Kita, Kata, dan Cinta dapat berlaku sebagai buku pelajaran Bahasa Indonesia yang mengembangkan kalimat demi kalimat sampai menjadi sebuah novel, dengan bahasa Indonesia yang tidak sekadar diterapkan sebetul mungkin, tetapi juga menjadi subjek maupun objek novel ini sendiri. -Seno Gumira Ajidarma (sastrawan)
Awal saya mendapat rekomendasi buku ini dari sesama teman komunitas membaca. Sempat ragu untuk memilikinya karena membayangkan betapa membosankan membaca kamus, meskipun dikemas dalam bentuk novel. Namun tantangan yang diberikan pada saya saat itu semakin membuat bersikukuh untuk memiliki buku ini. Sajian pelajaran Bahasa Indonesia yang selama ini saya anggap sangat membosankan, akhirnya terbantahkan dalam bentuk novel oleh Khrisna Pabichara. Saya sempat menutup bukunya ketika membaca bab pertama. Namun saya urungkan karena penasaran dengan kisah cinta Sabda dan Kana.
Pelajaran Bahasa Indonesia yang akhirnya tidak membosankan saya dapatkan di sini. Sampai akhirnya saya malu sendiri sebagai seseorang yang pernah menulis dan menerbitkan buku. Karena masih banyak kata salah kaprah yang masih saja saya pakai.
Pelajaran Bahasa Indonesia dalam bentuk Novel
Novel ini dibuka dengan Kata Pengantar dari Bapak Bambang Trim. Tentu semua sudah mengenal siapa beliau dan kontribusinya pada literasi Indonesia. Bapak Bambang Trim membuka novel ini dengan pengantar edukatif sekaligus bernilai kritik untuk teman-teman penulis yang salah meletakkan Kata Pengantar dan Pengantar dalam bukunya. Coba teman bloger pikirkan tentang perbedaan kata pengantar dan prakata?
Pak Bambang Trim membeberkan bahwa kata pengantar (foreword) dan prakata (preface) itu berbeda. Semata-mata beliau ingin menginsafkan banyak penulis tentang apa yang selama ini mereka anggap benar, termasuk saya. (Untung saja kata pengantar dalam buku solo pertama saya sudah benar, meskipun karena faktor keberuntungan saja).
“Yang mengantarkan diri kita ini apakah kita sendiri atau orang lain?” tanya Pak Bambang Trim pada suatu pelatihan. Serempak para peserta pelatihan menjawab, “orang lain!”
“Jadi, kata pengantar semestinya ditulis siapa?” Kelas pun menjadi riuh dan bingung. Selama ini mereka menulis karya dan mereka pula yang menulis kata pengantar alih-alih prakata.
Kata pengantar sesuai namanya adalah tulisan yang dibuat seseorang untuk mengantarkan karya seorang penulis. Isinya berupa apresiasi terhadap karya atau terhadap sosok penulisnya. Adapun wacana awal yang ditulis oleh penulis sendiri disebut prakata. Hal ini mungkin persoalan yang dianggap “receh”, kata kaum belia saat ini. Namun persoalan ini mirip-mirip dengan kasus kebahasaan yang disebut sebagai kemelut seperti yang diurai oleh Khrisna Pabichara dalam buku ini. Receh menjadi kemelut, namun jika kita pahami, besar artinya.
Benar apa yang dibicarakan dalam novel ini bahwa persoalan berbahasa tidak bisa dianggap remeh, sebenarnya. Khrisna, menurut Bapak Bambang Trim adalah seorang munsyi yang telaten mengurusi kemelut bahasa. Sependek pengetahuan saya, Uda Ivan Laninlah yang selama ini menjadi polisi bahasa di Indonesia. Ternyata, ada Khrisna yang tidak bisa membiarkan persoalan bahasa dianggap remeh, oleh siapapun. Kemelut bahasa, sebuah kegentingan yang dianggap biasa saja oleh kebanyakan orang. Apalagi melanggar bahasa tidak melanggar hukum ketika dalam forum atau wacana resmi, bahkan termasuk seorang pejabat sekalipun.
Khrisna menggambarkan dirinya sendiri sebagai seorang Sabda, tokoh utama dalam novel ini. Kecintaannya terhadap bahasalah yang membuat seseorang mau berpayah-payah memahami gradasi kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga wacana. Pesannya yang sangat mendalam untuk seluruh penulis, calon penulis dan siapapun itu :
Seorang penulis akan cedera cintanya terhadap dunia tulis-menulis manakala ia abai terhadap persoalan berbahasa yang baik sesuai dengan konteksnya dan berbahasa yang benar sesuai dengan kaidah
Empat puluh enam bab faksi dengan gaya narasi karya Khrisna Pabichara di dalam buku Kita, Kata, dan Cinta ini semacam kritik halus yang menggugat rasa cinta kita terhadap bahasa Indonesia. Buku ini seolah mengatakan pada saya : bahasamu adalah bukti cintamu.
Kita, Kata dan Cinta. Romantisme Sabda dan Kana
Siapa sih pernah berpikir jatuh cinta pada seorang lelaki menyebalkan yang selalu mengkritik apa yang kita katakan? Pembahasan sehari-hari tidak pernah jauh dari tata bahasa Indonesia. Begitulah yang terjadi pada Kana, seorang mahasiswa jurusan kedokteran gigi yang jatuh cinta pada Sabda, seorang mahasiswa rantau berambut gondrong sekaligus aktivis kemanusiaan. Bukan karena gondrongnya, bukan juga karena ketampanannya serta kekritisannya pada sesuatu yang dianggapnya tidak benar. Kana justru jatuh cinta pada kecintaan Sabda pada bahasa Indonesia.
Meski awal pertemuan mereka membuat Kana jengah dan melihat Sabda sebagai sosok lelaki sok tau dan betapa garingnya ia. Namun, Kana dibuat jatuh sejatuh-jatuhnya pada Sabda. Begitupun dengan Sabda, dibuat rindu serindu-rindunya apabila Kana tak muncul di depannya. Mereka saling jatuh cinta dan menjalin hubungan meski tak direstui dengan orangtua Kana. Namun keduanya tak patah semangat untuk meyakinkan kedua orangtua Kana bahwa Sabda pantas menjadi pendamping hidupnya.
Jangan bayangkan bagaimana gaya berpacaran mereka. Karena pasti garing dan terdengar klasik. Bahkan saat-saat berduapun mereka habiskan untuk berdiskusi soal mana kata yang salah dan mana yang benar. Aduh, kalau saya jadi Kana mah sudah ngga betah, auto kabur cari lelaki lain, hehehe. Tapi, justru di sinilah keunikan keduanya. Pasangan zaman sekarang, adakah yang membicarakan tata bahasa Indonesia di sela-sela romantisme mereka?
Saya beri contoh bagaimana mereka berdialog, agar teman bloger tahu sedikit bagaimana gambaran Sabda dan Kana mengedukasi pembacanya tentang bahasa Indonesia.
‘Dari’ berbeda dengan ‘daripada’, seperti bedanya aku dengan mantanmu. Jika ‘dari’ menyatakan asal atau arah dari suatu tempat atau milik, ‘daripada’ menandai hubungan perbandingan
“Apa perbedaan dan sebagainya dengan dan lain-lain?”
Setelah menyeruput teh, Kana menjawab, “Dan sebagainya kita gunakan untuk memerinci benda yang sejenis (lantaran itu ada kata sebagai di dalamnya). Adapun dan lain-lain kita gunakan dalam memerinci benda yang tidak sejenis (karena itu ada kata “lain-lain” di dalamnya).” Dia berhenti sejenak. Menatap Sabda dan kembali berkata.
“Yang kurasakan setiap berjauhan denganmu adalah kehampaan, kekosongan, kesunyian, dan lain-lain. Kehampaan, kekosongan, kesunyian, adalah sesuatu yang berlainan. Yang terasa hampa belum tentu kosong. Tidak semua kosong selalu berasa sunyi. Boneka yang kusukai adalah boneka beruang, panda, kura-kura, buaya, dan sebagainya. Pada contoh ini, “dan sebagainya” mewakili boneka yang menyerupai binatang.”
Sabda mengacungkan jempol, “dahsyat!”
Begitulah bentuk percakapan mereka berdua sehari-hari. Saya banyak belajar dari novel ini. Bukan hanya bagaimana memakai sebuah kata dalam kalimat dengan benar dan sesuai, namun belajar memperjuangkan cinta sebagaimana Sabda memperjuangkan Kana, eaa. Bukan hanya tentang memperjuangkan apa yang kita cintai, namun juga “belajar menerima kritik dari orang lain.” Ketika kita merasa benar, seringkali telinga tertutup dari berbagai macam masukan dan kritik yang disampaikan oleh orang lain. Sabda dan Kana secara tidak langsung mengajarkan, bagaimana berlapang dada menerima kritik. Belajar menerima apa yang benar, lalu diterapkan.
Masih banyak lagi cerita yang disuguhkan dalam buku setebal 438 halaman ini. Namun saya menjamin, bahasa Indonesia terasa menyenangkan bersama Kana dan Sabda. Pasalnya, apa yang dibicarakan oleh keduanya adalah kata-kata yang sering kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, kita akan lebih mudah memahaminya. Tidak bosan, bahkan penasaran, bagaimana akhir kisah cinta Sabda dan Kana? Apakah pada akhirnya mereka akan bersatu? Atau terpaksa berpisah karena terhalang restu orangtua? Baca saja yuk bukunya!
Perempuan dan bahasa Indonesia adalah bineritas yang patut dicintai secara holistik. Cinta tidak sekadar diucapkan, tetapi dibuktikan. Kurang lebih, seperti itulah adagium yang ditawarkan oleh Khrisna.
Mengkampanyekan cinta bahasa Indonesia tidak cukup teriakan melengking setiap 28 Oktober, tetapi dituntut realisasi dalam konteks sosial, berupa sikap positif terhadap bahasa Indonesia dengan meluruskan kata yang selama ini keliru. Karya ini patut divisualisasikan sebagai pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang tidak lagi sebagai dua kutuh yang terpisah.
Jangan mengaku mahasiswa, alumni, pengajar, penggiat, dan pemerhati bahasa dan sastra Indonesia sebelum memiliki dan membaca buku ini. Buku ini wajib Anda miliki, bahkan sangat! –Andi Karman, akademisi
Kita, Kata, dan Cinta oleh Khrisna Pabichara
Cetakan Pertama, Maret 2019.
Penerbit Diva Press, Yogyakarta, 440 halaman.
5/5
Baca juga Guru Aini Review. Anak Miskin Dilarang Jadi Dokter!
[…] Baca Selengkapnya […]
Wah mba, saya baru tau ada novel yang memang fokus bertujuan menambah wawasan tentang bahasa Indonesia namun dibalut dengan romantisme yang apik. Selama ini orang-orang pasti berpikir, “lah kita kan baca buku aja itungannya udah termasuk belajar bahasa Indonesia yg baik?”, dan pas baca paragraf awal pun sempat terpikir seperti itu. Namun setelah baca sampai selesai saya seperti disadarkan, yg selama ini kita baca dan kita ketahui mungkin memang baik baik, tapi kan gak bisa dianggap benar juga ya. Seringkali kita baca buku hanya karena penasaran dengan isinya, gak ada pikiran untuk bisa mengenal kata atau struktur kalimat yg tepat sesuai dengan kaidah kebahasaan. Sepertinya saya harus baca buku ini juga deh segera😁 Makasih banyak atas reviewnya mba Jihan, salam kenal yaa!😍
Salam kenal mba Aql. Senang sekali bisa berbagi 🤗🤗
[…] Baca Juga Kita, Kata dan Cinta. Belajar Bahasa Indonesia lewat Novel […]
[…] Fiksi yang berlatar belakang sejarah ini membuat saya belajar kembali pada sejarah yang dulu hampir selalu membuat saya mengantuk di kelas. Kisah Biru Laut yang berjuang demi Indonesia yang lebih baik dikemas secara apik hingga saya meneteskan air mata berkali-kali. Saya membayangkan menjadi salah satu dari mereka-mereka yang telah hilang dan sudah berjuang, tapi perlahan terlupakan. Melalui novel ini saya mengingat kembali bagaimana peristiwa yang tidak saya mengerti itu (karena pada 1998 saya masih berusia delapan tahun) bisa menjadi titik balik wajah Indonesia yang baru. […]
[…] melewati ujian ini? Sanggup kah mereka menanggung malu ketika memulai kehidupan yang baru di tanah kelahiran masing-masing? Bisakah masyarakat memaafkan segala perbuatan mereka? Akankah mereka diampuni secara […]