Yuval Noah menceritakan dalam bukunya, Homo Sapiens, bagaimana perkembangan Revolusi Industri tidak hanya punya dampak negatif untuk kelangsungan makhluk hidup di bumi ini. Namun ia juga berperan besar pada Revolusi Sains. Pada 1199, Raja Inggris Richard Berhati Singa terkena anak panah di bahu kirinya. Hari ini mungkin kita akan mengatakan bahwa dia terkena cedera ringan. Namun pada 1199, ketika belum ada antibiotika dan metode-metode sterilisasi yang efektif, luka kecil itu menjadi terinfeksi dan gangren pun menyerang.
Satu-satunya cara menghentikan penyebaran gangren di Eropa abad ke-12 adalah memotong anggota tubuh yang terinfeksi, yang mustahil dilakukan ketika infeksi terjadi di bahu. Gangren menyebar ke seluruh tubuh Richard Berhati Singa dan tak seorang pun bisa menolong sang raja. Dia meninggal dalam penderitaan hebat dua minggu kemudian.
Bahkan pada Abad ke-19 yang belum lama berlalu, dokter-dokter terbaik belum tahu cara mencegah infeksi dan menghentikan pembusukan jaringan. Di rumah sakit lapangan dokter biasa memotong tangan dan betis prajurit yang terkena cedera kecil sekalipun karena takut terjadi gangren. Amputasi, juga semua prosedur medis lain (misalnya pencabutan gigi), dilaksanakan tanpa obat bius apa pun.
Obat bius pertama-eter, kloroform dan morfin- baru mulai digunakan secara teratur dalam kedokteran Barat pada pertengahan abad ke-19. Sebelum dikembangkannya kloroform, empat prajurit harus memegangi rekan yang terluka ketika dokter menggergaji kaki si prajurit. Bayangkan! Gergaji.
Namun dalam dua abad setelah Waterloo, segala sesuatu telah berubah total. Pil, suntikan, dan operasi canggih menyelamatkan kita dari berbagai penyakit sehari-hari, yang orang-orang pramodern terima begitu saja sebagai bagian dari kehidupan. Harapan hidup ternyata melonjak dari di bawah 40 tahun menjadi sekitar 67 tahun di seluruh dunia, dan menjadi sekitar 80 tahun di negara-negara maju (dari Maddison, The World Economy, English Population History, halaman 295).
Keberhasilan dunia kesehatan dalam menekan angka kematian ini berdampak pada beberapa ilmuwan yang menginginkan keabadian. Ini nyata, bukan seperti pada kisah Harry Potter atau film science fiction lainnya.
Dulu, orang tua telah terbiasa kehilangan anak-anak mereka sebelum beranjak dewasa. Mereka melahirkan sebanyak belasan kali namun angka kehidupan anak-anak mereka hanya 18 persen yang berhasil melewati usia empat puluh tahun. Nyari mustahil bagi orang tua zaman sekarang untuk mengalami kehilangan semacam itu kan?
Lalu para ilmuwan meluncurkan sebuah proyek menuju keabadian yang dinamakan Proyek Gilgamesh (disadur dari Sapiens, karangan Yuval Noah Harari, halaman 322). Berapa lama yang dibutuhkan Proyek Gilgamesh agar tuntas? Seratus tahun? Lima ratus tahun? Dapatkah mereka memperpanjang harapan hidup manusia seperti yang telah berhasil mereka lakukan pada cacing? Mari kita tunggu para pakar nanoteknologi yang memiliki impian untuk membuka pembuluh darah yang tersumnat, memerangi virus dan bakteri, melenyapkan sel-sel kanker dan bahkan membalikkan proses penuaan.
Kita tunggu bagaimana takdir Allah diterapkan. Benarlah apa kata pepatah yang menuliskan, iman tanpa ilmu itu kosong sedangkan ilmu tanpa iman adalah sombong.
Malah seperti untuk melawan takdir kematian ya. Hmmm
Dan saya jadi inget salah satu kutipan hadist yg mengatakan semua penyakit ada obatnya kecuali penyakit TUA..