggap kecil. Mungkin spontan atau tidak kita akan mengatakan “jangan baper”. Itu artinya sama saja melarang seseorang untuk menggunakan perasaannya. Seperti, kamu melarang seseorang untuk menjadi manusia.

Tamparan Bang Iid dalam novel ini benar-benar membuat saya sadar bahwa orang-orang yang kita jumpai sepanjang hidup ini tidaklah sama. Ada yang tegak berdiri setelah melewati banyak ujian. Ada juga yang sedang berpura-pura kuat dan baik-baik saja padahal tidak demikian yang terjadi. Maka berhati-hatilah dalam menggunakan lisan, seringkali tajamnya lisan memang lebih menyakitkan daripada pedang.

(Bersambung)

Bagian 2 : Egosentris