Selama lebih dari dua puluh tahun menjalani Ramadan tahun demi tahun tidak pernah terbayangkan rasanya ketika harus menghadapi Ramadan di situasi perang seperti saat ini. Meskipun tidak dapat juga dikatakan seperti perang sungguhan. Namun bagi mereka orang-orang yang percaya bahwa virus ini benar adanya, memanglah menjadi satu perang dengan makhluk yang tak terlihat. Menginfeksi siapapun, dimanapun dan persebarannya  begitu cepat dan massive dari satu negara ke negara lain.

Tidak pernah pula terbayangkan bahwa Ramadan kali ini benar-benar akan saya lewati dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Angka kriminalitas meningkat karena gap kesenjangan yang lebar menganga antara si miskin dan si kaya. Antara pegawai berupah bulanan yang tetap dibayar meskipun bekerja dari rumah dengan buruh harian yang kemudian banting setir entah menjalani pekerjaan apa saja yang penting dapat bertahan hidup. Antara pegawai pemerintah yang mendapat tunjangan hari raya dan tunjangan kinerja maupun profesi dengan buruh perusahaan yang dirumahkan begitu saja.

Situasi pandemi yang serba sulit kian memperlebar jarak antara dua status sosial itu. Sekolah diliburkan, begitu juga dengan universitas. Mall dan toko tutup, hotel dan biro wisata pun ikut mengkerut. Banyak pengusaha kelimpungan memikirkan nasib karyawan-karyawannya. Tanpa diketahui secara pasti kapan akan berakhir. Situasi yang serba sulit di seluruh negara ini tentu saja memengaruhi berbagai kenaikan harga barang. Namun justru di sini nilai terbaik pada Ramadan kali ini.

Lho, kenapa terbaik?

Pertama, berlatih kesabaran.

Saya berlatih begitu banyak kesabaran di situasi seperti ini. Bersabar menahan ego untuk keluar rumah, bersabar menghadapi cranky-nya anak karena bosan di rumah, juga bersabar karena gaji suami terpaksa harus dipotong beberapa persen karena pengurangan jam kerja. Pun harus bersabar dengan gaji honorer yang tak kunjung cair hingga bulan ke-empat. Nasihat dari pasangan hidup saya bahwa justru inilah medan perjuangan kita. Bagaimana empati kita benar-benar diuji. Bukankah Rasulullah bersabda bahwa sedekah terbaik dilakukan saat di masa-masa sempit? Maka pengurangan gaji maupun tertundanya ujroh alias gaji sebagai pegawai honorer bukanlah menjadi alasan untuk berbuat baik. Justru di saat seperti ini kesempatan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Kedua, masih banyak orang-orang baik di dunia ini.

pict from unsplash.com/@chitz201

Ramadan terbaik karena saya menyadari masih begitu banyak orang-orang baik di dunia ini. Skip persoalan tentang Youtuber gila yang membagikan kardus indomie berisi sampah dan batu. Fokus saja pada orang-orang yang setiap harinya seperti berlomba memberi kebaikan demi kebaikan pada orang-orang yang membutuhkan. Terbukti bahwa bangsa Indonesia memang punya sifat dasar suka gotong royong, tidak bisa melihat orang lain menderita, kecuali yang bisa. Namun semua ini bisa menjadi harapan bahwa kita bisa melewati pandemi ini bersama-sama.

Ketiga, merasa lebih dekat dengan Allah.

Jujur saja, orang akan mengingat Tuhannya, berlama-lama memanjatkan doa padaNya adalah ketika ia dalam keadaan terjepit. Persis seperti situasi seperti ini. Tidak menutup kemungkinan saya sendiri. Maka kedekatan pada Allah ini patut saya syukuri sebagai Ramadan terbaik saya. Bahawa setiap gerak dan lisan yang berbicara ini seakan sangat saya pertimbangkan agar tidak mengurangi nilai ibadah saya pada Allah. Saya takut bagaimana jika Allah berkehendak saya terinveksi, maka saya akan meninggalkan orang-orang yang saya cintai dalam ruang isolasi yang dingin dan sepi. Harapan karena saya punya Tuhan yang Maha Segalanyalah semua ini akan bisa saya lewati, dan mudah-mudahan Allah terus menjaga keluarga saya, dan juga bangsa ini.

Keempat, lebih banyak waktu untuk menuntut ilmu.

Karena perkembangan teknologi seperti ini saya juga bersyukur meskipun pandemi belum juga berakhir dan saya harus melakukan segala aktivitas di rumah, saya bisa banyak mengikuti kelas online. Mulai dari kelas kepenulisan, kajian keislaman, hingga merambah dunia digital marketing.

Alhamdulillah, ada begitu banyak hikmah yang patut saya syukuri sepanjang tahun ini. Meskipun tak terelakkan juga bagaimana kesedihan menghinggapi hati. Hanya saja kita wajib percaya dan punya harapan bahwa hari esok yang lebih cerah bagi kita, anak-anak, serta orang tua kita masih menyambut kita dibalik pandemi yang insya Allah akan segera berakhir ini. Kelak, situasi di tahun ini akan menjadi cerita untuk anak dan cucu kelak bahwa kita pernah melewati situasi sulit dan bisa melewatinya dengan sangat baik.

Panjang umur kemanusiaan.

#BPNRamadan2020