Part sebelumnya : Membangun Kembali Harapan
“Mak, rumah kita yang baru terbuat dari bambu begini?” Ruqoyah memandang rumah baru yang akan ditempatinya dan keluarganya di kota Mojokerto. Perbedaannya sangat jauh jika dibandingkan dengan kondisi rumah mereka di desa. Emak tidak menjawab pertanyaan Ruqoyah, Emak seketika langsung membereskan berbagai macam barang yang masih berceceran disana-sini.
Ruqoyah melirik Emaknya yang tak menjawab pertanyaannya. Hening panjang membuatnya berpikir apa yang sedang terjadi dengan keluarganya. Kenapa mendadak pindah ke rumah yang lebih buruk dibanding sebelumnya?
“Fiq sini bantu Emak,” seruan Emak membuyarkan lamunan Ruqoyah. Kemudian dengan sigap ia turut membantu Emaknya membereskan segala macam barang yang belum diletakkan pada tempatnya. Tak lama kemudian Bapak nampak datang dengan ditemani satu orang kuli angkut yang membawa satu lemari besar untuk dimasukkan ke dalam rumah.
“Sudah pulang sekolah kalian? Mana Cacak-cacak kalian?” Bapak jelas menanyakan Hud dan saudara lelakinya yang lain.
“Sudah di belakang Pak, “ jawab Emak kemudian sebelum Ruqoyah membuka suaranya.
“Fiq, Iyah, mulai besok kalian yang bantu Emak mengantarkan kue ke warung-warung dekat sini ya, sebelum sekolah.” Titah Bapak jelas dan singkat. Itu artinya tidak ada tawar menawar lagi.
“Siap Pak!” Taufiq bersemangat mendengar ia akan kembali membantu Emaknya menjual kue. Taufiq tahu Emaknya adalah tukang kue yang kepiawaiannya tidak tertandingi oleh siapa pun di desanya. Tidak ada kue yang tidak enak dari hasil kerja tangannya yang ulet dan telaten itu. Taufiq sendiri tidak pernah bosan mencicipi kue buatan Emaknya. Taufiq tak memperhatikan bagaimana rumahnya yang berdinding bambu ini bisa ditempati. Ia tahu Emak dan Bapak mungkin sedang dalam kesulitan, nalurinya mengatakan untuk diam saja. Tak perlu bertanya lebih banyak hal lagi sehingga akan membuat Emak sedih. Ia memperhatikan kakak perempuannya yang kecewa.
“Ning bagian bantu Emak aja di dapur. Biar Fiq nanti yang antar ke warung-warung.” Taufiq berusaha menghibur kakaknya yang nampak murung itu.
“Kau pikir aku sedih karena disuruh jualan?” Ruqoyah mendengus sebal mendengar pernyataan dari adiknya yang sok tahu itu. Padahal Ruqoyah sedih karena Emak dan Bapak tidak menceritakan alasan kepindahan mereka kesini. Meninggalkan zona nyaman yang selama ini menyelimuti mereka di pedesaan. Hidup di kota bukannya lebih baik, namun malah lebih sengsara. Batin Ruqoyah.
–
Pagi berikutnya, Emak bangun lebih awal. Anak-anak tidak perlu lagi berangkat ke sekolah usai Subuh. Karena lokasi sekolah dan rumah relatif dekat. Sebagai gantinya usai Subuh mereka ikut mengaji bersama Bapak di langgar kampung. Usai mengaji mereka harus segera bersiap untuk ke sekolah. Ruqoyah membantu Emak membungkus kue-kue yang akan diantar ke warung. Taufiq sibuk membereskan prakarya yang dibuatnya semalam. Tugas dari sekolah katanya. Ia begitu bersemangat akan pamit berangkat ke sekolah hingga lupa janjinya semalam.
“Fiq katanya mau bantu Emak antarkan ke warung?” Emaknya bertanya setelah tahu Taufiq akan berangkat tanpa membawa kue-kue buatan Emak.
“Haha, oh iya Mak! Lupa! Hehehe..” Taufiq cengar-cengir mengingat janjinya semalam. Segera ia membawa dua nampan dan satu kresek berisi kue-kue buatan emaknya.
“Hati-hati ya bawanya. Jangan lupa dihitung dulu jumlahnya sebelum ditinggalkan di toko,” Emak berpesan pada Taufiq yang manggut-manggut. Sejurus kemudian ia pamit dan segera meletakkan kue-kue itu ke warung yang sudah diberitahu Emaknya. Warung hijau milik Haji Rois, warung biru milik Bik Maemunah, dan dua warung lagi yang letaknya berhadapan dengan pasar. Satu jalur dengan jalan yang ditempuhnya menuju sekolah.
“Fiq!” Seru seseorang dari balik punggungnya. Refleks Taufiq menoleh dan menghampiri sumber suara.
“Kamu jualan sekarang?” Tanya sang pemilik suara.
“Iya. Aku sudah pindah di Sooko sekarang.”
“Kalau gitu kita bisa berangkat sekolah bareng tiap hari.” Bocah yang dipanggil Bashori itu kini menyamakan langkahnya dengan Taufiq.
“Aku mau mampir sebentar ke pasar. Kau ikut?” Taufiq mengawasi sekelilingnya.
“Mau ngapain?” Bashori tampak bingung. Ingin mengikuti temannya atau lanjut saja berangkat ke sekolah karena waktu sudah mepet.
“Kalau mau ikut ayo ikut saja. Sebentar kok, tidak sampai lima menit.”
“Kau mau beli mainan ya?” Bashori menebak pandangan mata Taufiq yang terus melihat ke arah bedak mainan. Taufiq meringis.
“Aku tidak membeli mainan untuk diriku sendiri.” Taufiq mencoba menjawab kebingungan Bashori yang nampak jelas enggan untuk ikut dengan Taufiq.
“Lalu?”
“Kau lihat saja lah nanti,” kata Taufiq kemudian sambil melesat berlari menuju bedak penjual mainan di pasar. Mau tak mau Bashori menyusul di belakangnya.
Bersambung >>
Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)
Part 2 : Membangun Kembali Harapan
Part 3 : Rumah dari Bambu
Rumah bambu. Ah … aku jadi kangen masa kecil dulu ketika tinggal di rumah bambu
Aku ngebayanginnya geribik . Seperti rumahku dulu.
Rumahku sekarang, tak kasih gantungan bambu. Persis spt di foto itu. 😁👍
Wahh, ternyata keluarga Taufiq adalah tetanggaku, kita satu kecamatan, di Sooko 😄😄
[…] Part 3 : Rumah dari Bambu […]
[…] Part 3 : Rumah dari Bambu […]
[…] Part 3 : Rumah dari Bambu […]
[…] Part 3 : Rumah dari Bambu […]