Paulus Manek tidak pernah membayangkan harus berhenti sekolah pada 1994. Ada yang berubah pada tubuh kecilnya, dan membuat dia malu melanjutkan ke SMA. Sebenarnya dia mengalami kusta, tapi karena pemahaman yang keliru, masyarakat di sekitar tempat tinggal Manek menganggap apa yang terjadi sebagai kutukan. (cerita orang dengan kusta : voaindonesia)
Paulus Manek adalah salah satu orang dengan kusta yang mengalami saat usianya masih setingkat SMP. Mungkin karena setiap hari bertemu dengan orang yang tidak pernah berobat tetapi tidak kelihatan, sehingga saat Manek selesai sekolah, itu langsung pada level kusta yang cukup memprihatinkan.
Banyak orang yang tidak memahami bagaimana kusta itu ditularkan dan bisa sembuh. Kebanyakan penderita juga dipecat dari pekerjaannya, bahkan akses kesehatan pada kondisi tertentu tak bisa dijangkau dengan mudah. Padahal mereka juga manusia, mereka juga berkewarganegaraan Indonesia dengan hak yang sama.
Fenomena Orang dengan Kusta di Indonesia
Sebenarnya bukan hanya Manek, dilansir dari voaindonesia, di sekitar Kupang, NTT pun saat itu juga cukup banyak penderitanya. Saat itu banyak yang belum paham (atau bahkan hingga saat ini) bahwa kusta menular melalui kontak dekat dalam jangka panjang. Dari penelitian, pada setiap 100 orang yang berinteraksi dengan penderita kusta, 95 orang mampu melawan penularan dengan daya tahan tubuh yang baik. Sedangkan 3 orang tertular namun bisa sembuh sendiri dan 2 orang tertular lainnya membutuhkan pengobatan intensif.
Sebenarnya apa sih kusta itu?
Kusta atau lepra adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, serta saluran pernapasan. Kusta atau lepra dikenal juga dengan nama penyakit Hansen atau Morbus Hansen. Kusta atau lepra dapat ditandai dengan rasa lemah atau mati rasa di tungkai dan kaki. Kemudian diikuti timbulnya lesi pada kulit. Kusta atau lepra disebabkan oleh infeksi bakteri yang dapat menyebar melalui percikan ludah atau dahak yang keluar saat batuk atau bersin.
Kalau kita melihat orang dengan kusta pada level kronis, mereka selalu tampil dalam keadaan yang memang tidak sempurna. Apalagi karena memang penyakit mereka bisa menular melalui kontak dekat. Sehingga tak heran jika orang-orang punya stigma negatif pada orang dengan kusta. Padahal, kita tidak perlu bersikap eksklusif dan menganggap mereka tidak ada.
Mereka ada lho, jumlahnya banyak dan tentu saja membutuhkan banyak perhatian. Mulai dari akses kesehatan inklusif, edukasi untuk pencegahan bagi keluarga-keluarga penderita, dan masih banyak lagi. Jadi permasalahan stigma negatif masyarakat inilah yang menjadi salah satu fokus dalam diskusi kami pagi itu di ruang publik KBR.id bersama dengan Bapak Suwata (Dinas Kesehatan Kab Subang) dan Ardiansyah (Aktivis Kusta/ Ketua PerMaTa Bulukumba).
Menurut Bapak Suwata, orang dengan kusta ini termaginalkan di berbagai aspek, dan selama ini yang paling terlihat adalah di aspek pendidikan, pekerjaan, dan juga fasilitas umum. Aspek pendidikan, tentu saja penderita kusta seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan hingga bullying, sehingga banyak orang dengan kusta tidak bisa melanjutkan studinya sampai selesai.
Lalu pada aspek pekerjaan, ada banyak juga yang harus kehilangan pekerjaannya karena ia termasuk orang dengan kusta. Bahkan ada juga yang dipecat dari PNS karena ia mengidap kusta. Diskriminasi lah yang memupus harapan Muh Amin Rafi menjadi pegawai negeri sipil di Sulawesi Selatan.
“Saya sendiri dulu CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) yang dipecat tahun 1985 karena kusta. Saya sudah bekerja 3 tahun, belum prajabatan pas mau menjadi pegawai tetap, lalu dipecat,” kenang Amin.
Muh Amin Rafi adalah ketua Persatuan Kusta Perjuangan Sulawesi Selatan, di Makassar. Organisasi itu sendiri, berdiri tahun 2018 juga karena tindak diskriminasi. Ketika itu, layanan kesehatan menerapkan sistem rujukan yang menyulitkan bagi orang dengan kusta. Mereka menggelar demo untuk menuntut perbaikan sistem dan berhasil.
Gerakan itu kemudian dihidupkan sampai sekarang, khusus untuk melakukan advokasi hak-hak orang kusta. Salah satunya, belum lama ini ketika pekerja kusta diberhentikan oleh penyedia jasa layanan kebersihan, PKPSS memperjuangkan hak mereka untuk tetap bekerja. Dan masih banyak lagi orang-orang yang kehilangan akses pendidikan, pekerjaan, hingga fasilitas umum.
Diskusi Ruang Publik KBR : Optimalisasi Akses Kesehatan Inklusif Untuk Orang dengan Kusta
Dilansir dari KBR.id, kusta disebabkan bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini ada dimana-mana, bukan hanya bisa berkembang pada hewan tapi juga di dalam tubuh manusia, salah satunya hinggap di hidung atau jalur pernafasan. Bakteri ini ditularkan melalui udara atau pernafasan. Jika tinggal serumah dengan penderita kusta, kemungkinan tertularnya pun besar.
Meski begitu, menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, dr. Wiendra Waworuntu, M. Kes, penularan tak langsung terjadi. Bisa saja jika saat ini seseorang kontak dengan orang yang punya penyakit kusta, 2 sampai 3 tahun bahkan 10 tahun lagi penyakit ini baru muncul di tubuhnya.
Jadi, kita tidak akan tertular kusta hanya karena bersalaman, duduk bersebelahan, duduk bersama di meja makan, atau bahkan berhubungan seksual dengan penderita. Kusta juga tidak ditularkan dari ibu ke janin.
“Tak semua orang yang yang kontak dengan penderita kusta, serta merta akan terkena kusta, hanya 5 persen saja yang tertular. Misalnya,dari 100 orang yang kontak, 95 orang sehat, 5 orangnya kena. Dari 5 orang itu, 3 orang yang tertular bisa sembuh sendiri dengan gizi yang baik, dan dua lainnya sakit dan perlu pengobatan,” jelasnya.
Bakteri ini memerlukan waktu 6 bulan hingga 40 tahun untuk berkembang di dalam tubuh. Tanda dan gejala kusta bisa saja muncul 1 hingga 20 tahun setelah bakteri menginfeksi tubuh penderita. Bakteri ini tumbuh pesat pada bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin seperti tangan, wajah, kaki, dan lutut. Kalau terlambat diobati, akan menyebabkan cacat tubuh, seperti jari membengkok, luka, atau bahkan putus, mata tidak menutup dan kaki melemah.
Berangkat dari sinilah kemudian kusta menjadi momok menakutkan yang dihindari oleh semua orang. Termasuk orang dengan kusta yang kebanyakan mendapat perlakuan yang berbeda dan tidak menyenangkan dari masyarakat sekitarnya.
Menurut data Bappenas 2018 sekitar 21,8 juta atau 8,26 persen penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Di berbagai daerah, pasien kusta, penyandang disabilitas karena kusta maupun orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) sebagai bagian dari kelompok ragam disabilitas, seringkali masih menghadapi kesulitan dan tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang layak.
Padahal, sama seperti warga negara lainnya, penyandang disabilitas dijamin pemenuhan haknya oleh undang-undang. Salah satunya di sektor kesehatan dimana pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang disabilitas untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Untuk itu, penyelenggaraan program layanan kesehatan inklusif perlu diupayakan agar penyandang disabilitas termasuk pasien kusta memiliki derajat kesehatan yang optimal sehingga mampu menunjang produktifitas dan partisipasi mereka dalam bermasyarakat dan pembangunan. Pagi itu Bapak Suwata (dari Dinas Kesehatan Kab Subang) dan Ardiansyah (sebagai Aktivis Kusta/ Ketua PerMaTa Bulukumba) berbagi pengetahuannya dengan kami tentang bagaimana penanganan kusta di Indonesia serta apa yang dibutuhkan oleh mereka – orang dengan kusta ini – yang diwakili oleh mas Ardiansyah pada diskusi pagi itu.
Beruntung saat ini Pemerintah mulai memperhatikan hak pendidikan, pekerjaan serta fasum untuk orang dengan kusta. Dibuktikan dengan adanya peraturan Pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang hak penyandang disabilitas, termasuk orang dengan kusta di dalamnya. Untuk saat ini, prioritas Dinas Kesehatan dalam menangani kusta sudah cukup baik, yakni meliputi :
- Pencegahan Kecacatan
- Bagaimana bisa melakukan pemberdayaan
- Pengurangan stigma dan diskriminasi. Meskipun dalam aktualisasinya pelayanan disabilitas juga belum maksimal.
Masalah tentang disabilitas (terutama orang dengan kusta) ini juga sangat kompleks. Sehingga butuh kerjasama masyarakat dan stakeholder setempat. Pemerintah tidak bisa melakukannya sendirian 🙂
Meskipun saat ini Pemerintah juga sudah memberlakukan aturan untuk perekrutan tenaga kerja di perusahaan maupun instansi Pemerintah dengan menyertakan penyandang disabilitas minimal 2% ke dalamnya. Satu langkah nyata dari Pemerintah Indonesia yang saya juga turut bangga dengan keputusan tersebut.
Pengobatan Orang dengan Kusta
Berbicara soal pengobatan, Indonesia telah memberikan obat gratis untuk orang dengan kusta di berbagai puskesmas sesuai dengan daerah domisili. Untuk pengobatan, penderita kusta harus diberi kombinasi antibiotik selama 6 bulan hingga 2 tahun. Jenis, dosis, dan durasi penggunaan antibiotik ditentukan berdasarkan jenis kusta.
Bisa saja dilakukan pembedahan, sebagai proses lanjutan setelah pengobatan antibiotik, agar bisa menormalkan fungsi saraf yang rusak, memperbaiki bentuk tubuh penderita yang rusak dan mengembalikan fungsi anggota tubuh. Oleh karena itu untuk mengurangi banyaknya penderita kusta, pemerintah dan masyarakat harus aktif mendeteksi penderita kusta dan mengobatinya, dan turut serta meluruskan stigma dan mencegah diskriminasi terhadap penderita.
Selain itu, penularan ini pun bisa saja terjadi, karena si penderita kusta tak menyadari kalau ia menderita kusta, hingga tanpa disadari ia menyebarkannya ke orang lain.
“Sampai sekarang kusta belum ada vaksinnya. Obatnya hanya MDT (Multydrug teraphy). Obat ini bisa ditemukan di puskesmas dan gratis. Semua petugas puskesmas sudah dilatih untuk mengobati penyakit kusta. Kusta harus diobati selama 6-12 bulan,” – dr.Wiendra
Namun, meski dinyatakan sembuh, kata Wiendra, paling tidak 2 hingga 5 tahun masih dalam pengawasan petugas. Karena selama masa itu masih ada reaksi dari kusta. Hal ini tetap harus diobati meski bukan dengan pengobatan kusta. Untuk menghindari kusta, Wiendra menyarankan, memeriksakan diri secara teratur untuk mengetahui secara dini penyakit kusta. Mengkonsumsi makanan bergizi, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, serta olahraga yang teratur juga bisa menghindari penyakit kulit ini.
Selain itu, diperlukan juga penanganan dengan cepat dan menemukan penderita sedini mungkin, baik itu ditemukan oleh petugas kesehatan atau dari keluarga sendiri.
Jangan pernah percaya mitos kusta ini dan itu, yang paling aman ya kita berkonsultasi dengan ahlinya.
Bangkit dari Stigma dan Peran Masyarakat di Dalamnya
Butuh waktu enam tahun bagi Paulus Manek (orang dengan kusta yang terpaksa putus sekolah) untuk bangkit dari rasa malu akibat diskriminasi di tengah masyarakat. Sebuah lembaga bernama The Leprosy Mission International, mendampingi Manek untuk sembuh.
Pada tahun 2000, Manek memutuskan kembali bersekolah di tingkat SMA. Setelah selesai, seorang pastor di Kupang membiayai kuliahnya sampai lulus. Karena perjalanan hidupnya itulah, Manek kini mengabdikan diri sebagai Ketua Umum Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata) yang memiliki 3.816 anggota di NTT, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Maluku.
Begitu juga dengan Amin, orang dengan kusta yang saya sudah ceritakan di atas. Amin sendiri sudah sembuh dari kusta dan menikah selama 30 tahun, dengan enam anak dan tujuh cucu. Baik istri, anak maupun cucunya tidak ada yang tertular kusta. Seseorang yang sudah sembuh memang tidak beresiko menularkan.
“Memang dia penyakit menular. Saya sudah lama sembuh, cuma memang dampaknya karena meninggalkan cacat, jadi persepsi orang seolah kami tidak pernah sembuh.”
Stigma inilah yang harus kita jelaskan pada masyarakat. Agar mereka paham bahwa kusta bisa diobati, bisa sembuh dan tidak semestinya orang dengan kusta dijauhi bahkan dikucilkan. Menurut mas Ardiansyah dalam diskusi ruang publik KBR, stigma ini adalah warisan dari orang-orang terdahulu yang masih belum memahami dan belum menerima edukasi tentang kusta. Oleh karena itu tugas kitalah, sebagai orang yang sehat, saya sebagai blogger, atau teman-teman sebagai apapun di mata masyarakat memberikan edukasi perihal orang dengan kusta ini.
Penguatan literasi soal orang dengan kusta untuk generasi muda di sekolah-sekolah dan juga universitas-universitas menjadi hal yang sangat penting agar tidak ada lagi warisan pemahaman yang salah sebagaimana yang telah terjadi pada orang dengan kusta saat ini.
Semoga bermanfaat ya 🙂
Referensi pendukung :
voaindonesia
Bermanfaat banget nih, artikelnya lengkap. Ternyata bersentuhan langsung dengan penyandang kusta enggak otomatis tertular, ya.
Stigma masyarakat terhadap OYMPK ini yang harus kita luruskan ya. Memang bener sih masyarakat itu menganggap nya kusta ini penyakit yang menakutkan. Jadi udah ilang feeling duluan
Padahal seperti covid-19 dengan menjaga kebersihan dan teratur berobat ke puskesmas, Insyaallah bisa sembuh ya
ya allah sedih banget dipecat jadi PNS gara2 kusta. Yang terpenting tetap makan makanan bergizi ya biar imun kuat dan tidak tertular.
Stigma ini muncul mungkin karena dari generasi sebelumnya sudah timbul mitos atau persepsi yang salah, kemudian semakin berkembang hingga sekarang yg stigma negatif masih ada. Semoga generasi sekarang bisa meredakan atau menghilangkan stigma tentang kusta
aku malah baru tahu klo stigmanya sampai separah itu, mungkin karena orang-orang tidak tahu jadi malah takut berlebihan n mengucilkan penderita kusta ya. Selain edukasi tentang masalah ini orang juga perlu tahu ni bagaimana biar tetap aman berinteraksi dengan OYPMK
Memang stigma-stigma seperti ini memang perlu diedukasi apalagi untuk masyarakat yang memiliki lingkungan dengan situasi seperti ini. Menarik kak.
Dengan penjelasan seperti ini, aku kira banyak masyarakat yang awam dengan penyakit kusta (termasuk saya) jadi lebih paham ya.. dan semoga lapangan pekerjaan pun selalu ada untuk mereka tanpa memandang kekurangannya.
Semoga dengan makin gencarnya edukasi tentang kusta seperti yang dilakukan KBR ini bisa menghilangkan diskriminasi terhadap penderita kusta dan penyandang disabilitas lain. Mereka juga berhak untuk bekerja di ruang publik seperti yang lain.
Miris banget, masih ada aja stigma negatif terhadap penderita kusta. Harus lebih banyak lagi edukasi soal penyakit kusta, seperti yang gencar dilakukan oleh KBR dan NLR Indonesia.
Semoga dengan edukasi seperti ini, bisa menambah wawasan kepada masyarakat soal penyakit kusta, sehingga bisa merangkul para penyintas kusta ini. Nggak hanya itu aja ya, penyintas kusta juga bisa berkarya di tengah masyarakat. Makasih atas sharingnya.
Semoga semakin banyak komunitas yg menyuarakan tentang penyakit kusta ini ya, agar makin banyak org yang peduli dan tidak mengucilkan penderita kusta.
Sedih sih kalau baca-baca stigma masayarakat tentang kusta
Banyak yang risih dan menghindar. Bahkan ada yang bilang ini penyakit kutukan
Gak ada orang mau sakit. Tapi saat ada yang sakit, tugas kita adalah memberi dukungan terbaik. Apalagi kalau kena kusta, justru harus dirangkul layaknya kita bersikap sebagai sesama manusia
Betul, Mba tidak seharusnya penyandang kusta dikucilkan. Walau kusta bisa menular, tetapi kan bisa disembuhkan dan penularannya juga tidak masiv. Sosialisasi berkelanjutan di masyarakat harus ditingkatkan agar tidak ada lagi diskriminasi.
semoga dengan edukasi seperti ini, orang jadi lebih tahu banyak ya tentang penyakit kusta ini bahwa tidak menimbulkan risiko penularan jika pasien telah sembuh dari kusta itu ya Mbak.
bukannya malah dijauhi tapi harus selalu didukung lho ya.
Ternyata untuk pengobatan kusta itu mulai dari 6 bulan-2 tahun, cukup panjang juga ya, mirip kaya flek paru yang pengobatannya lama. Kalau untuk kronis efeknya bisa berpengaruh ke fisik, ini yang bikin diskriminasi. Bener Kak pemerintah nggak bisa kerja sendiri, kita jg bisa turut bantu dengan jgn ekslusif dan terus membagikan secara literasi ini
mari kita jaga kesehatan dan kebersihan badan agar selalu terhidnar dari segala penyakit, termasuk penyakit kusta ini ya mba Jihan, dan semoga yang terkena penyakit ini sekarang dapat segera disembuhkan, aamiin
tanpa ilmu dan pemahaman yang baik, udah sekali kita nge-judge orang ya mbak.
Nggak hanya soal kusta, tapi juga hal-hal lain, misalnya kesehatan mental orang2 yang saat ini sedang marak dibicaraka
Penyakit kusta ini kebanyakan masyarakat menilai buruk dan menganggap itu harus dihindari, ikut prihatin sama yang tbtb dijauhi dan akhirnya dipecat sama pekerjaan :”(
Harus benar benar adanya edukasi dulu, sebelum berkomentar
Penyakit kusta di Indonesia saya kira sdh gak ada mba, ternyata masih ada ya. Nah ini stigma negatif hrs diluruskan ttg org yg pernah sakit kusta. Butuh edukasi dan sosialisasi ya untuk masyarakat agar melihat jernih ke orang yang pernah mengidap kusta dan dinyatakan sembuh.
Semakin tercerahkan setelah bac artikel ini mba, tapi serius selama ini saya pikir penyakit kusta bisa menular melalui salaman. Duh, jadi sedih saya punya stigma negatif thdp mereka yg pengidap itu
ku pikir penyakit kusta ini sudah tidak ada. Sedih banget ketika mendengar kalau masih ada penderita kusta di Indonesia. Semoga pemerintah bisa segera memberantas kusta di negri tercinta ini..
Rasanya Kusta bukan hanya masalah kesehatan masyarakat yang terpinggirkan. Nyatanya ada salah satu Rumah Sakit Kulit di daerah Tangerang yang difokuskan untuk penanganan Kusta. Bahkan sampai ada kampung kusta yang nggak jauh dari sana.
Sayangnya stigma di masyarakat terlanjur mengakar sehingga butuh waktu panjang untuk mengedukasi khalayak mengenai lepra, kusta, alias Morbus Hansen ini ya Kak.
stigma negatif ini jadi penghalang untuk penyintas bisa berdaya. harus diketahui kalau ini bisa sembuh dan normal seperti sedia kala
Sedih sekali melihat kenyataan yang terjadi pada penderita kusta ini yaaaa.. huhu. Semoga setelah ini semakin banyak instansi yang bis alebih oaham dan peduli dengan penderita kusta ya..
Waduuu kasiannya. Udahlah sakit bukannya bersimpati malah menjauhi. Memang masyarakat perlu diedukasi dan belajar berempatii deh.
stigma seperti ini harus bisa di kurangi agar tidak salah kaprah lagi tentang penyakit kulit
Sedih banget ya baca pengalaman orang yang terpaksa disingkirkan gara-gara mengidap penyakit kusta ini. Padahal sebenarnya masih bisa disembuhkan.
Stigma ini emang udah dari zaman dulu. Sekarang harus diluruskan bahwa orang yang sudah sembuh dari kusta ya udah nggak bisa menularkan lagi. Sayang aja sih kalau sampai harus disisihkan, tau lah perasaan mereka yang pernah jadi pejuang kusta gimana.. hiks
Penyandang kusta itu ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah badan sakit, bahkan kalau parah bisa berakibat kelumpuhan, eh malah banyak dikucilkan, diabatasi aksesnya dalam pendidikan, kesehatan maupun pekerjaan.
Emang penting banget meluruskan stigma negatif masyarakat terhadap penyandang kusta
Edukasi seperti ini sangat penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa orang dengan kusta bukanlah “pengganggu” di lingkungan
Mereka punya hak yang sama dalam bersosialisasi dan memperoleh pekerjaan yang layak
Dsri dulu emang kalau ada yang sakit kista tuh, bawaannya langsung heboh ya kak. Padahal kan mereka juga gak mau kena penyakit ini. Bukannya dibantu malah dikucilkan. Kasian bnget
Banyak sekali cerita sedih dengan penderita kusta. Ini akibat pengetahuan yang kurang sehingga stigma itu dikasihkan ke penderita lepra. Padahal lepra itu bisa disembuhkan dan bukan penyakit kutukan. Ya, biasanya orang bilang yang kena itu kena kutukan. Dengan penanganan yang bagus juga bisa disembuhkan. Semoga semakin banyak edukasi tentang hal ini sehingga kusta pun bisa dikurangi.
Kebanyakan penderita kusta berakhir jadi pengemis karena “hukuman” masyarakat yang tidak manusiawi. Ini dikarenakan tidak adanya edukasi tentang penyakit kusta. Bagus sekali ada kegiatan ini, semoga makin banyak masyarakat yang tercerahkan.
kusta atau lepra ini termasu penyakit purbakala, alias udah lama ada ya di bumi ini ya mbak. kita harus memperbanyak edukasi supaya lebih banyak penderita yg segera mengobati dirinya dan tidak menulari orang lain nih.
Penyandang disabilitas, apapun bentuknya, termasuk penyandang kusta atau penyintasnya, masih kurang disambut di negara kita. Mereka terkungkung stigma-stigma negatif di masyarakat hanya karena cerita masa lalu tentang kusta yang merupakan penyakit menular. Sosialisasi dan edukasi seperti yang digelar KBR ini penting banget mba.
Penyintas kusta yang terlambat ditangani akan menderita disabilitas yang langsung jadi cap “pernah kusta” dan masih saja ada orang yang salah persepsi tentang ini. Dikira sangat menular, padahal tidak semenular itu.
Literasi tentang kusta ini, semoga banyak dibaca oleh masyarakat luas