Assalamualaikum warahmatullah.
Selamat malam #NGOPI (Ngobrol Perkara Ilmu) di Whatsapp Group Aman Palestin yang kita cintai ini. Sebelumnya mohon maaf saya menyampaikan materi lewat tulisan yang saya unggah di blog. Karena satu dan lain hal saya tidak bisa menyampaikan materi lewat voice note. Mungkin untuk beberapa pertanyaan ke depannya bisa menggunakan voice note. Jadi, mohon dibaca sampai habis ya. Insya Allah tidak akan berpanjang lebar, karena materi kita kali ini cukup sederhana. Yang berat adalah niat dan kemauan dari diri kita masing-masing.
Alhamdulillah sebagai seorang muslimah kita patut bersyukur karena nikmat yang telah diberikan Allah sampai saat ini. Sehingga kita punya kesempatan untuk sharing atau menuntut ilmu bersama-sama. Coba kita bayangkan jika Allah tidak menghadirkan Islam di tengah-tengah kita saat ini, tentu nasib kita akan disamakan seperti kodok atau kecoa yang diinjak-injak harkat dan martabatnya oleh orang-orang di zaman Jahiliyah. Sebagai rasa syukur itu maka patutlah kita memanfaatkan waktu luang sebaik mungkin. Sesibuk apapun aktivitas kita sebagai muslimah yang sedang menuntut ilmu, berumah tangga, atau bahkan yang biasa disebut sebagai wanita karir hendaknya tetap menyisihkan waktu untuk memperdalam ilmu agama kita sebagai bekal menuju kampung akhirat kelak.
Peliknya hidup tidak akan pernah kita rasakan jika kita terus membiarkan diri sendiri untuk selalu berada di zona nyaman. Zona tanpa masalah, tanpa ambisi juga tanpa cita-cita tinggi untuk masa depan. Begitulah, hidupmu ya akan begitu-begitu saja dan akan berakhir sia-sia. Banyak remaja dan orang-orang yang secara psikologis memasuki usia dewasa awal yang mengeluh perihal kehidupannya yang sulit. Mengerjakan tugas yang tidak sudah-sudah, susah atau guru/dosen yang kerap kali bertingkah seolah dia tak pernah muda. Oh guys, come on! Hidup di luar sana akan seribu kali lebih pelik dari urusan tugas atau dosen yang menyebalkan. Lalu sepatutnya kamu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan padamu. Apa saja? Coba hitung mulai saat matamu terbuka di subuh hari.
Menghirup udara yang bersih, sehat dan membuka mata dengan sempurna tanpa gangguan ledakan bom atau bau menyengat bubuk mesiu seperti yang dialami oleh orang-orang di daerah konflik sana. Lalu apa? Sarapan sudah terhidang. Lalu kita bisa makan dengan nikmat bersama dengan orang-orang yang kita sayangi. Sedangkan orang-orang di luar sana, kadang untuk sekedar makan satu kali saja dia harus berhasil menjual sepuluh item dari dagangannya itu. Belum lagi dengan keluarga broken home yang mungkin makan bersama saja menjadi impian mereka.
Begitu juga dengan kesempatan belajar di sekolah yang unggul. Tidak semua orang bisa menikmati kelapangan menuntut ilmu dengan berbagai fasilitas yang memanjakan. Oh ya, aku pernah punya teman saat menempuh studi lanjut setelah selesai strata 1. Tiap kali ke kampus dia selalu mengayuh sepedanya, dan dia tidak pernah mengeluh akan panas atau hujan. Dia juga menyempatkan untuk bekerja di sebuah Panti Asuhan agar dirinya bisa diizinkan untuk tinggal disitu hingga kuliahnya selesai. Urusan makan? Dia juga harus mampu menjual tahu goreng buatannya sendiri sekurangnya dua puluh biji, maka dia akan bisa makan siang di hari itu. Bisa dibayangkan betapa repotnya dia hanya untuk mendapatkan ilmu di bangku perkuliahan? Jika dirimu membaca paragraf ini dan tengah menikmati perkuliahan yang dirasa susah dan tugas yang tak pernah berhenti datang itu, sepatutnya beristighfar lalu bersyukur sebanyak-banyaknya karena Allah masih memberikanmu kelapangan finansial dan waktu untuk belajar.
Ah, kalau dihitung-hitung nikmat Allah ini memang tidak akan pernah bisa kita menghitungnya karena saking banyak dan luasnya. Lalu patutkah kita mengeluhkan kehidupan yang kita anggap sangat berat karena percintaan yang kandas, jodoh yang tak kunjung datang, atau gagalnya membina hubungan? Seperti kata Ustadz Budi Azhari, kita tidak akan pernah menjadi orang besar jika kita hanya memikirkan hal-hal remeh, menggalaukan percintaan yang itu-itu saja atau bersedih karena IPK yang turun merosot dari target. Karena orang-orang besar selalu memikirkan hal-hal besar dalam hidupnya. Hingga waktunya habis di dunia ini pun ditutup dengan memikirkan hal-hal besar yang belum atau sudah ia raih.
Apalagi di tengah situasi pandemi seperti ini. Banyak hal yang bisa kita lakukan! Belajar, membaca buku-buku yang belum sempat terselesaikan, berlatih memasak (karena memasak ini skill yang perlu latihan untuk menuju kesempurnaan), melakukan proyek sosial, dan lain-lain.
Kurva kasus terus naik, meninggalkan korban di 32 provinsi di Indonesia. Tidak ada yang tahu pasti kapan pandemi ini akan berakhir. Manusia boleh punya hipotesa, namun tetap Allah pemegang segala kuasa. Mau berhenti kapan, itu kuasa Allah. Saat ini kita diwajibkan untuk berikhtiar dan menyerahkan segalanya pada Allah. Karena tidak tahu pastinya kapan pandemi ini berakhir, maka banyak juga orang-orang yang tidak tahu harus kemana lagi mereka menjajakan jualannya di jalanan yang sepi.
Meskipun beberapa ahli matematika, baik dari Universitas Indonesia maupun Institut Teknologi Bandung punya prediksi tentang waktu kepergian Corona, tetap saja ada nilai peluang yang dipengaruhi oleh faktor X, yaitu takdir Allah. Entah itu dua bulan lagi, tiga bulan lagi atau bahkan hingga lima atau enam bulan ke depan situasi ini baru bisa mereda. Bukannya pesimis, namun realistis. Karena seringkali optimis disalah artikan dan berubah menjadi sebuah kelalaian.
Haru karena semakin banyak orang-orang yang mendermakan malnya untuk tetangga-tetangganya yang membutuhkan. Sanak saudara yang berharap datangnya rizki setiap harinya. Namun kini untuk membeli sekilo beras saja mereka harus banyak berpikir dan berhemat, karena keadaan sudah tidak akan sama lagi. Kalau beli beras sepuluh kilo hari ini, maka lauk untuk minggu depan harus cari kemana ya? Atau, Kalau hari ini makan, besok dapat darimana ya uang kalau jualan tetap sepi begini? dan masih banyak lagi rintihan mereka yang tak terdengar hingga ke telinga kaum berada.
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi dalam selebaran “Mimbar Jumat” nya pada tanggal 3 April 2020 lalu (dilansir dari instagram resmi Kementrian Agama Republik Indoensia) agar kita bisa Memelihara Kehidupan Manusia.
Allah memuliakan setiap insan yang menjaga kehidupan dan keselamatan jiwanya. Begitu bernilainya kedudukan jiwa pada manusia, sehingga melindunginya menjadi salah satu dari tujuan utama beragama (hidzu al nafs).
Jangan bosan jika menerima broadcast tentang “Salurkan infaq Anda untuk petugas medis!” atau “Yuk lawan Corona dengan berderma!” karena saat inilah empati kita sebagai manusia diujikan. Bahu-membahu di saat sempit, tolong menolong di saat semua orang juga butuh pertolongan. Saya yakin, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang gemar bergotong royong. Bersama-sama kita bisa menghadapi mortality rate yang hampir menyentuh angka 10% saat ini.
Bumi kita diantara milyaran bintang itu sangat kecil, apalagi kita sebagai manusia. Bahkan seperti debu, maka bermanfaatlah untuk sesama selagi ada kesempatan agar kita tidak kehausan dan kelaparan di hari penantian yang panjang kelak.
Jangan sampai pandemi yang akan menjadi sejarah ini kelak dicatat anak-anak bangsa sebagai peristiwa yang mengikis habis rasa kemanusiaan.
Yuk salurkan tenagamu, hartamu, apapun itu sangat berarti bagi mereka yang membutuhkan
Optimalkan waktu yang singgah dalam hidupmu semaksimal mungkin. Dengan cara apa? Gali potensi, buat timeline, rumuskan goal/tujuan jangka panjang dan pendek. Sampai habis energimu untuk hal-hal yang bermanfaat. Jangan biarkan satu menit pun berlalu dengan sia-sia.
[…] Baca juga Optimalisasi Peran Muslimah di Tengah Pandemi Covid-19 […]