Kebijakan Pendidikan di Masa New Normal menimbulkan pro kontra. Namun Pemerintah tetap memberikan pilihan pada orang tua masing-masing sebelum memutuskan anaknya untuk kembali ke sekolah tahun ini atau tidak.
Semua pada ngeluh bosan, capek, minus nambah, sakit punggung, dan lain-lain. Bahkan wisuda pun terpaksa harus dilaksanakan secara daring. Makin banyak pula yang mengeluh, kapan anak-anaknya bisa kembali ke sekolah? Orang tua stres karena harus cari uang dan bekerja sementara anaknya tidak ada yang mendampingi di rumah. Guru stres karena beban tugas semakin berat, kuota jadi habis lebih banyak dari biasanya. Murid juga stres karena interaksinya dengan teman-teman sekolah dibatasi oleh layar komputer. 2020 adalah masa sulit.
Saya termasuk salah satu ibu yang mengeluh itu. Setiap hari berangan-angan dan menahan pertanyaan yang selalu timbul dalam kepala, “kapan anak-anak mulai masuk sekolah?” Maklum, selama saya bekerja, si kecil selama ini saya sekolahkan di salah satu daycare yang bangunannya jadi satu dengan Taman Kanak-Kanak. Selama ini kalau TK libur, otomatis daycare juga libur. Anjuran Pemerintah pun tidak boleh membawa anak ke daycare untuk sementara waktu.
Hal ini menjadi sangat berat bagi saya sebagai ibu pekerja walaupun bekerja di rumah saja. Justru karena bekerja di rumah, kegiatan saya malah lebih banyak berkaitan dengan urusan domestik rumah tangga dibandingkan dengan pekerjaan. Akhirnya saya punya jam kerja ketika anak tidur. Terpaksa mulai pukul 8 atau 9 malam saya bekerja untuk membuat materi penyuluhan, menulis laporan, hingga upgrade ilmu. Setidaknya saya membutuhkan waktu minimal dua jam dalam sehari untuk menuntaskan kewajiban saya dari kantor. Lha jadi curhat.
Intinya bukan hanya guru yang kesusahan, bukan hanya orang tua, juga murid. Semua mengalami titik krisis sesuai kapasitas diri masing-masing. Apalagi soal pendidikan yang sangat krusial ya. Saya jadi teringat sebuah sekolah alam di Yogyakarta yang mengedepankan lifeskill peserta didiknya dibandingkan nilai-nilai eksak maupun hafalan ilmu sosial.
Sehingga belajar dari rumah mungkin terasa lebih mudah bagi mereka. Karena mereka sudah terbiasa dengan berbagai proyek kreatif yang diberikan oleh guru untuk diselesaikan dimana pun. Mau di rumah, sekolah, bahkan di luar lingkungan rumah atau sekolah sekali pun.
Sekolah itu Candu?
Kegelisahan sejak saya naik jenjang ke tingkat sekolah menengah akhirnya terjawab dengan buku Sekolah itu Candu karya Roem Topatimasang. Buku yang membuka pikiran dan sudut pandang saya tentang sebuah sistem yang diletakkan pada bagian paling krusial di negara manapun. Pendidikan.
Berbagai pertanyaan seperti menyangsikan beberapa pelajaran, mungkinkah ini akan saya pakai kelak saat terjun dalam dunia kerja? Mungkinkah teori-teori, rumus-rumus, serta istilah latin yang saya hafalkan ini akan membantu menyelesaikan persoalan yang terjadi di sekitar saya?
Benarkah kebijakan pendidikan dari Pemerintah dengan membuat syarat lulus lewat Ujian Akhir Nasional saat itu adil? Lalu berpindah kebijakan lagi dengan meniadakan UAN. Benarkah peningkatan kompetensi guru melalui workshop, pelatihan, dan berbagai macam studi banding ke berbagai negara benar-benar mengubah cara mengajar dan wajah pendidikan di sekolah masing-masing?
Benarkah sekolah satu-satunya agen tunggal yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan memanusiakan seseorang? Sisi lain, ada peristiwa kriminal atau pelecehan seksual di sekolah. Benarkah sekolah yang mencetak seseorang menjadi pejabat-pejabat penting di negeri ini? Atau sekolah juga mencetak penjahat? Benarkah sekolah adalah bisnis menguntungkan untuk masa depan? Bagaimana hakikat sekolah sebenarnya?
Paling sedikit dua belas tahun waktu dihabiskan untuk bersekolah. Selama itu pula saya duduk, mendengarkan guru berceramah di depan kelas, mencatat, merangkum, dan sesekali bermain serta memperluas sudut pandang dengan bersosialisasi bersama teman-teman. Ingin rasanya kembali ke masa wajib belajar sembilan tahun dan memilih untuk belajar dari segala tempat.
Seperti yang diungkap tentang sekolah alam yang diinisiasi oleh Toto Rahardjo bernama SALAM (dalam bukunya Sekolah Biasa Saja) bahwa kita harus berpikir berulang kali sebelum melewatkan episode “menyekolahkan anak”.
Terbukti bahwa Sekolah itu Candu benar adanya. Pandemi memaksa kita semua untuk tetap di rumah saja ternyata membuat gelisah anak-anak dan orang tua serta guru juga. Resah karena banyak hal tentu saja, termasuk kapan sekolah akan dibuka lagi. Sebagian besar pasti memiliki pendapat bahwa kita semua rindu sekolah. Sekolah menjadi candu bagi semua. Baik itu murid, orang tua juga guru. Candu dalam arti sesungguhnya. Disamping arti candu yang membuat kita membutuhkan selembar pengakuan berupa ijazah yang lebih dihargai dibanding lifeskill tanpa lembar pengakuan.
Mereka percaya bahwa semua orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah dan setiap buku adalah ilmu.
Orang tua resah bagaimana kalau sekolah baru bisa dibuka tahun depan? Seberapa kuat emosinya bisa stabil menghadapi anak-anak, membereskan pelajaran yang diberikan oleh sekolah, serta mendampinginya belajar? Belum lagi disibukkan dengan urusan domestik rumah tangga yang tidak akan pernah selesai. Belum lagi ibu pekerja yang harus membagi waktu juga antara pekerjaan dan masa belajar anak-anaknya. Tahun ini sekolah benar-benar menjadi candu. Jika tidak masuk sekolah, banyak orang yang dirugikan. Mulai dari sekolah swasta yang tidak lagi punya murid, guru swasta, penjual mainan anak-anak, penjaja kue, hingga moda transportasi. Sekolah sudah menjadi salah satu sumber penghasilan banyak orang. Maka tak berlebihan jika dikatakan hal tersebut sudah menjadi candu.
Kebijakan Pendidikan Saat Ini
Serangkaian kebijakan dikeluarkan Kemendikbud menghadapi New Normal untuk menyikapi perkembangan penyebaran Covid-19, seperti pembatalan ujian nasional (UN), penyesuaian ujian sekolah dan pendekatan online untuk proses pendaftaran siswa. Selain itu, dibuat pula kebijakan penyesuaian pemanfaatan bantuan operasional sekolah (BOS) dan BOP yang fleksibel untuk memenuhi kebutuhan sekolah selama pandemi. (Sumber : Kompas)
Kabarnya, pendidikan adalah cluster terakhir yang dibuka pasca Covid-19. Anak-anak harapan bangsa yang rentan tertular tentu saja menjadi kekhawatiran tersendiri dan menjadi prioritas untuk diselamatkan terlebih dahulu. Alih-alih menyelematkan dan menghindarkan para pelajar dan mahasiswa dari virus, sementara orang tua mereka harus keluar dan bekerja seperti biasanya. Yes, like a new normal. Disinyalir, banyak anak-anak yang luput dari rapid dan swabtest sehingga angka penderita dari umur anak-anak tidak bisa terdeteksi dengan baik. Padahal mereka termasuk dalam kelompok yang rentan tertular. Apalagi usia TK, SD hingga SMP.
Saya pun hanya bisa mengatakan bahwa semoga kebijakan pendidikan yang sudah dibuat memang kebijakan terbaik diantara yang buruk. Kehidupan New Normal di Indonesia tidak lagi new normal, tapi sudah benar-benar kembali normal seperti biasa. Meskipun per Juni tanggal 21 tahun 2020 Indonesia menjadi negara dengan angka Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara, saya tetap optimis kita semua bisa melalui badai kelam dan keluar pada tahun 2021 sebagai bangsa yang mampu mengejar ketertinggalan. Karena sekolah di negara ini masih menjadi candu. Sebuah berkah tersendiri bagi dunia pendidikan sekaligus korporasi.
Baca juga : Menjadi Kuli Agar Kuota Internet Terbeli
Cuma bisa doa, semoga tetangga dan teman² yang punya anak usia sekolah tetap sabar selama mendidik mereka dirumah. Semoga new normal balik lagi jadi normal. Aamiiin.
semoga semua lekas membaik yaaa… keadaannya memang menuntut untuk lebih baik di rumah aja yaa
wah.. kalau dipikir semua hal yang terlalu kita senangi mungkin bisa disebut candu ya, mbak^^
Setuju banget sekolah itu candu. Meski banyak kekurangan yang ditemukan, sekolah tetap dijadikan sebagai budaya yang jika ditinggalkan terasa aneh.