Pengalaman mendaki gunung semeru ini saya baca dari buku berjudul Meru Anjani, salah satu karya dari sahabat saya sejak SMA. Meru Anjani adalah buku solo pertamanya. Pengalamannya mendaki gunung Semeru ini tepat dialami oleh Lely (begitu panggilannya) setelah resign dari pekerjaannya.

Bisa dibilang mendaki gunung tanpa perencanaan sih. Karena pada beberapa bagian, saya dibikin ngakak oleh tulisan Lely karena kenekatannya mendaki Gunung tertinggi di Jawa ini dengan minim persiapan. Namun tetap salut meski dengan persiapannya yang minim itu, dia bisa menaklukkan ketakutan, ego, serta keraguan dalam dirinya sendiri.

buku meru anjani

Pengalaman Mendaki Gunung Semeru Minim Persiapan

Lely mendaki Semeru pada bulan Mei 2016 lalu dan memulai pendakiannya dari Ranu Pani. Sebuah desa yang juga merupakan batas akhir untuk berkendara. Desa terakhir Ranu Pani ternyata saat itu sudah nampak penuh dan disibukkan oleh kegiatan warga setempat membuka berbagai macam kedai dan tempat persewaan alat pendakian.

Lely, tak hanya berpredikat sebagai anak cupu yang baru pertama kalinya mendaki gunung Semeru. Namun semua perlengkapan yang ia bawa ternyata hasil pinjaman, kecuali baju yang melekat di badannya dan sepatu kets yang melindungi kakinya. Bagian pertama saja saya sudah senyum-senyum membayangkan bagaimana Lely berdiri di sana, minim persiapan hanya bermodal nekat dan doa dari Mamanya.

Waktu aku bilang kalau aku ngga punya sepatu gunung, dijawabnya, “Udah pakai aja sepatu yang kamu punya. Medannya ngga berat kok.”

Waktu aku bilang aku ngga punya alat perlengkapan mendaki sama sekali, dijawabnya, “Tenang nanti aku cariin pinjaman.”

See? Betapa kurang persiapannya si Lely ini, saya sampai gemas sendiri membacanya. Ikut kesal juga karena si Ambon yang didapuk sebagai ketua rombongan dalam pendakian itu begitu menggampangkan persiapan yang minimal harus kita perhatikan atau taati sebelum memutuskan untuk muncak.

Dari cerita Meru Anjani ini paling tidak saya belajar tentang persiapan mendaki Gunung Semeru untuk pemula, dan mungkin tidak hanya berlaku untuk Gunung Semeru saja, tapi juga gunung-gunung yang lain.

Persiapan Mendaki Gunung untuk Pemula

Berikut persiapan mendaki gunung untuk pemula yang mungkin bisa teman-teman terapkan ketika nanti memutuskan untuk mendaki gunung :

  • Persiapan sepatu, baju, dan perbekalan. Lebih baik sih konsultasi dengan teman yang pernah melakukan pendakian. Mana gunung yang kita tuju dan berapa banyak bekal yang harus kita bawa. Jangan lupakan sepatu gunung ya teman-teman, karena itu penting. Teman-teman akan tahu betapa pentingnya sepatu gunung ketika sudah membaca Meru Anjani ini deh.
  • Persiapan fisik dan mental. Persiapan fisik yang dimaksud adalah berolahraga minimal sebulan sebelum jadwal pendakian. Persiapan mentalnya bisa membaca buku-buku soal pendakian atau mempelajari medan yang akan kita tempuh. Lalu tata kembali niat kita untuk mendaki.
  • Perhatikan larangan penting yang harus dipatuhi oleh setiap pendaki. Mengetahui larangan-larangan ini lebih awal akan membuat kita lebih siap baik secara fisik maupun mental untuk menghadapinya dan punya kekuatan untuk menghindarinya. Contoh pantangan gunung Semeru yang diceritakan dalam buku ini adalah mematuhi waktu untuk summit atau menuju puncak, serta rute Semeru yang sudah ditentukan oleh penjaganya. Karena jika tidak, kita harus siap menanggung risiko hilang, terluka, hingga hilangnya nyawa.
  • Perhatikan waktu pendakian gunung Semeru atau gunung mana saja yang sedang teman-teman ingin capai. Biasanya ada waktu-waktu tertentu, meskipun ada juga yang tidak ditentukan waktunya. Mengapa? Semata untuk keselamatan kita sendiri kok.
  • Jangan sekali-kali meninggalkan sampah di gunung. Jadi bawa tempat sampah sendiri ya 🙂

Buku Meru Anjani ternyata tidak hanya menghibur saya ketika membutuhkan bacaan ringan. Ternyata ia juga memberi banyak pelajaran untuk saya. Sekaligus menambah kecintaan pada alam. Anak rumahan begini rasanya jadi ingin segera keluar dan beli sepatu gunung, olahraga, lalu muncak deh. Haha, tapi tidak semudah itu kan.

pengalaman mendaki gunung semeru

Meru Anjani juga menyuguhkan sedikit cerita horor pendaki gunung Semeru. Meski greget juga dengan endingnya. Saya yang menyukai close ending rasanya tak cukup puas dengan eksekusi Lely di setiap akhir dari pendakiannya. Cerita horornya menambah cerita soal pendakian ke gunung Semeru jadi makin seru.

Penasaran gimana cerita horornya? Baca bukunya aja ya :p

Selain cerita perjalanan mendaki gunung Semeru, Lely juga menyuguhkan pengalamannya menaklukkan Gunung Rinjani.

7 Bukit Penyesalan. Benarkah Membuatmu Menyesal?

Setelah mendaki gunung Semeru, di tahun yang sama Lely juga beranjak menuju Rinjani dengan ketinggian 3726 mdpl. Gunung ini terletak di Nusa Tenggara Barat dan berada di tiga kabupaten. Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat dan merupakan gunung tertinggi kedua di Indonesia.

Berbeda dengan perjalanannya selama mendaki gunung Semeru, Lely lebih siap dalam perjalanannya kali ini. Meskipun begitu, bukan berarti jalannya bebas hambatan karena sudah memiliki persiapan yang matang. Justru di sinilah saya juga belajar bagaimana mengerem hasrat atau keinginan dan tahu akan batas kemampuan diri.

Memang tak dibesar-besarkan kalau Lely mengatakan bahwa perjalanan mendaki gunung adalah perjalanan yang berhasil merontokkan ego dan keangkuhan manusia. Saya membayangkan betapa batas hidup dan mati ketika mendaki gunung seperti ini begitu tipis. Kapan saja kita bisa mati di sana. Di tempat yang dingin dan asing.

Ketika semangat mulai surut bahkan sebelum menyelesaikan tujuh bukit penyesalan sebelum mencapai puncak Rinjani. Ketika seorang teman meninggalkan kita di tengah gunung, sendirian. Saat itulah saya belajar dari Meru Anjani. Sepertinya, saya harus naik gunung untuk menempa kesabaran dan mental saya! Hanya itu yang ada di dalam pikiran saya saat ini.

Belum lagi ketika kita sudah mencapai puncak, kebahagiaan macam apa ya yang bisa dirasakan oleh mereka-mereka yang berhasil itu? Ada sebersit rasa iri sekaligus bangga. Ah, kapan ya saya bisa sampai puncak seperti ini? 

Tambahan foto-foto di dalam cerita Lely juga menambah keinginan saya yang menggebu. Ah, ceritanya simple tapi saya bisa merasakan bagaimana keadaannya saat itu di gunung. Saya bisa merasakan bagaimana takut dan lelahnya ia ketika harus turun dari puncak. Bukannya kelegaan, ia malah tak tahu harus berbuat apa selain menangis tersedu. Apa yang harus kita lakukan ketika semangat sudah surut, energi habis, dan satu-satunya jalan di depan yang curam itu adalah solusi.

Salut, karena Lely pun tetap menjaga salat lima waktunya di sana. Saya membayangkan betapa syahdunya bisa berduaan dengan Allah di alam bebas. Mendengarkan suara-suara yang tak akan pernah kita dengar di kota.

Meru Anjani mengajarkan banyak hal. Tidak hanya soal berbagi pengalaman mendaki gunung Semeru. Juga bukan hanya soal pendakian, tapi juga mengatasi persoalan di tengah sempitnya jalan. Pada akhirnya Meru Anjani menitipkan pesan untuk mereka semua yang ingin menaklukkan gunung, bahwa :

Puncak itu hanyalah bonus. Bukankah tujuan utama pendakian yang sesungguhnya adalah untuk pulang sampai rumah dengan selamat? -Kecheng on Meru Anjani-

Meru Anjani, oleh Laily M Octavia
178 halaman, Penerbit Bukuin Publishing, Kabupaten Malang, 2021
Yuk baca juga persiapan perjalanan ke Bangka Belitung di sini.