Hari ke-26 #dirumahaja #workfromhome
“Kalau tidak begini, saya tidak punya uang buat beli kuota internet Bu. Lalu saya tidak bisa mengumpulkan tugas. Saya kan juga pengin pintar seperti teman-teman yang lain”
Wanita yang satu tahun lagi pensiun sebagai guru itu pun menutup layar gawainya. Memejamkan mata sejenak, karena dirasanya matanya akhir-akhir ini sangat pedih efek terlalu banyak melihat layar laptop atau handphone. Ia meminta tolong pada salah seorang anak perempuannya yang kini sedang disibukkan oleh skripsi untuk merekap nama-nama siswanya yang sudah mengerjakan tugas. Lalu nilai-nilai itu dimasukkan ke dalam laporan online yang dibuat oleh sekolah.
Ah, sungguh proses yang melelahkan memang. Pagi, siang, bahkan hingga petang hanya berkutat di depan skrin yang menyilaukan. Sekuat apapun Allah memberikan anugrah mata yang tak kenal lelah untuk terus bekerja, namun pelumas otot-ototnya pun bisa kering juga karena paparan sinarnya. Tak kena corona, mudah-mudahan tak kena rabun juga.
Puji syukur pada Allah wanita itu masih bisa memberikan pelajaran pada murid-muridnya secara daring. Tak perlu mengurangi jatah belanja hari ini karena di rumahnya sudah terpasang Wi-Fi dua puluh empat jam sehari, tujuh hari dalam sepekan. Praktis bebannya terangkat sedikit. Namun setelah membaca isi pesan dari salah satu muridnya yang hampir selalu tiap hari terlambat mengirimkan tugas, ia pun menghentikan aktivitasnya, Mencoba berpikir dan menengahi permasalahan yang terjadi ketika proses pembelajaran dilakukan secara daring setiap hari.
“Kalau tidak begini, saya tidak punya uang buat beli kuota internet Bu. Lalu saya tidak bisa mengumpulkan tugas. Saya kan juga pengin pintar seperti teman-teman yang lain”
Isi pesan itu menyengat telinga dan kepalanya. Apakah dia sudah berlaku jahat pada anak didiknya?
Salah satu siswanya menceritakan bagaimana sulitnya mendapatkan pekerjaan saat ini. Sedangkan ia harus mengikuti pembelajaran secara daring (yang mana itu butuh kuota internet). Jangankan kuota internet, bahkan untuk handphone pun ia harus meminjam dari salah satu saudaranya. Bapaknya adalah seorang kuli harian, ibunya adalah ibu rumah tangga biasa yang kadang menjual krupuk buatannya sendiri ke pasar. Namun sejak kebijakan social distancing dan physical distancing diberlakukan, krupuk-krupuk itu kadang tidak laku. Uang yang dibawa pulang Bapaknya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Itu saja sudah cukup. Kalau ia terbebani lagi dengan harus membeli kuota internet agar bisa menyimak pelajaran, mengerjakan tugas, mengumpulkan tugas, maka ia pun harus bekerja.
Akhirnya siswa yang duduk di kelas XI itu pun ikut bekerja bersama Bapaknya. Menjadi kuli dengan upah harian, mulai dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Barulah ia bisa membeli kuota internet, lalu menyimak pelajaran, mengerjakan tugas dan di tengah malam barulah ia bisa mengumpulkan tugas yang diberikan.
Begitu juga dengan guru honorer yang kebanyakan tidak memiliki gaji sesuai standart Upah Minimum Regional. Merogoh kocek untuk membeli kuota internet lebih banyak dari sebelumnya tentu sangat berat. Apalagi kerja sampingannya sebagai penjahit, atau guru les privat, atau bahkan mungkin berdagang, tidak seramai biasanya. Tidak sebanyak hasil yang ia dapat sebelum pandemi ini menyerang.
Bagi mereka yang dicukupkan oleh Allah mungkin pembelajaran via daring tidak menjadi masalah besar. Bahkan cenderung lebih praktis meskipun membosankan. Ah, andai jeritan hati anak-anak dan orang tua yang tidak mampu membeli kuota internet untuk anaknya belajar ini, didengar Pemerintah. Tapi, Pemerintah pun saat ini juga sedang berjuang untuk mengalahkan pandemi yang belum juga berakhir. Lalu pada siapa kiranya suara hatinya akan didengar?
Ah andai mereka tahu bahwa intelektualitas tidak hanya disandarkan pada beban pengerjaan tugas, presensi via daring, dan lain sebagainya. Namun bagaimana ia bisa memecahkan masalah yang terjadi di sekitarnya, hal itu sudah termasuk dalam social skill dan jawaban atas soal-soal yang mencapai level high order thinking di sekolah. Mungkinkah sekolah akan bisa melihat penilaian seorang siswa dari sisi yang lain? Pada masa-masa sulit seperti ini, tentu saja banyak orang yang jauh lebih kesusahan dibanding keluhan untuk tidak bisa membeli kuota internet. Namun, izinkan tulisan ini menjadi refleksi bagi guru, siswa, kepala sekolah, hingga pemangku kebijakan di negeri ini agar meninjau kembali anjuran pembelajaran yang harus dilakukan via daring.
Mudah-mudahan ada solusi. Tentu saja sambil berharap dengan terus melangitkan doa-doa agar pembelajaran bisa kembali seperti sebelumnya. Seperti sedia kala.
Catatan harian selama #dirumahaja sebelumnya :
Memelihara Kehidupan Manusia #dirumahaja (4)
[…] Menjadi Kuli Agar Kuota Internet Terbeli […]
[…] Baca Selengkapnya […]
masyaAllah, semoga adiknya diberikan kekuatan ya mbak. intinya kita harus memang banyak bersyukur, di sisi lain harus melihat ke atas, tetapi dibawah kita juga lebih banyak orang :””
[…] Baca juga : Menjadi Kuli Agar Kuota Internet Terbeli […]
[…] Baca juga : Menjadi Kuli Agar Kuota Internet Terbeli […]