Isu kekerasan berbasis gender ini sudah bukan isu baru bagi kita. Bahkan sejak zaman Ibu saya memasuki dunia kampus di tahun 1980-an, kekerasan seksual sudah banyak terjadi. Hanya saja belum banyak orang yang menganggap hal-hal yang dianggap kecil seperti cat calling dan segala bentuk tindakan yang mengarah pada paksaan adalah bagian dari kekerasan seksual. Sebenarnya apa sih kekerasan seksual itu?
Berdasarkan webinar yang telah diadakan pada 28 November 2020 lalu oleh Cerdas Berkarakter Kemdikbud RI,
Tindakan kekerasan seksual adalah tindakan fisik atau nonfisik yang merendahkan, melecehkan, atau menyerang seksualitas tubuh atau fungsi reproduksi orang lain secara paksa atau tanpa persetujuan. Jenis kekerasan seksual adalah yang paling besar dampaknya, namun paling sulit untuk dibuktikan.
Apalagi di tengah pandemi seperti ini, dimana banyak orang menghabiskan waktunya di depan layar laptop atau gawai. Mereka banyak berinteraksi dalam dunia maya. Namun bukan berarti hal ini menjadikan kekerasan seksual menjadi absence. Kita harus tahu bahwa kekerasan seksual tidak hanya dilakukan secara langsung, namun juga bisa melalui media sosial. Melalui instagram, facebook, tiktok, dan lain sebagainya. Bukannya tidak ada, bahkan meningkat dari tahun ke tahun laporannya.
Blogger Menyuarakan Anti Kekerasan Berbasis Gender
Sebagai bloger, aksi nyata yang bisa kita lakukan diantaranya : membudayakan untuk saling menghormati. Tidak hanya sesama bloger dan influencer, tapi juga ke semua orang. Bahkan pada level atasan ke bawahan, atau dari dosen ke mahasiswanya. Bahkan guyonan-guyonan di dalam grup Whatsapp yang mengarah pada pelecehan hingga kekerasan seksual sebaiknya kita suarakan. Harusnya tidak ada yang merasa baik-baik saja ketika dipaksa atau dilecehkan meskipun pelaku berdalih “hanya bercanda”.
Langkah preventif di atas semata-mata dilakukan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi dan tidak menganggap remeh dampak dari kekerasan seksual yang telah dilakukan. Harapan jangka panjangnya, tidak ada lagi yang menganggap cat calling, guyonan tidak menyenangkan, dan hal-hal sejenis adalah hal biasa dan tidak perlu diperpanjang bahkan diperkarakan.
Masyarakat butuh edukasi mengenai hal ini. Bukan hanya di dalam institusi pendidikan, namun di semua tempat. Maka salah satu aksi nyata seorang bloger dalam menyuarakan anti kekerasan baik secara fisik, ekonomi hingga seksual adalah dengan menajamkan pena-nya. Dalam hal ini tidak hanya mempertajam keilmuannya tentang kekerasan seksual berbasis gender, tapi juga meningkatkan kualitas diri agar dapat memperkuat tindakan.
Tindakan tersebut tidak hanya memerangi, tidak bersikap pasrah atau bahkan hanya sebagai penonton ketika terjadi kekerasan tersebut. Tapi juga mendengarkan korban dengan tidak menghakimi, memberi saran yang bersifat memaksa, dan hal-hal lain yang melukai harga dirinya.
Blogger juga dapat beraksi melalui tulisan-tulisan yang akan menjadi jejak digital sepanjang masa, bahwa kita pernah berdiri di atas kebenaran. Bahwa kita pernah ikut menyuarakan kebaikan.
Tradisi yang Menyudutkan Perempuan
Kekerasan berbasis gender tentu saja tidak hanya meliputi kekerasan fisik. Namun juga meliputi kekerasan psikis dan bahkan finansial yang baru-baru ini mendapat sorotan. Tradisi yang terkadang menempatkan perempuan di urutan terakhir, seperti makan dari sisa makanan sang suami, tidak boleh satu meja dengan suami dan mertua, seolah-olah menantu perempuan adalah “asisten rumah tangga” mereka. Apakah tradisi masih ada? Masih. Meskipun di lingkungan saya sudah sangat jarang dijumpai, namun lingkungan seperti ini ternyata masih ada dan tumbuh.
Kemudian berkembang, mendarah daging hingga disebut sebagai tradisi yang tak boleh dilanggar oleh siapapun.
Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada wanita karena penempatan lelaki yang tidak pas dalam sebuah hubungan, baik keluarga dan masyarakat. Tidak heran jika kemudian lahirlah sekelompok feminisme yang menginisiasi adanya dua arus utama dalam memahami posisi dan makna perempuan dalam ajaran Islam. Meskipun saya yakin bahwa menjadi feminis sekaligus menjadi religius adalah hal yang sangat niscaya dan ini sebuah refleksi yang implementatif.
Yuk mari #gerakbersama menghapuskan kekerasan pada perempuan
[…] ketidakadilan pada perempuan ternyata bukan hanya soal isu kekerasan fisik yang banyak dibahas di berbagai forum, majelis, maupun media. Bentuk ketidakadilan pada […]