Satu hal yang berkontribusi besar terhadap sosial media anxiety disorder adalah faktor perbandingan dan keputusasaan. Artinya, foto-foto orang yang nampak di timeline kita mungkin sedang berlibur di pantai atau gunung bisa jadi akan menjadi pembanding dengan diri sendiri.
“Kok aku ngga bisa seperti dia ya?”
“Kapan ya aku bisa liburan seperti dia?” Dan beberapa perbandingan lain yang tidak kalah hebohnya.
Tentu kita pernah seperti itu.
Salah satu gejala Social Media Anxiety Disorder yang saya kutip dari Novel Playing Victim adalah seringnya kita melihat berapa jumlah like yang kita dapat, berapa komen yang kita dapat, dan hal lain yang berkaitan dengan jumlah pengikut/followers. Meskipun belum secara resmi ditetapkan oleh WHO sebagai penyakit mental, namun ada banyak penelitian yang menjelaskan tentang penyakit ini. Bisa jadi akan menjadi penyakit mental selanjutnya setelah “Kecanduan Game” dimasukkan sebagai penyakit mental oleh WHO.
Pada gilirannya hal tersebut dapat menyebabkan kecemasan yang tingkatannya meresahkan (takut akan kegagalan pribadi). Perasaan kesadaran diri atau kebutuhan akan perfeksionisme kemudian akan muncul, yang sering kali memanifestasikan dirinya ke dalam kecemasan sosial atau pikiran. Kemudian masuk ke dalam otak yang mengindikasikan Gangguan Obsesif-kompulsif kalau kata psikolog.
Seseorang yang menggunakan Instagram, Twitter, atau Facebook saat ini mengindikasikan pemikiran mereka bahwa lebih penting kuantitas dibanding kualitas. Jumlah pengikut, tweet, dan “suka” yang kita dapat berapa? Sudahkah para pengikut kita puas dengan apa yang kita tampilkan di sosial media? Akhirnya kita dapat mengambil angka-angka yang tidak jelas ini dan menjadikannya dasar untuk mendukung pikiran negatif.
Tidak hanya menimbulkan kecemasan berlebihan seperti : “duh kok like nya cuma sedikit?”. Bahkan University of Chicago menemukan bahwa sosial media juga “lebih adiktif” daripada rokok. Hanya saja sosial media tidak akan menyebabkan emfisema atau penyakit hati, jadi mungkin orang-orang cenderung melupakan perbaikan itu.
Kelak kita akan menyadari bahwa semakin dewasa seseorang, akan semakin lebih memilih menghabiskan ‘waktu yang berkualitas’ bersama orang-orang yang kita cintai daripada aktivitas lain yang dahulunya sering kita prioritaskan. Waktu yang berkualitas tanpa gawai yang menyebabkan semua kepala menunduk, mata tidak saling menatap, sibuk dengan “konten” masing-masing untuk ditampilkan dan dilihat teman-teman dunia maya bahwa “Inilah kegiatan kami hari ini dan kami (seolah-olah) sedang bahagia”.
Playing Victim menyadarkan kita, lewat cerita dari tiga tokoh utama. Playing Victim adalah novel urban thriller pertama yang membuat saya mulai menyukai genre ini. Berhasil kah Isyvara, Calya dan Afreen keluar dari permainan yang mereka buat sendiri?
Sudah sebatas mana sosial media memberikan candunya? Sudah sejauh mana sosial media mengendalikan kita?
Hello Victim, wanna play?
Must read! ❤️
Author : Eva Sri Rahayu, Penerbit : Noura Publishing. Cetakan 1, Mei 2019, 396 halaman.
Rate 3/5
Wuihhh kyknya perlu dibaca ni
iya mba Dew. Recommended banget ^^
[…] Baca Selengkapnya […]
Ngena banget. Sosmed emang adiktif. Cocok banget dibaca anak muda jaman sekarang.