“Kenapa dengan anak-anak itu Kak?”
.
. “Bolehkah aku menangisi mereka?” .
Aku tak tahu bahwa kelaparan bisa jadi begitu mengerikan. Kapan terakhir kali aku merasa lapar? Rasanya Ramadan kemarin adalah hari terakhir aku merasa lapar. Aku paling tidak tahan dengan bunyi perut saat kosong. Aku akan segera merintih kesakitan ketika asam lambung meningkat dan melilit lambungku dengan rasa sakit yang amat sangat.
.
Namun ketika aku membaca kisah perjalanan kemanusiaan Totto Chan ke berbagai negara berkembang, tidak hanya perutku yang ikut sakit. Hatiku juga. .
Mari kuceritakan perihal Tanzania yang mengalami kekeringan parah saat itu, 1984. Hujan tidak turun sejak 1981. Jangankan gandum, rumput pun tidak ada yang tumbuh. Makanan menjadi sangat langka dan banyak anak-anak yang menderita kekurangan gizi. Bahkan ada banyak sekali anak-anak usia sekolah dasar tak mampu berjalan, bahkan untuk bicara pun sangat sulit bagi mereka. Tak hanya kekeringan, tapi mereka juga tengah berada dalam konflik perang saudara. .
Itulah akibat kelaparan dan peperangan. Ketika seorang anak tidak mendapatkan makanan, bukan hanya tubuh yang berhenti bertumbuh tapi juga otak. Karena otak juga memerlukan gizi. Bayi-bayi dalam gendongan menangis, tapi tanpa suara. Anak-anak tak punya cukup tenaga untuk menangis. Darimana tahu mereka menangis? Kita bisa melihatnya, karena mata mereka basah oleh air mata. Bisakah kau bayangkan bagaimana rasa lapar mereka? .
Kepala suku desa kecil tak bernama di Tanzania itu berpesan pada kita, “Orang dewasa meninggal sambil mengerang, mengeluhkan rasa sakit mereka, tapi anak-anak hanya diam. Mereka mati dalam kebisuan, di bawah tenda pengungsian, memercayai kita, orang-orang dewasa.” .
@30haribercerita
#30haribercerita #30HBC1907 #30HBC19