Tanah Air Baru, Indonesia adalah buku biografi karya Hilde Janssen, seorang jurnalis dan ahli antropologi dari Belanda. Selama puluhan tahun dirinya bekerja di wilayah Asia sebagai koresponden asing, dan kebanyakan waktunya juga dihabiskan di Indonesia.
Buku yang menurut saya sangat menarik, karena saya mendapatkan perspektif baru tentang kemerdekaan tanah air tercinta. Selama ini saya belum membaca bagaimana arti kemerdekaan Indonesia bagi warga negara lain, bagi bangsa asing, terlebih bagi bangsa yang telah menjajah negeri ini selama ratusan tahun.
Dulunya saya selalu berpikir bahwa “yang namanya orang Belanda” ya sama saja. Asing yang hanya ingin memanfaatkan Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam. Rasa sentimen terhadap bangsa Belanda masih ada sampai sekarang. Tidak baik ya rasanya bersikap demikian. Terlebih setelah kita merdeka selama puluhan tahun. Apalagi Indonesia dan Belanda punya hubungan negara yang cukup baik sampat saat ini, seharusnya sentimen itu sudah tidak boleh ada.
Tanah Air Baru, Indonesia 1947
Buku ini berkisah tentang pengalaman keempat wanita Belanda yang ikut berjuang bersama Republik, tanah air baru bagi mereka. Tanah air yang dikenal lewat suami-suami mereka. Keempatnya nekat untuk ikut ke Indonesia bersama suami masing-masing, dan bersedia ikut membangun kembali tanah air yang porak poranda akibat perang. Mereka adalah Dolly, Miny, Betsie dan Anny.
Perjalanan Dolly, istri dari seorang putra Keraton di Solo, tentu awalnya sangat sulit. Banyak teriakan-teriakan “Londo!” di sekitarnya begitu kakinya menginjak tanah air baru, Indonesia. Begitu juga dengan kehidupan tiga orang temannya yang lain, Miny, Betsie dan Anny. Ada yang ditinggalkan, ada juga yang tetap bertahan meski dalam hidup yang serba pas-pasan.
Saya katakan pas-pasan karena mereka masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan jauh dari kata “lapar” sebagaimana banyak pribumi yang kelaparan pasca perang. Kontras ketika mendengar cerita dari kakek buyut saya yang bahkan sekelas prajurit saja harus rela mengganti nasi, makanan pokok mereka dengan jagung atau umbi-umbian. Saking langkanya kebutuhan pokok.
Meskipun begitu kondisi Indonesia saat itu berangsur membaik meskipun sebentar. Meski di sekeliling mereka masih banyak yang meneriaki wanita berkulit putih sedang berbelanja di pasar bersama dengan anak mereka yang berkulit coklat,
“Londo!” teriak beberapa orang yang sedang berjalan di dekat becak Miny dan putranya yang sedang melaju.
“Mama, mana Londo? Aku ingin bertemu mereka.” ujar putra Miny.
Tak bisa dipungkiri bahwa orang-orang pun masih memandang sebelah mata kehadiran wanita Belanda di tanah air mereka. Meskipun wanita-wanita itu menjelaskan bahwa mereka berada di pihak Republik, namun tetap saja orang-orang itu tidak mau tahu dan akan tetap memandang keempatnya dari penampilan luarnya saja. Bangsa asing dengan kulit putihnya yang menyolok.
Menjadi Tahanan Politik
Salah satu hal yang akhirnya membuat saya “melunak” setelah membaca biografi ini adalah ketika suami dari Miny menjadi tahanan politik pasca revolusi. Banyak hal yang dilaluinya dengan sangat pahit namun Miny memilih untuk tetap bertahan di Indonesia. Meskipun sebenarnya bisa saja ia kembali ke Belanda, memulai kehidupan baru yang lebih baik dan aman. Sebagaimana yang dilakukan banyak orang. Meski diam-diam. Namun, semua itu tidak dilakukannya karena kesetiaan pada suami dan Indonesia. Meski banyak perlakuan buruk yang ia dapat.
Saat itu Indonesia terpecah belah akibat kejadian-kejadian politik di tahun 1965, seseorang sudah tidak lagi bisa dipercaya. Entah teman atau lawan, teman senasib atau kaki tangan.
Saya berada di dalam sini bersama 707 tahanan politik lainnya, termasuk para pemuda dari Blitar Selatan yang ditangkap bersama kakek-kakek mereka, yang mereka gendong kemana-mana menggunakan kursi. Setiap Kamis kami menerima kiriman makanan dari keluarga kami. Jumlahnya maksimal 250 paket per minggu untuk 707 tahanan. Maka kami harus berbagi dengan mereka yang tidak mendapat apa-apa, hingga jumlahnya hanya pas-pasan untuk bisa bertahan hidup.
Makanan harian kami terdiri atas nasi jagung, jagung yang dihaluskan dan dicampur dengan nasi. Untuk sarapan kami mendapat jatah tiga sendok, untuk makan siang kami dijatah delapan sendok dengan sepotong tempe kecil berukuran empat kali satu sentimeter dan tebalnya setengah senti, ditambah beberapa lembar bayam. Untuk makan malam, kami kembali diberi jatah delapan sendok nasi jagung dengan sedikit ikan asin sebesar ibu jari dan sedikit sayuran.
Melalui kacamata Nanang, pribumi yang juga suami dari Miny, saya tersadar bahwa gejolak politik saat itu sangat membahayakan bagi Miny sebenarnya. Namun, kekuatannya untuk tetap bertahan menunggui suami dan menetap di tanah air baru, Indonesia, juga menyayat hati saya.
Ketika banyak orang dijebloskan ke dalam penjara tanpa alasan, Miny tak gentar. Banyak tahanan yang dulunya menjadi saksi, lalu divonis hukuman mati dan saat itu harus bersaksi dalam persidangan lain. “Itu semua hanya murni pementasan,” Nanang menilai, “setiap adegan sudah ditulis dan disutradarai.”
Para saksi sudah dicari sedari awal agar rezim yang berkuasa tahu mengenai latar belakang keluarga, pilihan politik, dan hubungan pribadi mereka dengan tersangka. Orang-orang yang mungkin dapat membuktikan tersangka tidak bersalah, dan yang berniat menyampaikan kebenaran, dicoret dari daftar saksi, konon dengan alasan kesehatan mereka yang buruk. Saksi-saksi lain diancam petugas dan dipanggil untuk memberikan pernyataan yang memberatkan. Mereka yang menolak harus siap dipukuli dan disiksa tanpa ampun. Suara jeritan dan rintihan mereka bergema di lorong.
Jika mengetahui semua ini kita jadi bertanya-tanya, apa gunanya persidangan. Vonis yang akan dijatuhkan sudah diketahui sebelum sidang dimulai. Seperti inilah hukum di Indonesia, yang tunduk pada kepentingan penguasa, dan bukan pada kebenaran.
Bagaimana kisah Dolly, Miny, Betsy dan Anny selanjutnya?
Hilde Janssen menuliskannya dengan runtut, detail, dan indah. Berawal dari pertemuannya dengan Dolly, akhirnya menjadi cerita yang ingin Hilde sampaikan pada pembaca.
Hilde diperkenalkan dengan Dolly, 85 tahun, pada akhir 2010 di Jakarta. Wajah wanita itu khas, hidungnya yang mancung menunjukkan ia keturunan Belanda. Dolly langsung mengenali kedua wanita yang ditunjukkan Hilde melalui foto yang dibawanya. Mereka berusia awal dua puluhan saat meninggalkan Rotterdam pada 1946 bersama para suami Indonesia mereka untuk menuju Tanah Air Baru, Indonesia. Keempat wanita tersebut bagai melawan arus, saat mayoritas orang Belanda justru meninggalkan Indonesia.
Enkele Reis Indonesie, by Hilde Janssen
Published on Amsterdam 2015 by Dutch Foundation for Literature
Alih Bahasa : Meggy Soedjatmiko
Desain sampul : Peter van Dongen
Diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2016
336 halaman
4/5
[…] Baca Selengkapnya […]
Aku penasaran Kak sama bukunya. Iya sih emang kita tidak boleh sentimen dengan belanda
Emang menghilangkan stigma buruk terhadap sesuatu hal itu nggak mudah. Meski bukan Tak mungkin. Banyak dari kita mampu secara pemikiran. Tapi belum dalam aksi. Dan, ini pr kita semua ya kk Ji😊
Mba Jihan, banyak bangetttttt yang seperti Dolly, Miny, Betsie dan Anny bahkan sampai zaman sekarang pun mba. Banyak WNA yang sudah jadi WNI justru lebih ‘merah putih’ dari kita. Hihihi. Kalo soal sentimen ber-Tanah Air, jangankan di Indonesia ya mba, Korea Selatan saja yg sudah jelas-jelas negara maju itu mah rasis bangetttt. Bisa kita lihat artis-artis K-pop yang bukan asli Korea, gimana mereka berjuang beradaptasi dan melawan sentimen-sentimen seperti ini. Buku berharga ini euy. Bisa aja Mba Jihan nemunya.
Saya punya tetangga keturunan Belanda, dia menikah dengan orang Indonesia. Kalau teman kerja dulu, kakeknya yang orang belanda. Neneknya orang Indonesia. Mereka memang memilih untuk tinggal di Indonesia setelah “perang” usai.
Jika perang sudah selesai, apa masih akan ada permusuhan atau balas dendam? Kalau masih demikian … nggak akan damai, dong ya?
Bukunya menarik mbak.. penasaran pengen baca
Engga kebayang ya 4 wanita tsb rela mengikuti suami ke Indonesia, yg antipati ama org Belanda. Sampai diteriaki “Londo”. Duh…Hebat mereka malah cinta Indonesia banget. Bukunya keren nih…
Lucunya ya org kita mah, nyebut yg bule gitu, pukul rata, Londo. Jadi ada londo jerman, londo amerika, londo enggres…hehe…
Mengharukan sekali kisah mereka. Nggak kebayang harus melawan arus demi kesetiaan pada negara dan suami.
Ini seperti kisah tersembunyi di balik batu karang cerita-cerita sejarah bangsa kita. Sangat humanis dan menyentuh.
Mba Jihan kaya akan bacaan banget. Makin termotivasi buat rajin baca… hihi
Jadi pingin baca bukunya nih. Buku ini mengingatkan aku ama De Winst punya mbak Afifah Afra.
Keren ya bukunya. Pasti risetnya mendalam itu
Ceritanya mengharukan sekali ya kak Jihan. Biasanya aku bakalan banjir air mata kalo baca cerita begini. Apalagi pas bagian “gak diterima lingkungan” karena berbeda. Diteriaki Londo
Huhuhu penuh bawang bukunya..
Tertohok baca mengenai apa gunanya persidangan jika vonis sudah lebih dahulu dijatuhkan, hukum tunduk pada penguasa bukan pada kebenaran.
Sungguh masih sangat banyak PR para penegak hukum atau lebih jauh lagi kami para pendidik calon2 penegak hukum. Menegakkan supremasi hukum, bukan supremasi politik sebagaimana yang dimaksud di paragraf kutipan ini.
Aku belum pernah baca cerita seperti ini mbak, pasti aku akan larut dalam lautan emosi #asik. Bisa jadi mereka lebih nasionalis drpd bangsa Indonesia saat itu yaaa…cinta yg mengajari mereka cinta PD Indonesia #eaa
Aku penasaran dengan wajah mereka yang menghadapi tantangan di kala itu….
Bacaannya berat nih mbak hehehe. Tapi memang generasi sekarang dimana kepribumian mereka yg benar benar pribumi pun mungkin engga senasionalis ke empat wanita itu ya mbak.
Menarik ketika didalamnya dibahas ttg hukum…secara hukum kita mengadopsi dari Belanda… tapi sialnya… mereka memperbaiki sistem hukum mereka dan kita masih banyak mengadopsi sistem lama dari mereka… btw bukunya memiliki cerita yang menarik … mirip2 kisah minke di bumi manusia nya ananta ya kak