“Aku butuh uang Buk.” Ujar seorang bocah lelaki di hadapan wanita paruh baya yang sedang memunguti sampah di depannya.

Lha kan kemarin sudah ibuk kasih dua puluh ribu.”

“Habis untuk beli kuota internet. Nah sekarang ini buat jaga-jaga kalau habis,” bocah berbadan tambun itu tetap saja mengusik wanita yang dipanggilnya ibu itu di depannya. Meski ia tahu bahwa ibunya sedang bekerja. Memunguti sampah usai pasar pagi buyar.

“Ya nantilah ini ibuk aja belum dapat duit kok,” jawab sang ibu sambil lalu.

“Ah! Pokoknya kutunggu!” seru bocah itu sambil menghentakkan kakinya ke tanah. Kesal. Mirip anak umur tiga tahun yang sedang tantrum. Sang ibu hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengelus dada. Bagaimanapun juga ia berpikir harus mendapatkan uang yang diminta anaknya itu. Uang untuk beli kuota.

malin kundang modern

Pentingnya Pendidikan dan Potret Malin Kundang Masa Kini

Kejadian semacam ini sangat sering saya dengar dan lihat di sekitar. Bukan hanya di lingkungan rumah, tapi juga banyak tempat lain. Bahkan di sekolah, tempat yang diharapkan orang tua sebagai tempat untuk mendidik sekaligus membuat anaknya punya kepribadian yang lebih baik. Namun tidak, harapan orang tua ternyata terlalu muluk. Karena tanpa peran orang tua, sekolah tidak akan bisa mengubah kepribadian sang anak sesuai harapan ibu atau ayahnya. Ibu tetap saja menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, pun dengan ayahnya sebagai kepala sekolah pertamanya.

Seringkali orang tua tak bisa menolak keinginan anak semacam cerita di atas. Bayangkan saja, bocah berusia sekitar empat belas atau lima belas tahun itu meminta uang pada ibunya yang bekerja sebagai pemungut sampah di pasar hampir setiap hari. Nominal yang diminta mulai dari dua puluh ribu rupiah hingga tak terbatas. Mengapa saya katakan tak terbatas? Karena seringkali yang diminta tidak masuk akal jika melihat sang ibu hanya digaji Rp 300.000,- per bulan sebagai tukang sampah. Tak heran jika ia kerja keras hingga tengah malam membantu salah satu warung di kampung rumahnya untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Bahkan bantuan Pemerintah untuk janda miskin yang ia dapatkan rutin itu seolah tak cukup hingga sang ibu harus bekerja di beberapa tempat sebagai buruh cuci dan setrika pula.

Bagaimana saya tidak gemas? Malin Kundang modern bahkan lebih jahat daripada Malin Kundang di masa lalu.

Hari-harinya dihabiskan untuk bekerja, bahkan hingga tengah malam sekalipun. Lalu sang anak di depannya dengan sangat tidak tahu dirinya menarget sang ibu setiap hari agar dirinya bisa beli kuota. Entah untuk apa. Mudah-mudahan bukan untuk main tik tok. Malin Kundang itu masih ada sampai sekarang. Kalau dulu Malin Kundang diceritakan tentang seorang anak yang tidak mau mengenali ibunya, kini Malin Kundang berbentuk manusia modern masih juga belum jadi batu karena kutukan.

Inilah pentingnya pendidikan. Peninggalan berharga dari orang tua untuk anak-anaknya. Pendidikan itu sendiri macam-macam bentuknya. Salah satunya ya menyangkut soal life skill. Jika kejadian semacam di atas tadi berlangsung terus menerus, saya khawatir. Kelak jika ibunya tiada, kepada siapa lagi dia meminta? Karena kebiasaan yang tidak mampu membendung gaya hidup sesuai kemampuan kelak akan menjadi pembunuh bagi dirinya sendiri.

malin kundang modern

Oleh karena itu penting memberi pendidikan yang mencakup pengertian pada anak agar bergaya sesuai kemampuannya. Mengonsumsi sesuatu karena kebutuhan, bukan keinginannya. Karena kelak ketika orang tua tiada, ia mungkin memang akan meninggalkan harta. Tapi saya yakin, harta tidak akan bertahan lama jika dikelola oleh anak-anak manja seperti mereka. Yang hanya tahu meminta dan meminta, tanpa tahu bagaimana orang tua mereka susah payah mengumpulkan sen demi sen dari peluh keringat yang menetes. Lebih parah lagi kalau orang tua tidak meninggalkan apa-apa. Harta tak punya, pendidikan pun tiada. Entah bagaimana nasibnya kelak.

Kalau memang sayang, maka orang tua harus memberikan pendidikan yang baik, menanamkan akhlak dan memberi contoh yang baik pula. Tidak hanya sekedar menuruti keinginan sang anak dengan alasan “tidak tega”. Justru ketegaan kita untuk berani melihat anak menangis, merengek, jatuh, kecewa, atau bahkan marah karena keinginannya tidak terpenuhi adalah salah satu bentuk pendidikan tersendiri untuknya.

Ia akan belajar bagaimana bangkit lagi setelah jatuh dalam kegagalan. Ia akan belajar bahwa tidak setiap keinginannya bisa dikabulkan. Ia juga akan belajar bahwa jatuh, sakit, dan kesedihan itu mendewasakan. Tak mengapa untuk saat ini anak kita menangis, merengek, jatuh, kecewa dan marah karena keinginannya tidak terkabul. Karena ia memang harus belajar menghadapi itu.

malin kundang modern

Mungkin kita sebagai orang tua akan merasa sebagai orang tua yang jahat karena membiarkan anak bersedih hati. Membiarkan anak terpuruk dalam kesedihan. Tidak. Kita justru memberinya kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita memberinya pelajaran tentang bertahan hidup. Apalagi soal kuota, kan. Karena terlalu memanjakan anak akan merusak masa depannya. Dampaknya tidak akan terasa saat ini, tapi nanti setelah orang tua tiada.

Suatu kali saya juga pernah menjumpai seorang anak yang begitu kasar pada Ayahnya. Saat itu di percetakan, sang anak yang masih memakai seragam putih abu-abu ini ditemani ayahnya mencetak undangan ulang tahun. Setelah beberapa saat sample undangan itu jadi, sang anak memprotes karena gambarnya jelek (katanya). Lalu ayahnya menenangkan. Begitu juga saat ia membayar ke kasir dengan bahasa tubuhnya yang terlihat sangat ogah-ogahan. 

Tidak berhenti di situ, ia masih saja ngomel-ngomel memarahi Ayahnya di depan umum, yang dianggap sebagai biang kerok permasalahan yang terjadi padanya siang itu,

“tuhkan, Papa sih dibilangin jangan di sini! Mana uangnya Pa?” serunya sambil menadahkan tangan, meminta uang pada sang papa dengan menghentak-hentakkan kakinya.

Saya yang melihat kejadian itu gemas bukan main. Ingin rasanya saya tampar pipinya agar dia sadar bahwa yang dia perlakukan kasar itu ayahnya sendiri, yang dipanggilnya papa.

Malin Kundang itu nyata adanya, bahkan sampai saat ini. Berevolusi ke sifat-sifat lain yang tidak kalah menyebalkannya dengan Malin Kundang yang dikutuk jadi batu.

Baca juga :

Pesan untuk orang tua dari Sabtu Bersama Bapak : https://www.idntimes.com/fiction/story/jihan-mawaddah/5-pesan-dari-sabtu-bersama-bapak-yang-membuat-perasaanmu-membaik-c1c2/2

Juga tentang investasi termahal orang tua untuk anak :

Investasi Termahal Seorang Ibu