Jauh dari orangtua tentu bukan pilihan menyenangkan saat kita menuntut ilmu. Belum lagi saat kita sakit, perasaan nelangsa karena tidak ada yang merawat, tidak ada yang memperhatikan, tidak juga membantu memasakkan sesuatu mungkin, ceilah, manja bener yah. Atau hal lain yang membuat kita mungkin kesepian. Selain itu juga kita harus pandai-pandai memanage keuangan diri sendiri. Jika tidak, bisa-bisa minggu awal makan nasi padang lalu minggu terakhir hanya makan obat maag.

Saya sempat berpikir tentang betapa enaknya teman-teman dari Papua dan beberapa dari Maluku saat kembali kuliah di Jawa akan langsung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Iya, semasa kuliah dulu ada kelas khusus yang dijuluki oleh dosen-dosen dan mahasiswa lain sebagai “kelas anak langit”. Karena begitu selesai kuliah mereka otomatis akan menjadi PNS di tempat tinggal masing-masing. Ditambah fasilitas dari Pemerintah Daerah yang membiayai kebutuhan mereka selama hidup sebagai mahasiswa di kampus saya. Anak Langit maksudnya anak yang benar-benar beruntung, dan tentu saja seakan tidak mau terikat oleh peraturan kampus.

Namun sikap dan kebiasaan mereka sungguh jauh dari sebutan “Putra Daerah” yang mereka sandang. Mereka tidak berbaur (atau mungkin sulit berbaur), suka minum-minuman keras (padahal sudah dilarang pihak Universitas dan mereka masih terang-terangan membawanya), merokok (dilarang juga di jurusan saya), serta bersikap semaunya sendiri di kelas (ini menurut penuturan dosen-dosen yang ikut curhat di kelas kami). Masuk perkuliahan pukul 7 pagi namun mereka baru masuk jam 8 pagi. Sudah diingatkan berkali-kali namun tak jera sedikit pun. Begitu juga dengan nilai-nilai mereka. Terjun bebas. Inikah yang disebut pilihan Putra Daerah?

Sehingga saya pun ikut menjaga jarak dengan mereka. Maksud hati penasaran apa yang mereka lakukan sehingga terpilih menjadi Putra Daerah. Namun mendekati mereka saja rasanya sulit karena sifatnya yang inklusif. Maka perspektif yang saya punya pun terbawa hingga saat ini, dan semuanya berubah ketika saya sudah bekerja dan diberi kesempatan berinteraksi dengan salah satu “Anak Langit” .

Beberapa waktu lalu saya tengah bekerja bersama staff TB-Care salah satu fundrising di Kota Malang. Bersama dengan mereka ada adik-adik magang yang berasal dari berbagai daerah. Ada yang berasal dari Lombok, Maluku dan yang paling jauh berasal dari Maumere. Adik-adik ini sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Kebetulan mereka mendapat tempat rekomendasi magang dari dosen pembimbing mereka sendiri yang dulunya pernah tinggal di Malang. Harapannya mereka bisa belajar banyak dari fundrising ini.

Salah satu adik magang yang sempat saya kenal bernama Mizon (entah bagaimana menulis namanya, yang jelas panggilannya seperti ini). Mizon berasal dari Maumere, Papua. Postur tubuhnya yang berbeda dari lainnya sangat mudah dikenali dia berasal darimana. Saya pun memberikan perhatian lebih padanya karena ingin sekali mengenal lebih dekat dengannya. Maklum, Mizon orangnya cenderung pendiam dan introvert. Bahkan untuk mendapatkan nama lengkapnya saja saya harus menghubungi staff tempat dia magang. Cara pengucapan kalimat yang keluar dari mulutnya pun susah untuk saya tangkap. Hehe, entah karena saya yang memang belum terbiasa atau saya baru menemui logat bahasa Indonesia khas Papua yang ternyata sulit untuk saya pahami.

Mizon bukan dari kalangan orang berada yang semua bisa dia beli dengan uangnya. Bahkan dia termasuk mahasiswa sederhana yang melalui hari-harinya dengan ikut makan bersama di masjid, meskipun agamanya bukan Islam. Terkadang juga tempat magangnya memberinya jatah makan siang. Mizon juga berangkat dari kos ke tempat magang dengan menaiki angkutan umum. Tidak seperti mahasiswa lainnya saat ini yang mungkin sudah gengsi untuk naik angkutan umum. Berdempet-dempetan dengan penumpang lain. Bau keringat dimana-mana, belum lagi jika ada yang membawa ikan asin. Beuh!

Mizon paling kanan 🙂

Suatu ketika Mizon izin tidak bisa datang ke tempat magang. Alasan yang ia berikan pada staff adalah ada yang harus ia selesaikan di Surabaya. Kota yang jarak tempuhnya sekitar dua jam dari kota kami. Staff mengizinkan. Namun yang terjadi ketika saya menanyai temannya kemana Mizon pergi? Apa yang ia lakukan di Surabaya?

“Mizon ambil uang Bu, dia kehabisan uang.” Jawab salah seorang temannya. Aku mengernyitkan dahi.

“Uang? Kenapa harus ke Surabaya?” tanyaku,

“karena Bank Papua hanya ada di Surabaya Bu.”

“Dia tidak punya uang sama sekali sehingga harus ambil uang kesana?” tanyaku lagi penasaran.

“Iya Bu, dia meminjam uang si Rahmat (teman Mizon) untuk ongkos ke Surabaya.”

“Baik, terimakasih ya informasinya.” Kataku. Aku menelan ludah. Menghela nafas panjang. Hati terketuk ingin membantu. Melihat bagaimana Mizon kesulitan berinteraksi dengan teman-teman lainnya kemudian saya membayangkan betapa sulit baginya untuk meminjam uang. Pasti.

Ketika saya tanya kenapa tidak memberitahu kami kalau sedang kehabisan uang? Mizon hanya menjawab tidak ingin merepotkan kami. Karena kami sudah banyak direpotkan dengan kehadiran mereka sebagai tenaga magang. Saat itulah cara pandangku terhadap “Anak Langit” ini berubah. Tidak semua seperti mereka yang pernah kukenal. Mizon sopan, baik, selalu patuh dengan perintah dan tidak pernah melanggar peraturan yang ada di kantor kami. Meskipun ada beberapa tugas yang tidak dia selesaikan, namun sejauh ini attitude yang ia punya sudah baik.

Mizon bukan pilihan Putra Daerah seperti Anak Langit lain, tapi hidupnya yang sederhana seharusnya bisa menjadi contoh bagi teman-temannya yang lain di daerah. Bahwa hidup di tanah orang haruslah menjunjung tinggi norma di tanah tersebut. Hadir sebagai tamu juga harus menghormati tuan rumah. Mizon sudah membuktikan bahwa tidak semua Anak Langit bersikap sesukanya dan arogan. Pikiran saya pun lebih terbuka.

Minggu kemarin adalah minggu terakhir Mizon magang di tempat kami. Tepat saat kerusuhan Papua pecah. Mizon tidak bisa menghubungi kedua orang tuanya. Saluran komunikasi di daerahnya terputus. Kami ikut khawatir. Mizon izin pulang terlebih dahulu untuk mencari tahu kondisi kedua orang tuanya yang sudah tidak bisa dihubungi selama lima hari itu. Mizon terbang dengan biaya pamannya. Atas instruksi pamannya pula ia harus cepat kembali ke Maumere. Mizon berpamitan pada kami. Ia mengucapkan banyak terima kasih atas sambutan dan bantuannya selama ini. Ia juga meminta maaf atas segala kesalahan yang mungkin ia lakukan selama magang.

Entah mengapa hati saya sedih. Saya ikut berdoa atas keselamatan kedua orang tua Mizon juga dirinya dan keluarga besarnya. Mizon Anak Langit yang baik hati semoga Tuhan Yang Esa selalu melindungimu. Terima kasih sudah memberikan banyak pelajaran dan berbagi pengalaman selama ini.