“Aku tidak terlalu ingat. Tapi saat itulah mereka membunuh ibu dan ayahku,” jawab seorang gadis berusia sekitar lima belas tahun, dengan suara sangat lirih, dengan mata menatap tanah ketika Miss Kuroyanagi menanyakan apa yang terjadi padanya.
Delapan puluh kilometer dari Bengeula, Angola. Anak-anak berlindung di kamp pengungsian. Tidak jauh dari garis depan perang.
Anak-anak selalu menjadi korban peperangan. Ratusan dolar yang dihabiskan oleh negara, juga sekutu tidak sedikitpun untuk kepentingan dan kebahagiaan anak-anak. Mereka lebih suka mendanai perang atau gencatan senjata daripada perjanjian damai yang akan menyelamatkan nyawa-nyawa mereka.
Tidak ada yang selamat dari ranjau darat ketika mereka berjalan keluar dari kamp pengungsian yang sempit dan gersang. Bahkan gerbong-gerbong kereta sengaja dikosongkan pada tiga gerbong paling depan. Anak-anak yang menaikinya harus berhimpitan di gerbong belakang. Jika ranjau itu meledak maka gerbong depan yang hancur terlebih dahulu, sebelum tubuh mereka.
Perang. Tak peduli apa yang mereka perebutkan, ada begitu banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu. Ayah mereka dibunuh di depan mata. Ibunya diculik jika mereka suka, namun akan dibunuh juga jika mereka tak suka. Anak-anak akan diikat pada sebuah pohon, kemudian dipotong tangan atau kakinya dengan golok. Agar kelak ketika dewasa, mereka tidak akan berguna bagi siapapun. Agar kelak ketika dewasa, mereka akan mati karena putus asa. Anak-anak ditinggalkan begitu saja sampai mati. Yang selamat akan berakhir sebagai yatim piatu yang cacat, bergantung pada orang lain seumur hidup mereka.
Tidak, tolong jangan berputus asa! Negara ini masih bisa diperbaiki, bertahanlah. Dunia ini masih bisa diperbaiki. Bertahanlah, sedikit lagi.
Selalu ada harapan ketika masih ada orang-orang baik yang mau menggerakkan hati dan tubuhnya untuk berdoa atas keselamatan anak-anak yang tak berdosa.
Angola, 1989,
dan kisah ini, belum usai.
(Data didapat dari Perjalanan Kemanusiaan untuk Anak-Anak Dunia).
#30haribercerita #30HBC1905