Pagi ini matahari begitu hangat menyambut kami yang sedang melaksanakan tugas menuju kawasan pinggiran Kota Malang. Tempat pertama yang saya susuri adalah kawasan Kota Lama. Sebuah wilayah sebut saja X tempat tinggal beberapa pasien positif TBC. Begitu kendaraan saya parkir, saya langsung paham bagaimana TBC bisa menular dengan sangat cepat di kawasan ini.

Rumahnya berdempet-dempatan, bahkan sangat dempet. Luas satu rumah di kawasan tersebut rata-rata tidak sampai 50 meter persegi. Dengan jarak yang begitu dekat dan ruangan sempit yang dihuni oleh banyak anggota keluarga sangat mungkin TBC bisa ditularkan dengan sangat cepat. Apalagi sinar matahari hampir-hampir tidak ada yang masuk ke dalam rumah.

Menyusuri rumah demi rumah di kawasan tersebut membuat saya bersyukur Allah memilih saya untuk diingatkan lewat perjalanan team ini. Kira-kira dalam satu Rukun Tetangga ada satu pasien TBC yang juga memiliki keluarga besar. Inilah tugas kami dan juga para kader TBC untuk memberikan edukasi pada masyarakat tentang tindakan pencegahan penyakit tersebut.

Saat perjalanan pergi hingga pulang rata-rata saya menjumpai kaum lelaki yang duduk-duduk di depan rumah masing-masing. Padahal jam kerja. Begitu ada salah satu rekan yang bertanya, kemana istri? Kerja. Begitu jawabnya. Ah, saya mencoba berpikir positif, mungkin kerjanya malam, sedangkan istrinya kerjanya pagi.

Alhamdulillah kebanyakan dari mereka menerima dengan baik kehadiran kami untuk memberikan informasi tentang TBC, sekaligus menjaring terduga TBC agar segera memeriksakan diri jika terindikasi tertular TBC. Sehingga saya optimis, mereka akan bisa menerima informasi dari kami dengan baik. Setelah mereka menerima informasi harapannya mereka bisa merubah perilaku menjadi lebih bersih dan sehat dengan pendampingan kader-kader kesehatan masyarakat.

Sambil menunggu ibu-ibu kader TBC mengidentifikasi indeks temuan mereka, saya menyempatkan juga untuk ikut survey ke kawasan yang kabarnya juga sedang membutuhkan bantuan dari Pemerintah agar warganya terlepas dari jerat rentenir. Saya menuju kawasan di tengah Kota Malang yang juga sangat kontras dengan pemandangan perkotaan yang selama ini saya lihat.

Pada bagian depan gapura RW kita akan terlena dengan bangunan yang cukup bagus dan terawat. Bangunan tersebut milik Dinas Sosial yang menampung para tuna wisma yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan. Di dalamnya ada kurang lebih enam belas lansia yang tingkat kesehatannya macam-macam. Mulai dari yang sakit ringan hingga sakit parah.

Ketika langkah kaki memasuki gerbang bangunan tersebut saya langsung disambut dengan dua orang lansia pria yang baunya menyengat. Mungkin sudah berhari-hari mereka tidak ganti pakaian. Pakaian yang kelihatannya memang jarang diganti meskipun sudah bau ompol. Saya mencoba bersikap sewajarnya dan biasa saja. Beberapa meter di depan ada pria tua yang melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Entah, saya hanya bisa terdiam dan mencoba tersenyum. Tatapan matanya kosong, seolah lambaian tangannya itu ingin disambut.

Namun saya urung membalas lambaian tangan beliau atau bahkan berani mendekat pada beliau hanya untuk sekedar bertegur sapa. Karena sang pengelola Panti kemudian mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu. Sayang sekali saat pulang saya tidak menjumpai lagi lelaki tua tadi.

Berbagai pertanyaan tentu muncul di kepala saya. Kemana anak-anak mereka? Kenapa mereka bisa ada disini? Apa yang mereka lakukan sehari-hari? Kenapa mereka tidak juga pulang? Yang dijawab oleh penjelasan dari Bapak RW setempat bahwa para lansia yang ada disitu adalah orang-orang yang ditolak oleh keluarganya sendiri. Orang-orang tua yang bahkan saat mereka sakit pun keluarganya tetap tidak mau menerima apalagi memedulikannya. Bahkan beberapa minggu yang lalu sudah ada dua yang meninggal di Panti tersebut tanpa pendampingan dari seorang pun. Meninggal dalam keadaan sepi.

Tidak berhenti disitu, bahkan ketika KTP menunjukkan bahwa mereka beragama Islam, untuk mengucap kalimat syahadat saat sakaratul maut saja mereka tak mampu. Mereka disini betul-betul membutuhkan sentuhan moril dan spirituil untuk memperbaiki kondisi kejiwaannya. Namun apa daya, tenaga hanya sedikit, dan tidak mungkin mereka mendapat perhatian ekstra seluruhnya.

Di belakang bangunan yang lumayan bagus tersebut kita akan menjumpai kawasan padat penduduk dengan banyak gunungan sampah dimana-mana. Kawasan ini ternyata terkenal dengan daerah yang miskin dan terbelakang. Namun bukan berarti tidak ada upaya apapun dari Pemerintah maupun organisasi masyarakat setempat, tapi ada begitu banyak peluang yang sudah diciptakan namun tak kunjung membawa hasil karena perilaku mereka sendiri.

Satu RW kurang lebih memiliki 16 orang rentenir yang siap memberikan pinjaman pada masyarakat (dengan bunga yang sangat besar tentunya). Maka tak heran kawasan tersebut disebut sebagai kawasan miskin, begitu kira-kira tutur Bapak Ketua RW setempat. Tiap tahun selalu saja ada korbannya. Korban yang harus minggat karena tidak mampu melunasi hutang-hutang yang bisa mencapai puluhan juta maupun harus menjual rumahnya sendiri untuk membayar hutang. Seolah hal itu sudah lazim terjadi.

Sangat kontras dengan pemandangan kawasan perumahan elit yang menjadi ikon Kota Malang Kota Bunga. Perjalanan kali ini mengingatkan saya, memberikan pelajaran pada saya bahwa kemilau kehidupan di kota ternyata hanya nampak bagus di permukaan saja. Tidak ada secuil dari gemerlapnya menerangi mereka yang terpinggirkan. Membutuhkan pertolongan.

Coba lihat, mereka sungguh lelah dengan kemiskinan yang terus mendera. Sedangkan kita disini terkadang bebas melakukan apa saja dengan tidak memedulikan “Hari ini mau makan apa”.