Tanggal 29 Desember kemarin, kami sekeluarga melakukan perjalanan panjang dari Malang ke Banyuwangi untuk menghadiri nikahan sepupu.
Sengaja kami menyewa mini bus agar bisa bersama-sama selama perjalanan. Alhamdulillah perjalanan lancar, tanpa kendala macet atau suatu apapun.
Sepulang dari nikahan, kami langsung pamit untuk segera meluncur pulang ke Malang melewati jalur Grand Watu Dodol. Pemimpin perjalanan yang merupakan Ayahku sendiri mengingatkan perihal waktu yang kita habiskan di GWD, maksimal 30 menit untuk menikmati keindahan pantai Grand Watu Dodol.
Kami semua turun dan menikmati indahnya pantai. Si bungsu yang selalu sumringah melihat air awalnya hanya membiarkan kakinya basah oleh air laut, namun entah bagaimana saat itu dia memutuskan untuk berenang di pinggiran, disusul kemudian oleh kakak sulung, kakak kedua dan kedua adikku serta beberapa sepupu yang lain ikut dalam euforia air laut yang ombaknya menenangkan itu.
Aku dan suami hanya menikmati keindahan laut dan pulau Bali di seberang sana sambil sesekali berfoto. Tak lama kemudian, aku menggendong keponakan yang masih berumur satu tahun yang terus menunjuk ke arah laut. Mungkin dia ingin menyentuh air. Aku pun menggendongnya dan membiarkan kakinya basah oleh ombak di pinggir pantai. Tak lama kemudian, si kakak sulung berteriak ke arah kami.
“Tolong! Tolong!” kaget, aku segera menggendong sang ponakan dan melihat bahwa si Bapak yang bayinya tengah kugendong ini sudah berada agak jauh dari bibir pantai, hanya terlihat kepalanya yang berusaha bernafas dan terus berusaha mengapung. Jantungku mencelos seolah lompat dari tempatnya. Segera aku berteriak ke arah pantai.
“Tolong ya Allaah tolong! Toloong mas didin tolong!” aku berteriak sekencang mungkin, berulang-ulang hingga om, tante, ibu, ayah dan beberapa penjual disana menghampiri kami. Raut wajah mereka sudah tegang dan hanya bisa melihat ke arah kami. Sekali lagi aku berteriak meminta tolong sambil melihat ke arah adikku yang tingginya 192cm itu gagal menolong kakakku yang sudah terbawa arus. Semakin lama semakin kecil kepalanya terlihat. Terlihat jelas bagaimana mulutnya bergerak-gerak, megap-megap seperti kehabisan nafas. Adikku yang sudah berhasil ditarik duluan oleh kakak pertama masih terpaku di tempatnya walaupun kami sudah menyuruhnya agar segera menepi. Tak ada yang bisa kulakukan, aku tak bisa berenang! Om, tante, ayah, ibu, serta adik dan sepupu pun tak ada yang lihai berenang seperti adikku yang hampir ikut terseret arus bersama kakakku tadi. Saat itulah aku merasa kematian serasa begitu dekat di depan mata kami. Naasnya kami tak bisa melakukan apa-apa!
Tak lama satu perahu di sebelah kami meluncur cepat atas instruksi om Herman yang juga melihat kejadian itu. Sekilas lega perahu itu sudah cepat meluncur, tapi melihat dari kejauhan si kakakku tak bisa segera menggapai badan kapal aku panik. Kenapa? Ada apa? Apa dia sudah kehabisan tenaga? Bisa ditolong kah?
Mataku terus mengikuti kapal yang menolong sang kakak. Sambil terus berdoa pada Allah agar nyawanya tertolong. Semenit dua menit kakakku masih berpegangan di dekat mesin kapal. Semakin was-was dan panik aku berteriak agar ada yang menolong perahu itu juga. Bisa jadi orang yang ada di perahu tidak bisa berenang sehingga dia tidak berani turun untuk membantu kakakku naik.
Tidak ada yang bisa kami lakukan selain hanya berdoa dan melihat kematian berada begitu dekat di depan mata kami. Wajah ibu sudah memerah, keponakanku sudah menangis melihat Abinya belum juga naik ke atas perahu.
Beberapa menit kemudian, atas izin dan pertolongan Allah akhirnya kakakku bisa ditarik dari permukaan dan menaiki perahu. Alhamdulillah. Lega rasanya hatiku melihatnya. Menangis aku melihat kakakku berhasil selamat.
Tidak ada yang lebih menyakitkan saat kita melihat orang yang kita sayangi tengah meregang nyawa namun kita tidak bisa melakukan apapun. Ya Allah, ada begitu banyak pelajaran hari itu dan akan selalu kuingat kemurahan Allah yang segera menggerakkan hati nelayan itu untuk menolong nyawa kakakku.
Entah bagaimana jadinya jika tidak ada perahu di sekitar kami. Bahkan adikku yang bisa berenang pun tak kuat melawan arus di selat Bali itu, tak mampu melakukan apa-apa ketika maut berada begitu dekat sedang mendekati kakak kami.
Foto kakak beberapa saat setelah diselamatkan oleh pemuda bertopi, beberapa saat setelah dipastikan dia tidak apa-apa lalu minum teh panas yang kami beli segera setelah tahu kakak selamat.
“Entah sudah berapa liter air laut yang tadi terminum. Sempat putus asa kenapa tidak ada yang menolong, tapi ternyata Allah mengirimkan pertolongan lewat pemuda ini.”
Alhamdulillah ya Allaah masih memberikan kami kesempatan untuk berkumpul bersama ❤️
Beberapa saat kemudian kami baru tahu bahwa selat Bali memang memiliki arus deras yang harus diwaspadai ketika berenang. Bahkan ada tempat-tempat yang dilarang untuk berenang. Saat itu kami sama sekali tak melihat larangan. Nelayan di sekitar pun seolah tak memperingatkan kami saat itu. Ketika arus datang, terjadilah peristiwa yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku ini. Mungkin pemerintah setempat perlu memberikan papan-papan larangan yang besar dan berjumlah banyak agar tidak ada lagi kejadian seperti ini. Karena mendengar cerita dari nelayan bahwa beberapa waktu lalu juga ada pelajar SMA yang tak bisa diselamatkan di tempat itu juga. Terbawa arus dan dia tidak bisa bertahan sedikit lebih lama untuk mengapung agar bisa diselamatkan.
Begini kira-kira gambaran lautnya.
Semoga tulisan ini bisa menjadi pelajaran bagi yang lain agar lebih hati-hati dan waspada.
Untuk nelayan dan orang-orang di sekitar yang tengah menolong kami, terimakasih sebanyak-banyaknya semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan kebaikan yang banyak. Aamiin.
Berada di TKP tentu lebih ngeri timbang seng mek moco critane. Long life mas Didin!
[…] sih karena memang untuk kebutuhan, sebab mata minus yang sudah tidak bisa ditolelir lagi jika melihat dunia tanpa […]