Ribut-ribut soal zonasi. Daripada menghabiskan energi untuk berpikir negatif : zonasi bikin ngga bisa milih sekolah favorit! Zonasi menghancurkan mental anak! Endebra endebre~
Fenomena siswa yang pintar, cerdas, punya motivasi yang tinggi dan rata-rata mereka semua juga berkecukupan akhirnya menjadikan sekolah-sekolah punya sekat masing-masing. Sekolah favorit dan sekolah pinggiran.
Bagi siswa yang memang sudah pintar ‘dari sononya’ dan ‘kaya’ dari sononya takdirnya ya masuk sekolah favorit. Berbeda dengan siswa yang dianggap ‘bodoh’ takdirnya masuk sekolah pinggiran yang selama ini sering dicap sebagai sekolah anak nakal, sekolah ‘ndeso’, dan berbagai sebutan lain yang justru menjadikan mental anak sesuai dengan apa yang dilabelkan pada mereka.
Jadi mental anak mana yang sebenarnya kita khawatirkan? Bukankah seluruh anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang merata selama dua belas tahun? Zonasi mungkin ingin membantu menghilangkan sekat-sekat ini. Menghilangkan label sekolah favorit dan sekolah non favorit.
Sudah saatnya anak-anak kita diajarkan untuk berteman baik dan bekerja sama, bukan bersaing. Sekolah bukan pabrik, bukan pula perusahaan yang harus punya capaian output maksimal dan terbaik. Sudah saatnya anak-anak kita berhenti mengejar ranking satu, tapi tak satu teman pun yang mampu ia bantu.
Daripada ribut-ribut dengan ketetapan Bapak Menteri yang sudah terlanjur diterapkan, tidak akan membantu anak-anak kita masuk ke sekolah yang orang tua inginkan kok. Energi kita akan terbuang dengan percuma. Lebih baik pikirkan positifnya dan mari kita siapkan mental dan kesiapan anak untuk sekolah di tahun ajaran baru ini. Jangan lagi menanamkan benih permusuhan pada anak dengan melabeli sekolah-sekolah swasta pinggiran dengan anak-anak nakal, anak-anak bodoh, tidak berpendidikan baik. Sudah cukup. Jika kita ada di posisi mereka, posisi anak-anak yang tidak mampu secara finansial masuk ke sekolah favorit negeri yang notabene biasanya juga tambah mahal, di masa depan tentu mereka juga tidak punya kepercayaan diri sebaik anak-anak yang belajar di sekolah favorit, katanya.
Lupakan semua sekat itu.
Sisi lain, zonasi juga mengurangi macet. Tidak ada lagi jalanan ruwet bin semrawut di pagi hari ketika para orang tua bermobil berbondong-bondong mengantarkan anaknya hingga gerbang sekolah, memenuhi jalanan tengah kota. Zonasi mengurangi lintas kemacetan ini, anak bisa jalan kaki kalau sekolah dekat, atau paling tidak bisa berangkat bersama-sama dengan tetangganya, belajar menjadi pemimpin saat perjalanan, belajar untuk dipimpin, belajar lalu lintas, serta efisiensi waktu orang tua yang ingin mengantar anaknya. Orang tua bisa melakukan hal lain ketika tidak ada lagi jadwal piket mengantar anak.
Zonasi juga memberi peluang bagi sekolah-sekolah luar negeri (baca : swasta) untuk menerima murid sebanyak-banyaknya, sehingga mutu dan sarana akan selaras mengikuti perkembangannya. Sekolah-sekolah yang reot dan hampir rubuh itu butuh siswa, butuh pemantik untuk semakin maju dan berkembang. Pendidikan akan semakin berwarna dan merata.
Kalau toh keberatan dengan sistem zonasi di era Pemerintah kali ini, anak-anak bisa kok belajar di rumah, home schooling, panggil guru-guru yang menurut orang tua adalah guru favorit, belajar, lulus, lalu diterima di universitas impian. Bukankah itu tujuan akhirnya?
Jadi tidak perlu ribut-ribut tiap tahun perkara zonasi lah, kurikulum yang diubah lah, seolah tidak ada bagus-bagusnya apa yang menjadi keputusan Pemerintah ini. Kalem saja, santai gitu lho.
Bukankah kata Om Toto Rahardjo, setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah dan semua buku adalah ilmu? Kok masih saja bingung cari sekolah favorit.
Demikian,
Dari seorang mantan guru yang santai.