Menghormati diri sendiri berbeda dengan gila hormat. Menghormati diri sendiri adalah sebuah upaya untuk menjalani hidup apa adanya, bangga atas diri sendiri dan segala pencapaiannya. Tentu saja tidak narsistik juga. Bagaimana cara menghormati diri sendiri? Berikut saya rangkum To Do List awal yang harus dilakukan agar kita hidup bahagia dengan menghormati diri sendiri dari buku berjudul Hidup Apa Adanya karya Kim Suhyun. Tentu saja To Do List ini bersifat suka-suka dan sudah saya modifikasi sesuai dengan budaya di Indonesia. Jadi, bukan hasil dari sebuah eksperiman yang tervalidasi. Tapi, saya berharap dengan membagi cerita dan tips yang pernah saya lakukan ini, teman bloger tidak lagi menarik diri, menganggap remeh kemampuan diri sendiri, dan yang sejenisnya.
Pentingnya Menghormati Diri Sendiri
Jangan pernah membuat stres diri sendiri dengan perilaku orang lain. Karena perilaku orang lain adalah sesuatu yang berada di luar kontrol kita. Seperti yang sudah pernah saya bahas di Filosofi Teras.
Maka hal terbaik adalah dengan berfokus pada diri sendiri dan apa yang bisa kita kendalikan saja. Beberapa hal yang bisa kita lakukan antara lain :
Tak Perlu Bersikap baik terhadap Orang yang Tidak Bersikap Baik Pada Kita
Pertama kalinya saya diterima bekerja di salah satu instansi negara, saya termasuk wanita yang paling muda di sana. Tidak hanya di ruangan itu, tapi di kantor. Salah satu koordinator tim dimana saya ditempatkan awalnya memperlakukan saya semena-mena. Nampaknya, “keseneriotisan” di sana masih kental.
Dia pernah menyuruh saya memindahkan monitor yang ada di depan matanya. Ya, hanya berjarak 10cm di depannya. Atau hanya tugas mencetak beberapa laporan dari komputernya. Padahal dia tempat duduk di depan printer sekaligus komputernya. Meskipun ia memintanya dengan baik (mungkin lebih tepatnya dengan nada rendah namun penuh intimidasi seperti di sinetron-sinetron), namun saya merasa hal ini tidak sesuai dengan job-desk. Bahkan dia pernah menyuruh saya untuk membuat karya ilmiah untuk kepentingan kenaikan pangkatnya. Padahal, di kantor jabatan kami setara. Hanya saja dia memang lebih tua, lebih dahulu masuk ke dunia kerja, atau biasa disebut lebih senior.
Terkadang amarah saya muncul ketika teringat orang itu. Namun yang membuat saya benar-benar kesal dan marah bukanlah karena perbuatannya, namun karena diri saya sendiri yang hanya diam meski mendapat perlakuan seperti itu darinya. Bahkan mengerjakan apa-apa yang dia perintahkan. Ugh! Padahal dia bukan orang yang memegang kekuasaan besar di instansi tersebut. Tapi dia berlagak seperti seseorang yang ada di atas segalanya. Menyedihkannya lagi, saya tidak melakukan apa pun terhadapnya. Karena sikap diam saya itu mungkin dia semakin merendahkan saya.
Sejak saat itu saya mencoba melawan agar martabat saya terjaga dari penghinaan oleh orang lain.
Jangan Sakit Hati dengan Orang-orang yang Hanya Melintas dalam Hidup Kita
Seseorang pernah berkata bahwa orang-orang yang tidak disukai atau tidak akrab dengan kita hanya akan melintas di dalam hidup kita. Tapi biasanya kita akan mengorbankan hati, menahan rasa sakit, dan menumpuk kebencian pada mereka. Seperti halnya kepada atasan kantor yang tidak akan saya temui lagi nanti setelah mengundurkan diri, kepada teman yang mungkin tidak saya senangi dan tidak membawa pengaruh positif dalam hidup, kepada perempuan yang terlihat menyebalkan karena abai pada kita, pada teman-teman kuliah yang termasuk licik, dan juga kepada semua eksistensi yang bukan apa-apa dalam hidup kita.
Janganlah kita gunakan lagi perasaan untuk mereka.
Meskipun kita membatasi hati, membatasi diri, dan membencinya, tetap saja mereka hanyalah orang-orang yang melintas di kehidupan kita.
Tidak Perlu Merendahkan Diri Hingga Membuatmu Menciut
Setelah berhasil menerbitkan buku pertama berjudul Narasi Gurunda, teman-teman jadi sering memanggil saya dengan sebutan “penulis”. Tapi sebenarnya itu hanyalah candaan. Saya sendiri sebenarnya tidak percaya diri menyebut diri sendiri sebagai seorang penulis. Kenapa yaa sampai saat ini saya masih canggung menyebut diri sendiri sebagai penulis? Bahkan ada seseorang yang menyebut dirinya pensyair meskipun tidak pernah menerbitkan kumpulan puisi miliknya sendiri.
Saya pernah mendengar bahwa di negara barat yang mengutamakan karakteristik dan kebebasan, orang-orangnya dilatih untuk menanggap diri sendiri sebagai suatu eksistensi yang spesial. Ada sebuah pembahasan unik dalam buku The Geography of Thought karya Richard E Nisbet. “Pendidikan sebagai penyampai ilmu” versus “Pendidikan sebagai pembentuk identitas”. Bahkan terdapat perang argumentasi yang cukup sengit tentang mana yang lebih penting dari kedua hakikat tersebut.
Mungkin bagi kita, “Apa sih gitu aja kok dibahas?” Tapi memang pendidikan sebagai pembentuk identitas sama pentingnya dengan pendidikan sebagai penyampai ilmu.
Sedangkan di sisi lain, Indonesia adalah tipikal masyarakat sosial yang lebih mementingkan keharmonisan umum dibandingkan karakteristik personal. Karena itu, anak yang baru masuk sekolah kebanyakan akan diajari bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan orang lain terlebih dahulu. Intinya tidak boleh berselisih dengan teman, keluarga, atau siapapun itu. Saya pun mengalaminya, lebih banyak diajari tentang pentingnya memikirkan perasaan dan sudut pandang orang lain, ketimbang berlatih untuk menganggap penting dan menghargai pola pikir diri sendiri.
Sampai-sampai setiap orang seperti memiliki radar yang difungsikan untuk mencermati pandangan atau penilaian orang lain atas setiap tindakan yang dilakukan olehnya. Semua hal itu dilakukan agar kita jauh dari suara-suara miring akibat salah menempatkan diri. Kita terpaksa merendahkan diri untuk memperhatikan pandangan orang lain. Tanpa henti merasa ragu terhadap kemampuan diri sendiri.
Memang sih, sikap rendah diri merupakan sikap terpuji untuk menghormati perasaan orang lain. Tapi hal itu bukanlah sesuatu yang harus membuat kita menciut karena takut akan pandangan orang lain, melainkan hanyalah sebuah sikap penghormatan. Bukan jadi sesuatu yang baik jika kita tidak bisa menyatakan perasaan hanya karena mengkhawatirkan perasaan orang lain. Sebenarnya nasihat ini untuk diri sendiri agar tidak perlu capek-capek memikirkan pandangan orang lain, dan tidak perlu merendahkan diri sendiri, apalagi sampai menciut. Orang yang harus selalu kita hargai, tidak lain dan tidak bukan adalah diri kita sendiri.
Sikap my way dan sedikit semau gue memang perlu sih 🙂
[…] Baca Selengkapnya […]
Memang banyak orang termasuk saya yang tahu bahwa mencintai diri sendiri itu penting. Namun, tidak paham bagaimana mengaplikasikannya. Penjelasannya sangat aplikatif nih mba… sangat membantu untuk bisa hidup lebih nyaman.
[…] Baca Juga Agar Bisa Hidup dengan Menghormati Diri Sendiri […]
[…] tersakiti atau sia-sia, karena mungkin kita belum mampu menciptakan landasan yang tepat untuk harapan itu […]