Perempuan di Titik Nol adalah buku yang sempat saya pending dulu, untuk dibaca kemudian. Alasannya simple, saya belum siap dengan apa yang orang katakan sebagai “buku kiri”. Namun akhirnya keingintahuan itu lebih besar dibanding segalanya. Maka, di sinilah buku ini, berhasi saya baca dalam waktu sehari saja. Sayang sekali melewatkan kisah dalam buku ini. Pada akhrnya, buku kiri atau buku kanan, tak masalah bagi saya. Asal pijakan dan sandaran kita kuat.
“Siapa saja diantara mereka itu tak akan ada bedanya. Mereka semua sama saja, semua anak anjing, berkeliaran dimana-mana dengan nama macam-macam. Mahmoud, Hassanain, Fauzy, Sabri, Ibrahim, Awadain, Bayoumi.”
Dia tertawa keras. Saya dapat melihat sekilas giginya yang kecil-kecil, putih, dengan sebuah gigi emas tepat di tengah-tengahnya.
“Aku kenal mereka semuanya. Yang mana diantara mereka yang memulai? Ayahmu? Kakakmu? Salah satu pamanmu?”
“Pamanku,” jawab saya dengan nada rendah.
Salah satu percakapan diatas diambil dari cerita yang dibawakan Firdaus pada dokter Nawal, sesaat sebelum dirinya dieksekusi mati. Menjadi wanita akan selalu salah dan rendah di mata laki-laki saat itu. Budaya patriarki membuat laki-laki berbuat semena-mena pada perempuan. Siapa pun dia. Bahkan istri dan anaknya sekali pun.
Mungkin terlambat untuk membaca karya Nawal El Saadawi yang satu ini. Beberapa orang mengatakan buku ini begini dan begitu. Namun akhirnya rasa penasaran saya terbayar juga setelah membacanya. Perempuan di Titik Nol memang layak diperbincangkan.
Ada ketakutan yang membayangi sebelum dan selama membaca buku ini. Takut mindset akan berubah. Takut jika penilaian Firdaus terhadap lelaki dalam kisah ini benar adanya. Takut bahwa masa lalu yang dialaminya mungkin saja akan terjadi pada saya, atau anak, sepupu, keponakan bahkan adik saya.
Terbersit rasa benci juga ketika larut dalam buku yang saya selesaikan dalam waktu dua hari saja. Dua hari itu saya menjadi ikut kalut dan memikirkan nasib Firdaus. Dua hari itu saya jadi ikut memandang bagaimana lelaki di luar sana selama ini memperlakukan perempuan.
Firdaus bilang bahwa lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip-prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dengan lelaki lainnya.Mereka mempergunakan kepintaran mereka, dengan menukar prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat orang lain beli dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami para wanita. Sesuatu yang disalahgunakan. Sesuatu yang bisa dijual.
Namun seketika saya sadar bahwa para lelaki yang dijumpai Firdaus tidak pernah terdeskripsikan dari sikap Ayah, suami, dan semua saudara lelaki saya. Ayah mencuci bajunya sendiri. Bahkan ia selalu merapikan pakaiannya sendiri. Karena beliau tahu ibu tidak suka mencuci, tidak juga suka berbenah rumah. Ayah pun tak pernah memarahi Ibu karena hal ini. Apalagi memukulnya. Begitu juga dengan suami dan semua saudara lelaki saya dan beberapa teman yang saya percaya. Mereka adalah lelaki santun taat beragama dan takut pada Tuhan nya.
Membaca Perempuan di Titik Nol seolah melemparkan saya pada suatu zaman dan tempat yang sangat jauh. Bukan Mesir yang saya kagumi akan ilmu pengetahuan dan kebudayaannya. Mendadak Mesir menjadi negeri mengerikan bagi saya, khususnya seorang wanita. Namun inilah kisah nyata dan tidak sedikit masih terjadi di sekitar kita. Buktinya Lapas wanita masih dipenuhi oleh orang-orang seperti Firdaus. Wanita-wanita yang melakukan pembelaan terhadap harga dirinya. Namun tetap harus dihukum menurut Undang-undang negara.
Buku ini benar-benar mencekam.
Judul asli : Women at Point Zero
Author : Nawal El Saadawi
Penerjemah : Amir Sutaarga
Cetakan ke-14, Maret 2019, 176 halaman, Penerbit Pustaka Obor.
Baca Juga The God of Small Things by Arundhati Roy
[…] Baca Juga Women at Point Zero […]
[…] Baca Juga Perempuan di Titik Nol. Refleksi sebagai Wanita […]
[…] harga yang terjangkau kita bisa mendapatkan hasil maksimal, kulit sehat dan cerah dambaan setiap wanita. Eaaa, worth it banget […]