Omong-omong soal solusi perubahan iklim, saya mau cerita dulu deh.
Beberapa minggu terakhir, Kota Malang menjadi sangat panas sampai-sampai kami seperti mandi keringat beberapa hari itu. Padahal Malang termasuk dataran tinggi yang terkenal dengan udaranya yang sejuk. Saya menyadari bahwa ini semua pasti tidak lepas dari dampak perubahan iklim. Namun ternyata di akhir bulan September hingga awal Oktober lalu, Indonesia juga tengah mengalami panas maut akibat kulminasi atau hari tanpa bayangan.
Panas Maut di Hari Tanpa Bayangan
Kesejukan di kota kami memang jauh telah berkurang jika dibandingkan belasan tahun silam. Saat kota Malang masih banyak menyimpan hutan kota alami. Belum dibangun apartemen, hotel, pusat perbelanjaan atau ini itu yang mengurangi resapan untuk air hujan.
Jika hujan besar datang, dapat dipastikan banyak titik di Kota Malang akan terendam banjir. Titik-titik tersebut tentu saja tidak jauh dari bangunan apartemen baru yang menjulang tinggi, gedung-gedung berlantai sepuluh yang menghalangi sinar matahari masuk ke rumah-rumah di sekitarnya.
Ditambah beberapa minggu ini ternyata BMKG merilis update bahwa Indonesia berada tepat di bawah matahari atau biasa disebut dengan hari tanpa bayangan (kulminasi).
Dikutip dari laman BMKG pada Senin (7/9/2020), hari tanpa bayangan adalah fenomena ketika Matahari tepat berada di posisi paling tinggi di langit. Saat deklinasi Matahari sama dengan lintang pengamat, fenomenanya disebut sebagai Kulminasi Utama.
Kulminasi ini ternyata memiliki beberapa dampak secara langsung bagi kita. Beberapa Dampak Kulminasi Matahari diantaranya :
Dikutip dari Halodoc, akibat posisinya yang tegak lurus di atas kita, tidak hanya bayangan yang hilang, beberapa dampak dirasakan oleh orang-orang yang tinggal di wilayah tropis. Dampak kulminasi yaitu:
1. Suhu udara semakin panas dan mencapai lebih dari 35 derajat Celsius pada siang hari.
2. Cuaca panas ini masih terasa hingga beberapa hari setelah puncak kulminasi matahari.
3. Kelembapan udara menurun dan kurang dari 40 persen.
Panas maut akibat bertambahnya suhu bumi ditambah dengan peristiwa kulminasi ini seharusnya membuat kita sadar bahwa perubahan iklim telah benar-benar terjadi. Bukan hanya sekadar isu.
Mengapa Indonesia Harus Ikut Turun Tangan Menangani Perubahan Iklim?
Seperti semua hewan, manusia adalah mesin yang menghasilkan panas. Oleh karena itu untuk bertahan hidup kita harus terus menerus mendinginkan diri. Jadi suhu harus cukup rendah supaya udara bisa berfungsi sebagai pendingin, menarik panas dari kulit supaya mesin bisa terus berjalan. Adanya pemanasan tujuh derajat, itu akan mustahil di beberapa bagian kawasan tropis planet ini. Termasuk Indonesia.
Efeknya bisa cepat : sesudah beberapa jam, tubuh manusia akan terpanggang sampai mati dari luar dan dalam.
Dalam kenaikan suhu sebelas atau dua belas derajat Celcius para ahli banyak yang mengatakan bahwa separuh lebih penduduk dunia, sebagaimana penyebarannya sekarang, akan mati kepanasan. Kenaikan lima derajat saja, menurut beberapa perhitungan, banyak bagian dunia yang tak akan bisa didiami manusia. Mustahil bekerja fisik di luar ruangan di musim panas.
Menurut David Wallace Wells dalam bukunya Bumi Yang Tak Dapat Dihuni, bahkan kota terpanas saat ini, Bahrain, akan memicu hipertermia bahkan pada manusia yang sedang tidur jika suhu bumi naik lagi.
Itu kan global, kenapa Indonesia harus effort juga menangani?
Wahai teman, Indonesia bukan lagi rentan tapi sangat rentan. Jika kita terus menempuh jalur emisi sekarang, akan terjadi lebih banyak lagi banjir, kekeringan, dan kenaikan muka air laut (terlebih Indonesia memiliki pantai terpanjang), perubahan pola curah hujan sehingga agrikultur kita melemah.
Sebagaimana kita tahu, Indonesia sangat tergantung dengan sumber daya alam. Kalau sumber daya alam rusak, ekonomi kita juga rusak bukan?
Kalau kita tidak berbuat apa-apa, pendapatan negara akan kehilangan 107% dan kelompok termiskin akan mendapatkan dampak besarnya. Sayangnya Indonesia terus-terusan secara global menjadi penyumbang emisi terbesar sejak abad ke-19. Mulai dari kebakaran hutan, hilangnya hutan dan batubara yang belum bisa kita kurangi.
Anehnya banyak orang tidak merasakan bahwa ini adalah dampak dari hutan kota yang terpangkas habis dan pohon-pohon yang hilang di pinggir jalan perkotaan. Mereka bilang, kalau panas ya ngadem aja di mall. Luar biasa bukan? Mereka tidak sadar bahwa energi yang dipakai untuk mendinginkan ruangan di mall suatu saat juga akan habis.
Bahkan untuk pergi keluar rumah saja, suatu saat mereka tidak akan mampu menahan panasnya ketika suhu bumi sudah baik satu derajat saja.
Perubahan Iklim Terus, Ngga Bosen?
Sebenarnya kita sudah mengalami dampak dari perubahan iklim itu sendiri sejak 1980. Pada tahun tersebut menurut David Wallace Wills, planet kita ini sudah mengalami kenaikan lima puluh kali lipat jumlah gelombang panas berbahaya, dan kelak akan ada kenaikan lebih besar lagi.
Lima musim panas terpanas Eropa sejak 1500 semuanya terjadi sesudah 2002, dan akhirnya sekadar bekerja di luar pada musim seperti itu akan berbahaya di beberapa bagian dunia. Bahkan jika kita mencapai sasaran Paris, kota-kota seperti Karachi dan Kolkata akan mengalami gelombang panas mematikan tiap tahun, seperti yang melanda pada 2015 ketika panas menewaskan ribuan orang di India dan Pakistan.
Kenaikan empat derajat dalam kurun waktu 1980 hingga saat ini, gelombang panas mematikan di Eropa pada 2003 pun terjadi dan menewaskan 2.000 orang per hari. Sebagian besar yang tewas adalah orang-orang lanjut usia yang relatif sehat.
Masih dari David Wallace Wells, gelombang panas mematikan sudah ada sejak akhir abad ke-20. Pada 1998, musim panas di India menewaskan 2.500 orang. Baru-baru ini, kenaikan suhu juga bertambah. Pada 2010, 55.000 orang tewas karena gelombang panas di Rusia; tiap hari 700 orang tewas di Moskwa karenanya.
Pada 2016, di tengah gelombang panas yang memanggang Timur Tengah selama beberapa bulan, suhu di Irak melebihi 37 derajat Celcius pada Mei, 43 pada Juni dan 48 pada Juli. Suhu turun di bawah 37 derajat hanya pada malam hari.
Pada 2018, suhu tertinggi yang pernah tercatat pada April di Pakistan Tenggara. Di India, satu hari dengan suhu di atas 35 derajat Celcius menaikkan angka kematian tahunan 0,75%; pada 2016 serangkaian hari di sana bersuhu sampai 48 derajat Celcius. Lalu di Arab Saudi yang suhu musim panasnya sering mencapai titik itu, 700.000 barel minyak dibakar setiap hari untuk menjalankan AC.
AC jelas bisa membantu mengatasi panas, tapi AC dan kipas angin sudah mengonsumsi 10persen listrik global. Bagaimana dengan Indonesia? Masihkah kita akan terus menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca tertinggi karena generasi mudanya lebih nyaman jika berada di bawah dinginnya AC daripada penanaman kembali pohon-pohon di perkotaan untuk meredam panas yang mematikan itu?
Apakah teman-teman akan bosan jika ini menyangkut nyawa manusia dan punahnya berbagai macam spesies yang ada di dunia? Kenaikan 0.5 derajat Celcius saja berarti sangat banyak. Tidak hanya sekadar mempertahankan manusia, tapi juga spesies lain dan juga tumbuh-tumbuhan.
Kota-kota, tempat sebagian besar penduduk dunia berdiam dalam waktu dekat, memperbesar masalah suhu tinggi. Aspal dan beton dan segala yang membuat kota menjadi padat, termasuk daging manusia, menyerap panas. Pada dasarnya menyimpan panas juga untuk sementara. Hal itu seperti pil beracun yang kandungannya lepas pelan-pelan. Ketika penurunan suhu lebih singkat dan sedikit, tubuh manusia akan terus memanas.
Dalam hal ini, Langewiesche menuliskan,
Kita tak bisa kabur dari kondisinya, sebagaimana kita tak bisa melepas kulit kita sendiri
Namun, kita bisa kok untuk menahan kenaikan suhu bumi agar tidak semakin laju.
Solusi Perubahan Iklim
Tekad kami, bersama Eco Blogger Squad dan Kak Anggi dari Yayasan Madani agar di tahun 2022 suhu di Indonesia bisa berangsur membaik. Tentu saja ini tidak mudah. Karena membutuhkan kerjasama banyak pihak. Membutuhkan gerakan yang agresif, berskala luas dan semua orang ikut melakukannya. Namun inilah satu-satunya solusi perubahan iklim yang bisa kita lakukan.
Inilah kata kunci dari solusi perubahan iklim : Agresif, skala luas dan semua orang ikut melakukannya.
Karena kita punya paru-paru dunia, Indonesia tentu saja perlu menekan deforestasi sampai kemungkinan terkecil bukan? Namun bagaimana jika kita tidak mampu mengubah kebijakan, seperti menghentikan pemakaian batu bara misalnya. Maka solusi perubahan iklim ada di tangan kita, masing-masing orang mengambil peran.
Oleh karena itu kita sebagai generasi millenial, gen Z hingga alpha yuk bersama-sama melakukan hal kecil dari rumah masing-masing. Tentu saja dengan agresif dan bersama-sama.
Mulai dari mengurangi makan daging yang ternyata emisinya lebih besar, mengurangi membuang sisa makanan, mengurangi lifecycle yang membutuhkan banyak air dan menimbulkan banyak emisi, dan sekecil mengurangi pemakaian plastik dimanapun dan kapanpun. Termasuk juga dengan memperpendek supply chain agar energi yang dihabiskan bahan makanan untuk dapat sampai ke kita tidak terlalu banyak.
Maka jangan pernah percaya jika ada yang mengatakan bahwa perubahan iklim terjadi dengan lambat, apalagi kalau dibilang tidak terjadi. Jika kekhawatiran kita mengenai perubahan iklim sebatas efeknya menaikkan permukaan laut, itu tentu saja belum apa-apa. Hal itu hanya secuil dari segala kemungkinan musibah yang disebabkannya.
Selama beberapa tahun belakangan, istilah “Antroposen” telah memasuki imajinasi populer. Kalau kata David Wallace Wells, hal itu didefinisikan dengan campur tangan manusia terhadap planet ini. Namun meski kita mungkin sadar bahwa telah merusak alam, dan jelas kita sudah melakukannya, siapa tahu kita justru baru memprovokasinya.
Ketidakpedulian kita sekarang membuat sistem iklim akan memerangi kita beberapa abad ke depan, bahkan mungkin sampai kita musnah. Sistem itu mengubah kita, merombak semua aspek cara hidup kita. Planet ini bukan lagi menopang impian kemakmuran, melainkan mimpi buruk yang nyata jika kita tidak segera berubah, melakukan sesuatu, bergerak secara nyata, agresif dan bersama-sama.
Benarkah kita akan acuh? Yuk kita ambil peran masing-masing untuk memberi solusi perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Referensi :
Bumi yang Tak Dapat Dihuni by David Wallace Wells
Webinar Eco Blogger Gathering bersama Madani
BBC News
Alhamdulillah di Aceh sudah memasuki musim hujan mba, jadi dinginnya kadang bikin malas banget untuk keluar rumah hehehe
Tapi mau musim hujan atau panas, tetap sama2 membuat kita was2 juga sih kan yaa..
Apalagi hujan. Di beberapa tempat yang mungkin kalau hujannya tinggi bisa kebanjiran. Dengan segala kondisi cuaca yg berbeda2 kita cuma bisa utk menjaga tubuh agar tetap fit dan siap menghadapi segala perubahan cuaca ya
dulu waktu saya lanjut sekolah, kebetulan salah satu mata kuliahnya adalah tentang dampak lingkungan, baca banyak jurnal ilmiah menunjukan bumi kita sudah butuh solusi perubahan iklim. saya rasakan sendiri beberapa bulan lalu saya tinggal di Kalimantan, notabenenya adalah paru-paru dunia, tapi panasnya bikin meleleh. suhu ruang bisa mencapai 37 derajat. dan di luar ruangan bisa sampai 41 derajat. menyadarkan bahwa bumi kita tidak sedang baik-baik saja.
Batam juga beberapa hari panasnya luar biasa, sampai2 bangun tidur pagi hari juga udah keringatan, ada rasa khawatir dengan bumi, tapi sebagai manusia biasa hanya bisa membantu mengurangi pemakaian plastik,
harus segera dan cepat ditangani ya kak. salah-salah suhu udah kerasa semakin naik aja kitanya malah lengah dan malah nggak bisa memperbaiki kembali. menyesal jadinya
Kalau baca info seperti ini, rasanya mau nangis
Betapa kita sudah merusak bumi ini dengan sangat luar biasa
Lalu ketika bencana datang, sibuk saling menyalahkan tanpa sadar bahwa kita juga turut berperan didalamnya huhuhu
Yuk bergerak bersama. Masih ada waktu untuk mempebaiki ini. Demi bumi, demia anak cucu kita di masa depan
Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan sebenarnya, ya. Asal bersama-sama, insyaallah akan ada dampak nyata
Beberapa minggu ini, cuaca panas banget, dampak karena posisi matahari yg lebih dekat matahari, ternyata juga karena ulah manusia, PR banget ya karena harus cari solusinya agar anak cucu kelak nggak menanggung perbuatan kita
Mal bener-bener opsi terakhir buat ngabisin waktu. Tapi sayangnya, di Indonesia ini jarang banget ada taman/ hutan Kota seadem mal. 😉
Climate change itu nyata adanya ya mba.. memang perlu ada solusi khusus mengenai hal ini dan tindakan nyata dari sekarang
ngadem di hutan kota dong, suasana lebih menyenangkan, udaranya segar dan jauh lebih sehat. Pasti bikin badan nyaman dan good mood dong ya
Pantesan di Malang gerah banget beberapa hari ini, sampai kadang susah tidur.
Perubahan dimulai dari diri sendiri ya. Kalau di sekolahnya Saladin diajari sih, buat nanam tanaman, go green gitu.
Semoga dengan langkah awal ini bisa memperbaiki iklim.
Yah, perubahan cuaca di Madura kerasa banget. Kalau siang cuaca boleh jadi panas banget. Harusnya kalau malam bisa lebih sejuk. Dan beberapa hari terakhir ini cuaca panas bahkan hingga malam hari.
Kalau ngadem di mall terus bobonya dimana dah…
Memang harus ada aksi perubahan sih. Yuk ah generasi muda, secepatnya kita bergerak untuk kebaikan tempat tinggal kita yaitu bumi ini.
Kota Bandung sekarang juga panas, Mbak. Padahal dulu adem, enak buat tempat tinggal. Masyarakat harus terus diedukasi mengenai perubahan iklim ini, demi kelestarian bumi
Ngadem di hutan kota lebih asyik dan nyaman deh daripada di Mall.
aku sih udah gak relate sama kondisi mall.. ke sono cuma kalo butuh aja, misalnya ada treatment atau butuh beli sesuatu. selain itu wess ga perlu ngemol lah haha jalan2 aja di alam lebih enak
Belakangan ini, sejak kulminasi itu, gak cuma siang hari kita rasain panas, di malam hari pun juga panas. Padahal di tempat tinggalku itu biasanya kalau malam dingin banget.
Ternyata kenaikan suhu ini begitu tinggi dan panas ini dirasakan dimana-mana ya.
Semoga kita semua sadar dan mau ambil peran untuk menurunkan kembali suhu di Bumi ini 🙁
Lama sekali tidak ke Malang, yaaampun dulu pernah sampai ga berani mandi karena saking dingin dan sejuknya daerah malang ini. Ternyata sekarang semakin hangat yaa, sedih dengarnya. Iyaa, sudah pasti ini akibat perubahan iklim sehingga bumi semakin panas.
Seandainya semua manusia di dunia ini sadar akan perubahan iklim yang sangat jelas terasa ini, bahkan ga bisa mengira2kan musim.
Yuk ah kita kampanyekan bareng2 kak.
Yang makan daging aku masih tarik ulur sih karena anak-anak masih butuh protein hewani yang nutrisinya ga ada di protein nabati. Tapi kalau untuk mengurangi emisi sih insya Allah sudah karena aku ngerem di rumah aja sekarang wkwk.
Kawan, bukankah kita sejak dulu emang nge-mall buat ngadem? Hahahaha. Sepakat sih J, akhir-akhir ini Malang itu puanas banget. Pengen nampol yang bilang Malang sejuk. Tanpa sadar ini semacam sinyal dari Bumi kalau sedang nggak baik-baik aja. Kudu berbenah bareng emang biar ademmm
Semakin memanas, semakin banyak yang pasang Ac, semakin tinggi suhu bumi akibatnya semakin parah nya bumi kita