Belajar Quran yang menjadi kewajiban bagi setiap umat Muslim adalah sesuatu yang harus diusahakan. Sebagaimana kewajiban, maka sesulit apapun kondisinya harusnya seorang Muslim bisa tetap memenuhinya. Termasuk ketika dimulainya kehidupan dengan adaptasi kebiasaan baru (new normal) seperti situasi saat ini. Sebagai penyuluh dari Kementrian Agama yang ditugaskan di Lapas Wanita di kota tempat saya tinggal, maka salah satu yang menjadi kewajiban saya tidak hanya mendampingi para peserta rehabilitasi Narkoba, tapi juga mengajari mereka untuk belajar Quran.

Beruntung saya dulu sempat ikut kursus Bahasa Arab dan Studi Islam selama dua tahun, sehingga kalau ditanya soal Quran, Hadis, Fiqh, bahkan hingga Nahwu Sharaf ngga malu-maluin banget lah. Masih bisa jawab gitu, hehehe..

Beberapa kali pembaca blog saya pernah mengusulkan untuk membahas bagaimana sih kegiatan saya di Lapas Wanita? Maka tulisan ini sepertinya bisa menjadi jawabannya.

belajar quran

Belajar Quran Tak Mengenal Usia

Sebenarnya program rehabilitasi Narkoba baru dimulai di tahun 2020 ini dengan jumlah 150 peserta tiap semesternya. Sedangkan jumlah peserta rehabilitasi ada sekitar 300 orang. Kapasitas seluruhnya yaitu sekitar 500 orang. Jadi hampir setengah dari penghuni Lapas Wanita disebabkan oleh kasus Narkoba. Tidak usah ditanya bagaimana penampilan mereka, karena semua pasti tahu bahwa kebanyakan dari wajah-wajah yang tampil di hadapan saya adalah wajah-wajah terpelajar dan menunjukkan dari kaum berada.

Mulai dari usia 18 tahun hingga 65 tahun pun ada. Mulai dari pemakai, penjual, bahkan hingga pengedarnya pun eksis di dalamnya. Mulai dari wanita-wanita terpelajar hingga wanita yang bahkan tidak bisa mengeja huruf A, B, sampai Z. Apalagi membaca Quran. Untuk itulah mereka selalu bersemangat untuk belajar Quran. Saya bersyukur dipertemukan dengan mereka semua. Mereka lah yang sebenarnya mengajarkan arti syukur dan bagaimana mempraktikkanya meskipun dalam kondisi sesulit apapun.

Pada sesi inilah saya dipertemukan dengan seorang perempuan berumur 18 tahun yang sangat ahli membaca Quran. Bahkan ia bisa melafalkannya dengan irama atau yang biasa kita sebut dengan qiroah. Saya juga dipertemukan dengan seorang ibu berusia 65 tahun. Giginya sudah ompong, kerutan menghiasi wajahnya. Ia pun tak bisa mengeja huruf A, B, C dan seterusnya. Pun dengan Quran, kitab sucinya sendiri yang baru saja ia pelajari belakangan ini. Beliau masih IQRO’ 1 dan sedang belajar huruf hijaiyah serta bagaimana mengucapkannya.

Tentu saja semangat belajar dari penghuni Lapas berbeda-beda. Tapi umumnya mereka selalu antusias ketika saya memasuki kamar berukuran sempit yang dihuni 30 napi setiap kamarnya. Sambutan mereka sangat meriah. Lambaian tangan dari penghuni kamar lain pun sangat ramah. Apakah saya takut? Awalnya iya. Awal pertemuan saya masih dikawal oleh salah seorang sipir hingga selesai melakukan penyuluhan selama satu jam.

Setelahnya, saya hanya diantar sampai depan blok khusus rehabilitasi. Lalu seorang ketua kelas akan menjemput dan mengantar saya sampai kamarnya. Begitulah. Mereka pun sudah terbiasa dengan kehadiran banyak penyuluh ke kamar-kamar rehabilitasi ini. Oh ya, khusus kamar rehabilitasi ini mereka memang tidak diizinkan untuk keluar dari blok. Jadi semua penyuluh, baik dari Kementrian Agama, psikolog, hingga kesehatan langsung datang ke kamar-kamar dalam blok yang sudah ditentukan. Bahkan untuk urusan telpon keluarga, menemui kunjungan, makan di aula, tidak diperkenankan. Makanan mereka pun diantar sampai depan kamar.

Tidak bosan dan tidak membuat keributan di dalam Lapas saja sudah syukur. Sehingga ketika mereka disibukkan dengan kegiatan-kegiatan positif mulai pagi hingga petang, mereka senang-senang saja. Apalagi belajar Quran.

belajar quran

pict from pinterest/@ommus

Belajar Quran via Daring dari Dinding Lapas

Belajar via daring akhirnya terpaksa kami lakukan sejak Mei 2020 kemarin. Karena kondisi pandemi yang tidak memungkinkan, serta untuk menjaga kesehatan para napi di dalam sana. Maka sesi rehabilitasi terpaksa dilakukan secara daring. Agak susah memang saya beradaptasi. Bagaimana caranya mengajarkan Quran via Daring dengan peralatan yang terbatas? Semua napi tentu saja tidak boleh membawa gawai. Pembelajaran biasanya dilakukan di aula secara bersama-sama. Jadi mereka memperhatikan layar besar di depan secara bersama-sama.

Kalau ada pertanyaan, maju ke depan agar lebih dekat dengan audio. Sangat susah, namun harus dijalani. Karena program harus tetap jalan bahkan di tengah situasi pandemi seperti ini. Akhirnya saya pun tidak lagi mengajarkan Quran person by person sebagaimana biasanya. Namun kami melafalkannya bersama-sama lalu mengulang-ulang bacaan tersebut sampai benar. Syukur-syukur kalau sampai hafal.

Meskipun saya berpikir pembelajaran seperti ini tidak efektif, tapi positifnya saya senang karena melihat wajah-wajah bahagia mereka pada akhirnya. Karena bisa keluar dari kamar dan belajar bersama di aula. Sederhana ya? Seperti itulah mereka yang ada di dalam Lapas mengajarkan saya untuk selalu bersyukur.

Andai ada aplikasi digital dan setiap napi dibekali dengan gawai pendukung, sebagaimana anak-anak kita belajar daring, pasti tidak menjadi hambatan besar. Namun saya yakin, Allah melihat kesungguhan dan kegigihan mereka untuk mempelajari Quran. Mudah-mudahan Allah memberikan mereka semua kemudahan dalam memahami dan menghafalkan Quran. Aamiin.

Baca Juga Belajar dari Knock Three Times dan Lapas