Malam itu aku terpaksa menunda jadwal nonton sebelum tidur karena disibukkan dengan chat dari salah seorang sahabat yang tengah galau dirundung masalah. Aku yang sok perhatian ini menyimak voice note yang dikirimkannya lewat Whatsapp dengan seksama. Intinya, dia tengah terjebak dalam sebuah jerat penjual produk berkedok MLM. Tahu kan MLM itu apa? Penjualan yang selalu melibatkan upline dan downline, tak lupa iming-iming bonus freshmoney yang langsung masuk ke rekening kita jika penjualan sesuai dengan yang ditargetkan. Begitulah, netizen tentu lebih tahu dan berpengalaman soal MLM :p

Kali ini aku ingin menceritakan pengalaman pahitku dan sahabatku bersama MLM.

Dulu, sebelum aku menyadari bahwa kesuksesan itu tidak akan bisa diraih dengan instan (termasuk mobil para upline MLM yang selalu dipamerkan kemana-mana, alih-alih menunjukkan kesuksesannya dengan berbisnis MLM), aku pernah berada dalam komunitas bisnis ini. Malangnya, aku mempertahankan dan membelanya mati-matian di depan adik kandungku sendiri yang tengah menyadarkan akalku yang sudah tercuci itu, hingga kami pun bertengkar hebat perkara MLM. So sad. Bagi dirimu yang tengah menjalani bisnis ini dan membaca tulisanku, pesanku hanya satu : Kembalilah ke jalan yang benar.

Yah, kau tahu aku bahkan sempat membuang waktuku untuk mengikuti seminar-seminarnya dan terbuai retorika yang disampaikan oleh sang motivator yang entah sudah punya kapal pesiar berapa sekarang. Ingin sekali kucari kabarnya.

Lambat laun, aku mulai mengurangi aktivitasku di komunitas itu dan memulai bisnis yang lebih “jelas”. Bisnis makanan dan minuman di sebuah kedai kecil di dalam mall. Seiring dengan itu, aku diberi anugrah sebuah penyakit yang membuatku harus mengurangi aktivitas di luar rumah. Datanglah sekawanan perayu sekaligus penjual sebuah produk kesehatan yang juga temanku dalam komunitas bisnis nonsense itu. Dia begitu banyak memberikan perhatian, motivasi sekaligus intervensi padaku untuk selalu mengkonsumsi produknya dengan meyakinkanku bahwa aku bisa sembuh tanpa harus melewati tindakan operasi.

Namun, bulan berganti bulan penyakitnya tak kunjung sembuh bahkan lebih parah. Bukan karena produk yang kuminum, namun memang beginilah Allah mentakdirkanku untuk berikhtiar lewat jalan lain. Aku sudah menghabiskan berjuta-juta rupiah untuk pengobatan yang katanya alami ini, ditambah lagi dengan beberapa juta untuk terapi yang dia tawarkan untukku dengan kalimat manisnya. Aku lemah, aku menginginkan kesembuhan, maka aku pun membeli dan menghabiskan semua harta yang kupunya untuk menebus obat-obatan dan terapi yang ditawarkan. Malangnya, kondisiku semakin memburuk dan harus segera dioperasi. Padahal obat dan terapi belum kulakukan secara penuh. Lalu mereka? Entah pergi kemana, tak satu pun dari mereka melihatku di Rumah Sakit meregang nyawa. Tak satu pun dari mereka mengirimiku pesan atau ucapan penghibur seperti yang mereka lakukan saat mereka menawarkan produknya. Ironis kan?

Uang terapi yang harusnya kembali karena aku tidak melakukannya sesuai dengan hitungan mereka, juga tak dikembalikan sesuai perjanjian. Adakah yang lebih menyedihkan dari itu? Hihi.. dari situlah aku merasa dibodohi oleh motivator dadakan seperti mereka.

Lalu baru saja kemarin sahabatku curhat bahwa dirinya telah dibodohi juga oleh temannya. Bukan hanya kasihan, aku juga mentertawakan kepolosannya karena mau saja ditodong gincu seharga tiga ratus dua puluh lima ribu! Bayangkan, uang belanja untuk sepuluh hari dikeluarkan begitu saja untuk pemerah bibir karena merasa tidak enak pada sang penjaja jualan MLM ini. Tidak enak kenapa? Karena dia terus menerus menghubunginya siang malam, “Annoying banget! Penginnya dia bakal berhenti ketika aku sudah mau membeli produknya, ternyata tidak. Selesai satu produk dia masih menawarkan produk yang lain untuk dibeli.” curhat seorang sahabat panjang lebar yang membuatku gatal ingin segera menuliskannya di blog. Gincu seharga itu menurutku mahal, karena aku dan sahabatku bukan emak-emak sosialita yang gemar membicarakan arisan emas, arloji, atau perhiasan lain. Lima belas tahun kami bersahabat, obrolan kami sesederhana makan penyet ayam di pinggir jalan. 325,000 adalah angka yang lumayan untuk bisa digunakan belanja buku atau sayuran di pasar untuk menghidupi keluarga selama satu minggu. Namun harus direlakan untuk gincu yang pasti menjadi pemicu perang dunia antara suami dan istri karena harganya yang kurang masuk akal. Harus direlakan karena faktor “rasa tidak enak” terhadap teman. Harus direlakan karena dia ingin segera mengakhiri obrolan denganmu!

Yah, tentu saja, siapa yang tidak merasa terganggu dengan pesan broadcast yang tergolong sebagai Stupid Pointless Annoying Message (SPAM) ini dikirim tidak hanya secara pribadi, tapi juga dia kirim terus menerus dalam group yang kebetulan kita ada di dalamnya. Oke, itu memang resikomu memakai social media tapi sungguh jika aku harus memberikan saran pada kalian wahai penjual produk MLM : Ukurlah standard konsumen paling tidak sesuai dengan standardmu! Kalau kau tak suka diganggu dengan pesan berantai menawarkan produk dari hari ke hari siang dan malam, maka jangan lakukan itu pada kami! Belum lagi info penting dalam satu group akan terlindas habis dengan pesan jualanmu yang bunyinya sama dari hari ke hari.

Tak bisakah kalian terlebih dahulu memikirkan etika dalam menawarkan dagangan? Mungkin sahabatku akan membelinya satu kali dan itu membuatmu senang karena otomatis kau akan mendapatkan point dan komisi tentunya. Tapi setelahnya, dia akan menjauhimu, karena takut kau akan menawarkan produkmu setiap kali berjumpa dengannya. Hei, sadarlah!

Begitu juga dengan kalian teman lamaku dulu, apa kabar? Sudah dapat mobil? Aku selalu menunggu kabar kalian, masa sih udah sukses ngga kabar-kabar? Kalian bukan orang seperti itu kan? Kutunggu mobilnya parkir di depan rumahku, sekalian jutaan rupiah yang sampai saat ini membuatku menyesal pernah mempercayai kalian.

With Love,

Korban MLM.

Pict from Pinterest