Lebih dari sepuluh tahun berorganisasi di salah satu ormas Islam saya baru memahami bagaimana CSR dan Kolaborasi Lintas Sektor ini berjalan. Membaca buku yang ditulis oleh Pak Ditto Santoso membuat saya memahami dan merenungkan banyak hal. Termasuk ketika salah satu program organisasi kita tidak bisa berjalan dengan baik, mungkin karena salah pemahaman soal CSR ini.

Saya jadi bertanya-tanya, ada berapa banyak orang di luar sana yang salah paham soal CSR ini?

Sempat iseng menanyakan ini pada beberapa teman saat obrolan random kami di sebuah grup. Jawabannya pun sama, tak jauh berbeda dengan pemahaman saya yang selama ini juga terlalu sempit. Sehingga tak berlebihan jika saya mengatakan buku ini, menjadi sumber rujukan saya tentang CSR selanjutnya.

CSR dan kolaborasi lintas sektor

Meluruskan Kesalahpahaman

Bab pertama dalam buku ini diawali dengan “penjernihan pikiran” saya. Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya bahwa ada kesalahpahaman ketika mendengar kata CSR. Begitu juga saat kami berkolaborasi dengan perusahaan.

CSR atau Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan sering disalahpahami atau disimplifikasi sebagai “dana CSR”, “donasi perusahaan”, atau “pengembangan masyarakat”. Padahal CSR tidak sebatas donasi atau community development. Tetapi sebuah upaya perusahaan dengan kolaborasi dan dukungan para pihak untuk mengatasi dan mengelola dampak dari aktvitas operasionalnya dalam rangka menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan di sekitar perusahaan.

Melalui buku ini kita bisa memahami hal yang sebenarnya tentang CSR dengan dasar-dasar dan aturan yang kuat. Jadi kita ngga bisa lagi mengatakan CSR itu dana sosial atau sekadar donasi perusahaan. Meskipun hal itu tidak salah juga. Namun pengertiannya tidak sesempit itu.

Disebutkan bahwa mengacu pada konsep tanggung jawab sosial ala ISO 26000 :

Dana sosial sebagai bagian dari community development hanya salah satu dari tujuh isu atau subjek inti tanggung jawab sosial perusahaan maupun institusi lainnya. Isu atau subjek inti lainnya adalah tentang konsumen, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, lingkungan, tata kelola organisasi, dan prosedur operasi yang wajar.

Jadi bukan semata perusahaan mendanai, lalu organisasi/masyarakat sebagai eksekutornya. Namun lebih dari itu. Kita diajak untuk bersama-sama bergerak. Namanya juga kolaborasi kan. Tidak bisa hanya salah satu saja yang bergerak untuk satu tujuan. Tapi semuanya harus mengambil peran sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Jika setiap orang bergerak maju bersama maka keberhasilan akan muncul dengan sendirinya.. (Henry Ford)

Hakikat CSR dan Kolaborasi Lintas Sektor

Penulis juga menyadari bahwa selama ini memang ada banyak jawaban mengenai CSR bahwa ia adalah bantuan atau tindakan karitatif. Perwujudannya di lapangan dengan berdonasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Apakah ini salah? Ternyata juga tidak. Namun sekali lagi, CSR bukan semata-mata memberikan bantuan atau donasi.

CSR adalah mengelola dampak dari aktivitas operasional perusahaan. Demikianlah sebagian definisi yang disebutkan dalam ISO 26000 : Guidance on Social Responsibility.

CSR tidak berhenti di pendanaan. Namun CSR juga melakukan asesmen, mendesain program pelibatan dan pengembangan masyarakat, mengimplementasikan di lapangan, hingga kemudian memonitor dan mengevaluasi hasil merupakan pendekatan programatis yang senantiasa dikembangkan oleh para sahabat pegiat CSR dalam bidang pelibatan dan pengembangan masyarakat.

Jadi ketika ada persoalan bisnis, sosial, dan lingkungan, tentu perusahaan tidak bisa menyelesaikannya sendirian dan tidak akan juga selesai dengan pendekatan bantuan karitatif saja. Selain itu perusahaan juga diseru oleh PBB untuk membantu mewujudkan inovasi dan kreativitasnya agar bisa menyelesaikan masalah-masalah pembangunan global. Seperti kelaparan, kemiskinan, pencemaran lingkungan, dan lain sebagainya.

Oleh karena itulah dibutuhkan kolaborasi diantara para pihak untuk bersama-sama saling berkontribusi menyelesaikan masalah yang dampaknya dirasakan oleh semua pihak. Saya jadi teringat sebuah webinar, bahwa kerusakan lingkungan, masalah kelaparan dan kemiskinan ini masalah bersama. Jangan bergantung pada orang lain atau salah satu pihak saja. Tapi lihat dalam diri sendiri, apa yang bisa kita lakukan untuk itu? Apa solusi yang kita tawarkan? Atau bisakah kita menjadi bagian dari solusi tersebut?

Begitu juga dengan CSR. Melalui buku ini saya jadi memahami bagaimana perusahaan tidak hanya sebagai “penyokong dana” sebagaimana yang kita pahami selama ini. Lalu pihak lain sebagai eksekutornya. Sehingga pihak eksekutor bisa menghemat sumber daya keuangan mereka jika berkolaborasi. Padahal jika yang terjadi malah kemoloran waktu sebagaimana lazimnya masalah-masalah birokrasi di negeri ini, ada kemungkinan malah justru akan berimbas pada aspek keuangan berbagai pihak.

Penjelasan Ditto Santoso Soal Kolaborasi

Selama ini kalau kita mengatakan kolaborasi maka artinya kerjasama kan? Bukan hanya salah satu pihak saja yang diuntungkan. Namun kolaborasi ini bagaimana sih caranya agar dapat mencapai tujuan bersama-sama?

Penulis menyampaikan bahwa terkadang memang butuh jalan berliku untuk merintis sebuah kolaborasi lintas pihak. Terkadang ada pihak yang belum memahami kolaborasi sebagai sebuah upaya untuk menyelesaikan sebuah isu atau masalah secara bersama-sama. Dimana masing-masing pihak dapat berkontribusi sesuai sumber daya yang dimiliki, bukan hanya terkait pendanaan saja.

Apalagi hanya menyampaikan shopping list alias daftar belanja untuk CSR. Karena memang masih banyak yang berpendapat bahwa perusahaan adalah tempat bagi mereka untuk mengajukan permintaan bantuan (atau menuntut) untuk dipenuhi.

Sebagai contoh di dekat tempat tinggal saya ada sebuah pengembangan ekonomi lokal dengan basis ekowisata. Setiap pihak termasuk kalangan akademisi dari kampus, perusahaan, serta masyarakat setempat punya peran untuk mendorong pelestarian lingkungan. Jika perusahaan berkontribusi melakukan peningkatan kapasitas bagi pelaku usaha lokal, maka LSMnya bisa bertugas untuk melakukan pendampingan dan inkubasi bisnis di sekitar kawasan ekowisata.

Lalu universitas melakukan riset untuk mencari inovasi-inovasi produk. Lalu pemerintah mengatur regulasi yang mendorong sektor perbankan mendukung usaha lokal berbasis ekowisata tersebut. Pada akhirnya semua pigak memiliki sumber dayanya masing-masing. Namun diharapkan dapat memiliki pedoman dan rencana besar (grand design) yang disepakati bersama-sama. Begitulah hakikatnya kolaborasi bukan?

Saya sendiri tidak menyalahkan bagaimana orang-orang punya pemahaman yang salah soal CSR ini. Bahkan definisi CSR itu sendiri sudah menjadi paham yang salah namun terus menyebar bak jamur di musim hujan. Bagaimana sejarahnya CSR ini menjadi “penyandang dana sosial” disebutkan dalam buku ini dengan wawancara khusus bersama Ibu Yanti Iriwidiantini. Seorang aktivis perempuan yang juga dikategorikan sebagai salah satu pendorong berkembangnya praktik CSR yang benar di Indonesia.

Melihat kiprah beliau, saya jadi malu dan mendadak ingin menyebarkan kebaikan serta meluruskan kepasalahpahaman yang terjadi selama ini. Sejarahnya bisa dibaca melalui buku ini yaa.

Penutup

Intinya sih sebagai bloger sekaligus influencer kita juga bisa dong ikut meluruskan kesalahpahaman ini. Sebegitu salah kaprahnya soal definisi CSR ini sampai-sampai perusahaan nasional, baik swasta asli Indonesia maupun BUMN CSR seringkali ditemukan mengarah pada praktik imbal-beli antara swasta dan Pemerintah yang rentan dengan praktik-praktik korupsi ataupun gratifikasi. Bahkan kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai negara anggota ASEAN. Oleh karena itulah lahir lembaga ASEAN CSR Network.

Dalam buku CSR dan Kolaborasi Lintas Sektor kita akan melihat dengan jelas lalu memahaminya dengan akal sehat bagaimana kita bisa menjadi salah satu pihak yang berkolaborasi bersama CSR untuk kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan bumi ini hingga entah berapa abad mendatang. Penulis berhasil membuat saya terjernihkan melalui cerita-ceritanya yang menarik.

Meskipun bahasannya soal ekonomi yang tidak saya mengerti, tapi akhirnya saya menjadi paham bagaimana praktik CSR yang seharusnya itu. Ditambah dengan kiat-kiat untuk merumuskan peran dan kontribusi perusahaan dalam SDGs. Komplit, alias lengkap dan perlu untuk kita pelajari, terlebih jika sering bersinggungan dengan pihak eksternal sebuah lembaga organisasi.

CSR yang sukses adalah CSR yang berkelanjutan. Untuk itu CSR harus menerapkan pendekatan multipemangku kepentingan. Tidak hanya perlu menggandeng mitra kerja, tetapi melibatkan pemangku kepentingan yang berkomitmen untuk berkolaborasi mencapai tujuan bersama (Christine Davis & Stephanie Soderborg)

 

CSR dan Kolaborasi Lintas Sektor oleh Ditto Santoso

ISBN : 978-623-91309-8-5

Penerbit KlikPlus Asia dan Rumah Bangga, Cetakan Pertama 2021, 163 halaman.

Teman-teman bisa dapatkan buku ini melalui : Rumah Bangga