Merdeka dari Covid-19 adalah salah satu hal yang paling saya inginkan saat ini. Mungkin bukan hanya saya, tapi juga banyak manusia di belahan bumi manapun. Seolah apa yang saya lihat dari film World War Z menjadi nyata di tahun ini. Meskipun yang kita perangi bukan zombie yang juga terserang virus. Namun keadaan dunia saat ini mau disadari atau tidak memang telah berubah menjadi lebih buruk, dan akan terus demikian entah sampai kapan.

Bisa saja kelak dunia ini berakhir bersamaan dengan keputusan Allah untuk mendatangkan kiamat besar. Kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa kiamat memang sudah dekat. Orang-orang mengatakan, setiap orang tentu saja akan mati. Mengapa takut pada hal-hal yang “katanya konspirasi” itu? Wah, saya benar-benar tidak habis pikir sih dengan orang yang mengatakan demikian. Siapapun pasti tahu bahwa yang bernyawa pasti akan mati. Namun akankah kita berpangku tangan dan menyerahkan diri tanpa usaha?

Virus yang selama ini saya anggap masih jauh dan mungkin saja tidak akan menimpa negeri ini kini semakin dekat dengan kami. Virus yang selama beberapa bulan ini membuat saya tidak bisa tidur dengan tenang kini sudah berada di sekitar saya.

covid-19 checking

pict from freepik

7 Hari Pertama

Hari itu, suami saya tumben banget pulang cepat. Biasanya dia memang pulang sekitar jam 3 atau 4 sore. Namun sejak pandemi, beban kerjanya lebih banyak tiga kali lipat dibanding sebelumnya. Ada proyek yang baru saja ia rintis bersama teman-temannya di rumah sakit untuk menggantikan salah satu aplikasi layanan mengirimkan obat ke rumah pasien rawat jalan. Belum lagi urusan pekerjaan inti. Ditambah lagi ia dimasukkan ke dalam susunan relawan tim satgas Covid di rumah sakit tempatnya bekerja.

Jadi saya maklum kalau setiap hari ia pulang malam. Paling cepat selepas maghrib. Tidak jarang juga ia baru sampai rumah pukul 11 hingga 12 malam. Lalu keesokan paginya juga tak jarang menerima panggilan dari rumah sakit di Subuh hari. Saya dan juga keluarga Tim relawan sangat mengkhawatirkan keadaan ini. Apalagi RS tempatnya bekerja adalah rumah sakit rujukan Covid-19. Namun saya tidak pernah berpikir buruk. Saya ingin optimis bahwa segalanya akan baik-baik saja. Meski di luar sana banyak yang tidak mengindahkan bahayanya virus ini.

Sampai pada suatu hari, ia pulang cepat dan mengeluh sedang tidak enak badan. Sepulang kantor ia langsung mandi, mengganti baju dan menyelimuti dirinya sendiri dengan selimut tebal. Padahal biasanya ia tidur tanpa selimut, apalagi di siang hari. Saya pun mengira ia demam biasa. Sore itu saya membeli obat untuknya di apotek. Memberikan asupan nutrisi seperti buah, madu, sampai vitamin dan susu. Malam itu ia menggigil dan demam.

Ternyata demamnya tidak kunjung turun dalam waktu dua hari. Barulah hari ketiga, demamnya turun. Namun ia mengeluh badannya seperti remuk. Sakit semua kalau dipakai untuk bergerak. Hari keempat saya sudah mulai was-was. Pasalnya di hari pertama ia demam, tetangga saya dijemput oleh Puskesmas setempat dan dibawa ke Safe House untuk dikarantina. Karena ia terbukti positif Covid-19 setelah beberapa hari juga demam dan batuk seminggu lebih.

Banyak pikiran tak karuan saat itu, namun saya mencoba optimis. Hingga hari ketujuh, demamnya pun sudah turun. Namun badannya tetap lemas dan selalu menggigil di malam hari. Udara di kamar yang menurut saya hangat, menurutnya masih sangat dingin. Saya pun menganjurkannya untuk periksa ke klinik. Hari ketujuh, ia pergi ke klinik dan tidak ada diagnosa yang mengarah ke Covid-19.

“Mungkin hanya kecapekan,” begitulah dokter meyakinkan suami saya. Ia pun diberi obat anti nyeri (untuk badannya yang pegal-pegal), obat lambung (beberapa hari ini selalu sendawa terus-terusan), dan obat penurun demam.

10 Hari Pertama

covid-19

pict from freepik

Hari ke-7, karena tidak kunjung ada kemajuan apapun, maka pihak Rumah Sakit memerintahkan suami untuk melakukan rapid test. Meskipun setiap kali saya membicarakan kemungkinan terburuk, ia selalu menghindar. Selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Padahal saya melihat sorot matanya yang seakan mengatakan, “benarkah ini Covid-19?” Namun ia selalu meyakinkan saya bahwa ia hanya kecapekan

Hari ke-8 setelah suami saya melakukan rapid test hasilnya non reaktif. Namun tidak menutup kemungkinan ia bebas dari Covid. Karena di hari itu juga, suami mendengar kabar bahwa di rumah sakit tempatnya bekerja sudah ada 9 orang yang dinyatakan poisitif Covid-19. Ditambah tetangga rumah kami sudah ada 2 orang yang positif. Hal ini tidak bisa dibilang main-main.

Tidak puas sampai di situ, akhirnya diputuskan untuk foto thorax dan tes darah lengkap di hari ke-9.

Betapa leganya hati ketika dikatakan bahwa paru-parunya bersih. Tes darah yang sudah dijalaninyapun normal. Saya bersyukur sekali dan memberi semangat padanya untuk segera sembuh dan segera makan yang banyak (selama sakit makannya sangat sedikit). Namun usai periksa paru-paru dan tes darah keseluruhan, batuk menerjang suami saya. Ya, tepat di hari ke-9.

Batuk tidak berdahak yang durasinya semakin hari semakin intens dan sudah mengganggu. Hingga pada hari ke-12 saat saya menulis curhatan ini, batuknya belum menampakkan tanda-tanda membaik. Sementara itu seorang kepala ruangan pinere (ruangan khusus isolasi pasien covid) menghubungi suami saya lewat telepon di hari yang sama. Ia menanyakan kabar suami saya dan keluhan apa saja yang sedang dirasakannya saat ini.

Suami saya menceritakan semuanya dan pada akhirnya, dokter akan segera menjadwalkan swab test pada suami saya di hari ke-14. Pemerintah memang sedang benar-benar menyeleksi mana yang harus didahulukan untuk segera swab test berdasarkan tingkat kegawatdaruratan. Namun saya lebih menyukai pemikiran bahwa kami sedang terpapar dengan gejala ringan dan akan segera berakhir di hari ke-14.

Saya pun mengambil inisiatif untuk melengkapi karantina mandiri kami hingga hari ke-14 nanti. Saat ini kondisinya memang lebih baik dibanding beberapa hari yang lalu. Namun tetap saja saya was-was. Karena banyak diantara teman sejawatnya di rumah sakit berstatus positif, namun mereka adalah orang-orang tanpa gejala atau bergejala ringan.

Hal yang paling membuat saya khawatir adalah menularnya virus ke bocah yang baru berusia 1,5 tahun dan tentu saja tidak bisa tidur sendirian. Saya takut membawa bahaya padanya, pun dengan suami. Namun kami tak punya pilihan lain. Sehingga satu-satunya hal yang bisa saya lakukan saat ini adalah berdoa agar kami semua dilindungi oleh Allah.

our heroes

Tanggal 17 Agustus 2020 adalah hari dimana kami benar-benar ingin merdeka dari Covid-19 yang mengancam kami sekeluarga. Saya berharap swabtest suami nanti negatif. Saya berharap setelah hari ke-14 nanti kesehatan suami saya membaik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, saya pun bisa tidur nyenyak lagi. Memaknai kemerdekaan meskipun dalam sunyi.

Teringat sebuah status seorang teman, namanya Briantono, biasa saya panggil Brian yang mengatakan bahwa “kalaupun Covid-19 ternyata benar adalah sebuah konspirasi, setidaknya saya senang telah menjadi bagian dari relawan yang ikut serta menjadi kelinci percobaan yang diujicobakan pada manusia.” Demi umat manusia seluruhnya, tentu saja. Maka sudah bukan saatnya mencari kambing hitam siapa dan apa dibalik pandemi ini. Saya yakin, pandemi ini datang karena ulah manusia itu sendiri. Salah satunya pemanasan global dan beberapa efek buruk lain pada satu-satunya tempat tinggal kita saat ini.

Bukankah bumi kita memang sudah tak layak dihuni?

Baca Juga Catatan Harian Seorang Satgas Covid-19. Mimpi Buruk itu Datang

 

Artikel ini diikut sertakan minggu tema komunitas Indonesian Content Creator