Bumi Yang Tak Dapat Dihuni
The Uninhabitable Earth
Tidak benar jika dikatakan perubahan iklim terjadi dengan lambat, apalagi kalau dibilang tidak terjadi. Jika kekhawatiran kita mengenai perubahan iklim sebatas efeknya menaikkan permukaan air laut, itu belum apa-apa. Baru secuil dari segala kemungkinan musibah yang disebabkannya, dan bisa terjadi bahkan dalam masa hidup seorang remaja saat ini.
Memang sukar dipercaya betapa banyak yang sudah terjadi dan betapa cepat. Pada akhir musim panas 2017 tiga badai besar terjadi di Atlantik bersamaan. Awalnya bergerak di jalur yang sama seolah batalion-batalion tentara yang sedang berbaris. Badai Harvey, ketika menerpa Houston, mengakibatkan hujan sangat deras sampai-sampai di beberapa daerah disebut “peristiwa 500.000 tahun sekali” itu artinya seharusnya hujan sederas itu hanya terjadi setiap lima ratus ribu tahun. (halaman 17)
Fakta Mengerikan Bumi Kita Saat Ini
Ketika membaca “Bumi Yang Tak Dapat Dihuni”, ada begitu banyak pikiran yang terbersit dalam kepala. Lalu timbullah pertanyaan, benarkah demikian? Apakah buku di depanku ini hanya sekumpulan fiksi kontemporer yang menceritakan tentang sebuah iklim di dunia nyata? Apakah ini semacam cli-fi? Sebuah genre fiksi yang menyerukan kepedulian lingkungan, kisah petualangan yang mengandung pelajaran, Dimanakah saya ketika paparan es Larsen B pecah?
Ya, dan semua fakta mengerikan tentang bumi kita nyata adanya. David Wallace-Wells menyajikannya secara nyata, bukti empirik, serta data-data yang dikumpulkannya dari berbagai macam makalah dan jurnal ilmiah. Ada 240 catatan yang ditautkan pada buku nonfiksi yang mencekam ini. Semua itu seketika menyadarkan saya betapa bumi ini telah menua dan kehilangan keseimbangannya karena ulah seluruh umat manusia. Bukan hanya mereka yang menginisiasi revolusi industri, tapi kita semua, bahkan hingga anak cucu kita kelak. Dimulai dari diri saya sendiri, yang menghabiskan hidup di kota, menikmati gawai buatan jalur pasokan industri tanpa pikir panjang. Saya juga tidak pernah menyembelih sapi sendiri untuk dibuat bakso dan tidak berniat juga untuk menjadi vegan.
Karena alasan-alasan itulah saya sama dengan pembaca sekalian, mungkin. Atau saya sama dengan kebanyakan orang, yang menjalani hidup dengan kelalaian fatal, dan tak tahu-menahu, terkait perubahan iklim, yang bukan hanya ancaman terbesar yang dihadapi kehidupan manusia di planet ini, melainkan juga ancaman dengan kategori dan skala yang berbeda. Yakni skala kehidupan manusia itu sendiri.
Unsur-Unsur Kekacauan Akibat Perubahan Iklim
Buku “Bumi Yang Tak Dapat Dihuni” ini menyajikan unsur-unsur kekacauan yang terjadi karena perubahan iklim. Mulai dari panas maut, kelaparan, tenggelamnya kota-kota, kebakaran yang semakin sering terjadi di hutan-hutan, bencana yang tak lagi alami, kekurangan air, laut yang sekarat, udara yang tak bisa dihirup, wabah akibat pemanasan, ambruknya ekonomi, konflik akibat iklim, dan juga bagaimana sebuah “sistem” memengaruhi perubahan iklim itu sendiri. Semua hal yang saya sebutkan tadi saling berhubungan dan bermuara pada satu sebab : perubahan iklim.
Beberapa rentetan kejadian akibat iklim akan berlangsung tidak hanya di satu negara saja, tapi juga di tingkat global. Saking besarnya, efeknya akan tampak tak terasa. Planet yang menghangat ini akan menyebabkan es Artika meleleh, artinya lebih sedikit cahaya matahari yang terpantul balik ke antariksa dan makin banyak yang diserap planet yang memanas terus menerus. Hal itu juga akan berdampak pada laut yang makin tak mampu menyerap karbon di atmosfer dan planet makin memanas.
Planet yang menghangat juga akan melelehkan es abadi Artika, yang mengandung 1,8 triliun ton karbon, lebih dari dua kali lipat yang sekarang ada di atmosfer Bumi. Sebagiannya terlepas dalam wujud metana, gas rumah kaca yang 34 kali lipat lebih kuat daripada karbon dioksida jika diukur dalam waktu skala seabad.
Planet yang lebih panas secara umum buruk untuk kehidupan tumbuhan, artinya kematian hutan–menyusutnya hutan seluas negara-negara–berarti pengurangan dramatis kemampuan alami planet ini menyerap karbon dan mengubahnya menjadi oksigen. Artinya suhu makin panas, yang berarti makin banyak kematian hutan, dan seterusnya. Suhu lebih tinggi berarti makin banyak kebakaran hutan, lebih sedikit pohon, lebih sedikit penyerapan karbon, lebih banyak banyak karbon di atmosfer dan planet makin panas!
Planet yang lebih hangat berarti lebih banyak uap air di atmosfer, dan karena uap air adalah termasuk gas rumah kaca juga, itu menambah pemanasan. Laut yang lebih hangat menyerap panas lebih sedikit kan, artinya lebih banyak udara panas yang mengandung lebih sedikit oksigen. Sehingga mengancam fitoplankton yang melakukan kerja tumbuhan di laut (menyerap karbon dan memproduksi oksigen). Sehingga kita dapat makin banyak karbon yang memanaskan lagi planet ini.
Itulah sistem yang disebut “umpan balik” oleh para ilmuwan yang dicantumkan dalam buku ini. Tapi tunggu, masih ada banyak lagi. Beberapa sistem tersebut bekerja ke arah sebaliknya, menghambat perubahan iklim. Namun lebih banyak yang mengarah ke percepatan pemanasan, bila kita sebagai manusia memicunya.
Catatan dari Penulis
Seluruh sains bisa dibilang spekulatif, sama halnya dengan berbagai teori lain seperti teori Covid-19 adalah konspirasi. Sains bisa berubah atau direvisi pada masa depan. Namun seberapa spekulatifnya itu tergantung cabang sains apa, spesialisasi mana, bahkan antar penelitian.
Sebelum tulisan dan buku ini banyak yang menyanggah, David Wallace-Wells menuliskan :
Dalam riset perubahan iklim, fakta pemanasan global (sekitar 1,1 derajat Celcius sejak manusia pertama kali mulai membakar bahan bakar fosil) dan mekanismenya (gas rumah kaca yang dihasilkan pembakaran itu menjebak panas yang memancar ke atas atmosfer planet ini) kini sudah dipastikan tanpa keraguan. Bagaimana tepatnya pemanasan akan berlangsung, selama dasawarsa mendatang dan abad-abad mendatang, tidak begitu pasti, sebagian karena kita tahu secepat apa manusia akan menghentikan kecanduan bahan bakar fosil dan sebagian lagi karena kita belum tahu pasti bagaimana sistem iklim akan menyesuaikan diri menganggapi gangguan dari manusia. (halaman 247)
Hal paling membuat pikiran saya terbuka tentang Covid-19 yang tengah terjadi sekarang, dibahas juga dalam buku yang diterbitkan tahun 2019 ini (akan saya bahas selanjutnya). Meskipun tidak spesifik, namun ada benarnya juga untuk ikut dipikirkan. Tentang bagaimana wabah penyakit semakin sering menyapa kita, seluruh umat manusia, dari tahun ke tahun. Terserah jika Anda beraliran Covid-19 adalah buatan satu negara tertentu dan termasuk teori Konspirasi yang lainnya. Namun, ada baiknya Anda juga membaca buku ini untuk menambah sudut pandang dan pengetahuan mengenai wabah penyakit dan hubungannya dengan perubahan iklim.
Kita harus segera sadar bahwa semua yang (terlanjur) terjadi sekarang ini adalah ulah manusia itu sendiri. Berhenti mencari kambing hitam dan mari kita temukan solusinya bersama-sama. Jangan meremehkan apa yang diserukan para ilmuwan, seperti hanya memberi ceramah tujuh menit di atas mimbar lalu melupakannya karena tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Buku ini akan menyadarkan kita betapa kejamnya efek perubahan iklim, sedangkan kita punya kuasa. Karena banyak mencari kambing hitam, akhirnya kita lalai untuk berubah menjadi manusia yang tidak lagi menyakiti bumi.
Kita harus segera sadar dari mimpi panjang bahwa bumi akan selalu menjadi tempat terbaik hunian untuk manusia. Kita tidak bisa memilih planet, karena hanya Bumi satu-satunya yang bisa kita sebut sebagai rumah.
Bersambung.
The Uninhabitable Earth, Life After Warming by David Wallace Wells.
Bumi Yang Tak Dapat Dihuni
Alih Bahasa : Zia Anshor.
Diterbitkan pertama kali di Indonesia oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 330 halaman.
Cetakan Kedua, Januari 2020.
5/5
Terimakasih untuk mbak Meita Eryanti, karena review beliau saya jadi tahu tentang buku ini. Ulasannya bisa dilihat di sini : https://www.instagram.com/p/CAZtNO2gJc6/?utm_source=ig_web_copy_link
Ulasan lain tentang Fakta Mengerikan Bumi Kita Saat ini bisa dilihat di sini : Sumber Daya Air dan Gigi Ikan Hiu
[…] Baca Selengkapnya […]
[…] dari buku yang sama, Bumi Yang Tak Dapat Dihuni, membahas tentang bagaimana kebakaran hutan juga sebuah efek yang ditimbulkan akibat pemanasan […]
Bumi kita semakin lama semakin menua, sudah mulai rapuh. Bahkan kualitas SDA jga semakin menurun karena berbagai ulah manusia itu sndiri. Btw bukunya bagus
Keren banget sih, baca beberapa kutipannya saja sudah membuat saya ngeri. Emang kita harus pintar-pintar menjaga dan melindungi bumi ya kak. Dan yang paling penting adalah ubah pemikiran buruk dan sikap egois yang bisa merusak kelestarian bumi, ditunggu tulisan selanjutnya
Sangat menarik kak pemaparannya. Love it. untuk bukunya langsung ku cari untuk jadi Bahn bacaan dan renungan. MakasihMakasih akakkuuuu
Eh ada filmnya ketika bumi tak dapat dihuni, semua mahluknya pindah ke luar angkasa. Tp kartun.. sebenarnya fiksi tapi ngeri juga bayanginnya. Emang qt harus jaga bumi kita..
Wah, buku bagus, nih. Memang nggak bisa dipungkiri, perubahan iklim sudah terjadi sedemikian hebat. Aku merasakan betul lho di daerah tempat tinggal di Bogor sini yang sekarang panasnya luar biasa. Dulu pukul lima sore sudah dingin, lalu beranjak pukul sembilan malam baru dingin, sekarang dinginnya baru terasa saat turun hujan. Kalau hujan memang dingin banget, aku sampai pakai kaos kaki di dalam rumah. Tapi kalau nggak ada hujan ya begitu.
Sepertinya mesti baca buku ini dulu sampai tuntas.
Bacanya jadi kepikiran juga nih. Bumi memang sudah semakin tua dan ternyata kita juga punya andil merusak bumi meski secara tidak langsung. Waduh, bagaimana selanjutnya kondisi bumi kalau kita semakin tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Takut jadinya. Btw, bukunya keren Mbak. Jadi ingin ikutan baca juga.
Bumi sudah semakin menua, kita pun adalah manusia akhir zaman yang memang paling banyak merusak bumi (T_T). Sebab yang pasti suatu saat bumi ini akan hancur dan punah.
Semakin ke sini, bumi tak ada nyawanya lagi. Melihat tindakan makhluknya yg tak bs diatur lagi. Ngeri juga banyangin bumi yg g bs dihuni lagi. Bagaimanapun juga semua kembali pada kita.
Pasti baca buku ini bikin merinding. Mau ga mau membuka pikiran kita, udah ga boleh pura-pura ga tau kalo bumi sudah menua. Ngga boleh ngimpi mau tinggal di Mars. Kita tidak bisa memilih planet, karena hanya Bumi satu-satunya yang bisa kita sebut sebagai rumah.
Pindah ke Mars yuk mba. Hihihi. Saya baca ulasannya aja ngeri-ngeri sedap. Apalagi baca lengkap bukunya. Perubahan iklim itu sudah di depan mata. Sayangnya justru negara yg selama ini menggaung2kan ajakan untuk mengatasi perubahan iklim justru keluar dari pakta pertahanan. Mitigasi perubahan iklim sekarang ini tidak cukup hanya mengandalkan gerakan-gerakan kecil, secara individual. Butuh gerakan besar dan itu ada di tangan Amerika. Target pendinginan iklim global mustahil tercapai kalo AS tidak ada di depan. Cina aja yang penduduknya terbesar di dunia sudah komitmen kok. Amerika Ameriki ini loh, bengkung.
Yang kasihan itu negara kepulauan kecil di Samudera Pasifik sana. Sekarang aja pulau-pulaunya mulai tenggelam. Sekitar 3-4 tahun lalu saya pernah ngobrol sama Presiden Kiribati, Anote Tong. Kebetulan dapat tugas nulis profil beliau juga. Itu Kiribati sampai beli pulau loh ke Fiji. Mereka beli daratan di Fiji untuk jaga-jaga buat mengevakuasi rakyatnya yang terdampak perubahan iklim. Karena pada dasarnya yang namanya negara itu bukan cuma tanah, tapi rakyatnya jauh lebih penting. Duh, meringing saya menuliskannya.
Kalimat yang sangat nohok ini Mbak hehe. “Jangan meremehkan apa yang diserukan para ilmuwan, seperti hanya memberi ceramah tujuh menit di atas mimbar lalu melupakannya karena tidak akan terjadi dalam waktu dekat.” Sering mikir karena gak akan terjadi dalam waktu dekat, padahal efek jangka panjang akan lebih bahaya
Bumi punya cara sendiri menyembuhkan dirinya. Aku sih percaya itu. Jadi kl kita merusak bi, ya akan kembali ke kita. 🙏💖
Kerusakan bumi (darat dan laut) itu karena disebabkan oleh tangan2 manusia. Maka menjaga dan memperbaiki bumi (alam semesta) merupakan tugas dan tanggungjawab manusia kembali.
Betul mbak, seharusnya kita tidak boleh mencari kambing hitam atas kerusakan bumi ini. Namun kita harus sadar atas semua yg terjadi sekarang ini adalah ulah manusia itu sendiri.
Maka mulailah dari sekarang tumbuhkan kesadaran untuk menjaga bumi dari kerusakan
Menarik nihh bukunya, kita jadi bisa lebih peduli pada bumi kita. Dengan adanya hukum sebab-akibat, kita pasti sudah tahu siapa yang harus disalahkan. Semoga bumi kita bisa segera ulih seperti dahulu kala sebelum iblis diturunkan dari langit oleh Allah SWT.
bener nih kalau kita enggak jaga bumi dari sekarang, bumi bisa-bisa enggak bisa dihuni lagi. kadang manusia yang serakah ini yang bikin bumi semakin sengsara. semoga kita bisa pelan-pelan untuk menjaga bumi. Aamiin.
mungkin dengan adanya corona kita jadi lebih bisa menghargai dalam menjaga lingkungan hidup ya mbak
Iklim yang terasa sekarang saja sudah mulai berubah. kalau panas, panas yang begitu cetaaaaar. ya, Allah jadikanlah kami ini hambamu yang baik, supaya selamat dunia akhirat.
Sekarang suhu global sudah berada di rentang 2-3 derajat Celsius katanya, Mbak. Sepintas tampak kecil, tapi itu bukan hanya terjadi sehari saja, tapi sepanjang hari, sepanjang tahun. Perubahan iklim itu tentu saja akan membawa banyak dampak dan terlalu mengerikan jika harus dituliskan secara sebenarnya
[…] Baca Juga Bumi Yang Tak Dapat Dihuni […]
[…] dari buku Bumi Yang Tak Dapat Dihuni, disebutkan bahwa dalam sejarah, laju emisi dari penggundulan hutan bahkan lebih tinggi, karena […]