Singkirkan duri dari jalan adalah kebaikan kecil yang kerap kali diremehkan. Padahal kalau kita punya prinsip ini, imbasnya akan sangat baik dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar dan umat manusia pada umumnya.

singkirkan duri dari jalan

pict from freepik/@rawpixel

Ada sesuatu yang saya ingat ketika seorang teman memberikan tantangan menulis tentang lingkungan.

Entah dimana dan kapan melihat sebuah ilustrasi yang menggambarkan tentang seorang ibu yang berkata pada anaknya ketika berdiri di pinggir jalan, kurang lebih begini;

“Kamu belajar yang bener ya, kalau belajar mu ngga bener nanti dewasa akan jadi seperti dia” katanya sambil menunjuk seorang petugas kebersihan di seberang jalan.

Kemudian dalam kondisi yang sama, seorang ibu kedua mengatakan pada anaknya,

“Belajar yang baik ya, ubahlah dunia menjadi lebih baik bersama beliau” katanya kepada anaknya sambil menunjuk seorang petugas kebersihan di seberang jalan, orang yang sama.

Tampak sekali perbedaan antara ibu pertama dan kedua. Yang pertama jelas berpendapat bahwa menjadi seorang petugas kebersihan adalah kegagalan seseorang karena tidak belajar dengan baik.

Ibu kedua memberikan pengertian bahwa dengan belajar yang baik, kita akan bisa memberikan warna dalam hidup, dan menebar manfaat untuk orang lain.

Hal kecil memang, tapi kalau terus menerus ditanamkan pada si anak bahwa tidak belajar = jadi petugas kebersihan adalah sesuatu yang tidak adil dan bijak. Padahal, siapa sih di dunia ini yang tidak butuh petugas kebersihan?

Saya teringat pada sepasang suami istri yang berprofesi sebagai pengangkut sampah di kampung kami. Beliau berdua mengangkut sampah setiap pagi. Ada tiga wilayah Rukun Tetangga yang mereka handle “sampah” nya.

Suatu hari semua warga ribut karena sampah menumpuk karena kedua petugas kebersihan tidak mengangkut sampah untuk dibawa ke TPS. Padahal baru satu hari, sampah sudah menggunung di depan masing-masing rumah warga. Ternyata diketahui kedua petugas kebersihan tersebut tengah sakit, akhirnya selama tiga hari tidak bisa membuang sampah.

Apa yang kita rasakan? Sampah menggunung di depan rumah terpaksa harus kita buang sendiri ke TPS. Kalau begitu, siapa yang membutuhkan siapa dong sebetulnya?

Sekecil apapun pekerjaan mereka di mata manusia, ternyata bernilai penting ketika mereka tiada. Benar bukan?

Kita bersekolah agar menjadi orang pintar dan berwawasan, tapi jangan sampai kepintaran kita menjadi kesombongan untuk meremehkan orang lain. Termasuk petugas kebersihan.

Orang pintar tidak selalu bijak, sedangkan orang bijak selalu pintar.

Bijak menurut saya adalah orang cerdas yang mampu menempatkan dirinya dalam kondisi apapun, sehingga dia akan bertahan hidup dimana pun. Betul tidak? Anggap saja betul dalam konteks ini ya #lahmaksa.

Begitu juga dengan hal kecil yang kadang orang pintar pun lupa melakukannya.

Sesimple membuang sampah pada tempatnya.

Saya sering sekali melihat seseorang membuang sampah dari dalam mobil. Dibuang begitu saja ke tengah jalan. Entah itu tissue, bungkus permen, puntung rokok, dan lain-lain.

Mirisnya, itu mobil termasuk mobil mewah. Bayangkan saja ada tissue dan bungkus permen dibuang begitu saja dari jendela mobil oddysey atau fortuner. Apakah mereka bodoh? Tidak. Mereka belajar dengan baik hingga akhirnya sukses dan mampu membeli sebuah mobil mewah sebagai alat transportasi. (Dalam tulisan ini saya menganggap mereka yang mengendarai roda empat adalah kelompok masyarakat kelas atas yang tentu sudah mengenyam pendidikan wajib sembilan tahun, minimal).

Atau dari mobil sederhana lain, tiba-tiba keluar puntung rokok yang masih menyala dan abunya bisa kemana-mana terkena angin, hampir mengenai wajah saya yang tengah mengendarai motor dibelakangnya. Bisa dibayangkan bahayanya seperti apa kalau saja abu rokok yang masih panas itu benar-benar terbang tepat mendarat di wajah saya.

Nah, benar kan orang pintar belum tentu bijak. Karena sesimple membuang sampah di tempatnya saja mereka tidak bisa melakukannya dengan baik. Padahal sudah jelas aturan dan himbauannya. Maka prinsip “singkirkan duri dari jalan” tentu bukan perkara remeh. Bukan hanya kalimat “singkirkan duri dari jalan”, bukan hanya sekadar duri, tapi juga yang lebih besar dan berbahaya daripada itu.

Ketika ditanya soal lingkungan dan bagaimana kita harus menjaganya, secara teori mereka sangat mahir dan fasih berbicara menyampaikan pendapatnya, tapi kadang dalam praktek mungkin mereka lupa sehingga hal sesimple membuang sampah pada tempatnya tidak biasa mereka lakukan.

Di sisi lain, sekarang banyak anak-anak usia 3 sampai 5 tahun yang sudah mulai mengerti bahwa membuang sampah itu harus di tempatnya. Saya selalu salut dengan orang tua yang seperti ini. Menanamkan cinta kebersihan sejak kecil, sesimple membuang sampah nya sendiri di tempatnya.

Masa iya kita yang dewasa kalah dengan anak kecil? 😂😂

Menjaga lingkungan memang haruslah dimulai dari diri sendiri. Dibiasakan. Kita sebagai makhluk sosial harus menyadari bahwa alam ini milik semua makhluk hidup, harus kita jaga bersama. Bukan hanya kewajiban petugas kebersihan, tapi juga kita semua. Kita tinggal disini, kita hidup disini, kita bernafas dan berjalan disini, dan kelak kita pun akan mati disini, maka jagalah milik kita bersama ini.

Bahkan menyingkirkan duri dari jalan pun adalah perintah dari Rasulullah bagi umat Islam. Bukankah hujjah diatas sudah cukup bahwa kebersihan dan kenyamanan lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab kita? Bukan tanggung jawab khusus seorang petugas kebersihan.

Semoga bermanfaat dan dapat menggerakkan nurani kita untuk semakin cinta terhadap lingkungan, dimulai dari sendiri, dimulai dari yang paling kecil 😊

Selamat hari bumi 22 April 2018.

#notetomyself

Baca Juga Perubahan Iklim, Wabah Penyakit, dan Air Minum Kemasan