Seolah tak ada habisnya untuk dibicarakan, sosok Buya Hamka selalu menyedot perhatian saya. Entah dari tutur kata beliau pada jamaahnya, kesetiaan dan perjuangan beliau untuk bangsa, hingga meneladani Buya Hamka merawat cintanya bersama sang istri, Siti Raham.
Dalam buku Belajar Jatuh Cinta dari Ulama yang ditulis oleh Pizaro, ada petuah Buya Hamka soal cinta yang sungguh menenangkan hati.
Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh ombak dan duri penghidupan (Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo (1908-1981))
Meledani Buya Hamka dan Mahligai Cintanya Bersama Siti Raham
Kisah cinta Buya Hamka dan Siti Raham dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham masih berusia 15 tahun, dan Buya Hamka 21 tahun. Sejak tanggal tersebut, mereka berdua sah menjadi suami istri.
Meskipun hidup dalam suasana miskin (bahkan untuk salat saja mereka harus bergantian, karena di rumah hanya ada sehelai kain), namun Buya Hamka sukses menulis buku Tasawuf Modern sebagai karangan bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat.
Kondisi pas-pasan tidak membuat Buya Hamka surut, beliau terus berkarya dan berprestasi hingga tulisan-tulisan beliau banyak diminati oleh masyarakat.
Saat memimpin Muhammadiyah di Sumatra Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu dilakukannya dengan menaiki bendi maupun berjalan kaki. Hal tersebut dilakukannya selama berhari-hari tanpa pulang ke rumah. Maka saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering ditanyakan Hamka adalah:
“apakah anak-anak (bisa) makan?” Hingga beliau sengaja menepuk perut-perut anaknya untuk mengetahui apakah mereka lapar atau kenyang.
Lalu di sinilah Siti Raham sukses menjalankan amanahnya sebagai Ibu. Cinta beliau begitu besar pada perjuangan untuk Islam dan juga suaminya. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual semua simpanannya.
Beliau bukanlah wanita yang menjadikan perhiasan sebagai mahkotanya. Karena mahkota sejatinya adalah Buya Hamka dan keluarga. Namun, karena tak tega melihat istrinya terus menerus menguras hartanya, Buya Hamka sontak mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual.
Namun sang istri mencegahnya,
Kain Angku Haji jangan dijual. Biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar, jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin, ujar Siti Raham.
Dalam keadaan sederhana pun Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja akan dilakukannya agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jamaah dan masyarakat. Karena bagi Siti Raham, cinta adalah kehormatan.
Inspirasi Hidup dari Buya Hamka dan Siti Raham
Tidak hanya berdakwah di sekitar Sumatra Barat, kiprah Buya Hamka hingga ke seluruh penjuru negeri mulai terasa guangnya. Hingga pada perang kemerdekaan melawan penjajah, Buya Hamka sempat terpisah dengan istri dan anak-anaknya selama berbulan-bulan tanpa kabar.
Namun karena keteguhan Siti Raham dalam menjaga kehormatan serta anak-anaknya, alhamdulillah mereka pun bisa bersatu kembali sesaat sebelum kemerdekaan Indonesia. Hingga Buya Hamka kemudian diamanahi untuk menjawab sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional di Jakarta yang diketuai oleh Bung Hatta.
Berkat keluasan sang Buya Hamka jua lah, beliau ditunjuk menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi Islam. Berbagai perguruan tinggi bergengsi menjadi tempat beliau menyebarkan ilmunya, di antaranya Universitas Islam Jakarta, PTAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, dan Universitas Muslim Ujung Pandang.
Lalu di fase inilah Buya Hamka kemudian mulai aktif di Partai Masyumi (yakni Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang menjadi partai politik Islam yang pernah ada selama era Demokrasi Liberal di Indonesia). Namun kiprah beliau yang semakin melejit di partai tersebut, tidak disukai oleh Presiden Soekarno yang lebih memilih partai kiri.
Banyak kebijakan dan Peraturan Pemerintah yang akhirnya menyudutkan Buya Hamka, hingga beliau difitnah dengan keji karena pemberontakan dan usaha pembunuhan Presiden yang tidak pernah beliau lakukan. Buya Hamka dipenjara sekian lama, dipaksa untuk mengaku hingga kesehatannya menurun drastis.
Namun Siti Raham tak pernah gentar. Ia selalu rutin mengunjungi suaminya yang ada di bui, serta terampil merawat anak-anaknya hingga dewasa.
Siti Raham rela melepas dan menggadaikan perhiasannya agar anak-anaknya tetap bisa bersekolah. Begitu besar perjuangan dan pengorbanan seorang istri untuk suami yang sedang berjuang di jalan Allah, dan juga untuk bangsanya. Hingga saya tak mampu berkata-kata, masihkah saya bisa menjadi ibu yang tegar dan kuat seperti Siti Raham andai hal yang sama terjadi pada belahan jiwa?
Membaca dan mendengar bagaimana kekuatan cinta mereka menjadi kekuatan yang menginspirasi, sampailah pada satu kesimpulan tentang bagaimana kita sebagai generasi meneladani Buya Hamka dan juga keteguhan hati istrinya.
Jatuh cintanya para ulama bukanlah kisah roman picisan. Namun perjalanan cinta mereka sarat akan nilai-nilai hikmah. Mereka tidak sekadar berteori, tapi memberikan tuntunan dan keteladanan bagi setiap insan dalam menuntaskan problematika hati.
Bagaimana dengan teman-teman? Sudahkah mengambil hikmah dari kisah Buya Hamka? Apa yang teman-teman ingat dari sosok inspiratif Buya Hamka?