Ada satu kisah yang menyentuh hati saya, apalagi di situasi pandemi yang serba sulit seperti ini. Kisah tersebut berjudul Sang Budak dan Anjing. Kisah yang punya pesan moral dan mengingatkan pada kita semua untuk tidak egois, memiliki empati yang tinggi, dan tentu saja saling menyayangi sesama makhluk. Berikut cerita lengkapnya :

Sang Budak dan Anjing

anjing hadis tentang empati dan berbagi

unsplash.com/@enginakyurt

Musim paceklik membuat tanah Madinah semakin tandus saat itu. Sumur-sumur penduduk kering, kebun-kebun kurma pun banyak yang tidak terairi dengan baik.

Abdullah bin Ja’far, salah satu sahabat Rasulullaah Shallallahu alaihi wa sallam yang kaya raya saat itu tengah berjalan-jalan untuk melihat kebun-kebunnya.

Lalu beliau singgah di sebuah kebun milik suatu kaum.

“Assalamualaikum,” sapa beliau pada seorang budak hitam yang tengah bekerja di kebun milik tuannya.

“Waalaikumsalam warahmatullah, anda mencari tuan saya?” sapa budak hitam tersebut ramah sambil mempersilahkan Abdullah bin Ja’far untuk masuk.

“Tidak, tidak.. Saya hanya berkeliling kesini. Apa kau sudah makan siang?” tanya Abdullah bin Ja’far khawatir, karena melihat budak tersebut seperti kelelahan.

“Belum tuan, setelah ini saya akan memakan roti jatah saya,” jawab budak tersebut sambil tersenyum.

“Boleh saya duduk sebentar disini?” Abdullah bin Ja’far meminta izin untuk duduk sebentar beristirahat.

“Silahkan tuan.. ”

Tak lama budak tersebut membereskan alat-alat berkebunnya. Tak jauh dari tempat duduk Abdullah bin Ja’far, tiba-tiba seekor anjing masuk ke dalam kebun. Anjing tersebut mendekat pada budak hitam. Kemudian dia mengambilkan sepotong roti dari kantung bajunya, diberikanlah potongan roti itu pada anjing yang baru datang tersebut. Tak lama kemudian roti langsung dilahap oleh si anjing.

Kemudian budak itu melempar potongan keduanya, dan si anjing melahapnya. Kemudian budak itu melempar potongan roti terakhirnya, maka anjing itu pun memakannya. Sementara Ibnu Ja’far mengamatinya.

Penasaran dengan apa yang dilakukan oleh budak pada anjing, maka Ibnu Ja’far pun berdiri dan berjalan menghampirinya bersama anjing yang telah diberinya makan tadi.

“Hei fulan, berapa banyak jatah makanmu dalam sehari?” tanya Ibnu Ja’far pada sang budak.

“Seperti yang kau lihat tuan” jawabnya sambil tersenyum lebar.

 

“Lalu mengapa kau memberikan semuanya pada anjing itu?” Ibnu Ja’far gemas. Jatah makannya hanyalah sebuah roti, itulah satu-satunya yang dia miliki agar dia bisa kenyang, tapi kenapa dia berikan semua untuk anjingnya?

“Daerah ini bukan daerah anjing, seperti yang tuan tahu. Tidak biasanya anjing masuk kemari. Anjing ini pasti datang dari jauh, dan dia kelaparan, maka aku tidak ingin menolaknya”

“Lalu apa yang kau lakukan?” tanya Ibnu Ja’far.

“Menahan lapar hari ini.” Jawab sang budak sambil berlalu pergi meninggalkan Ibnu Ja’far.

Ibnu Ja’far berkata pada dirinya sendiri,

Aku disalahkan karena banyak memberi. Hartaku selalu kubagi-bagikan pada orang yang membutuhkan. Tapi semua itu tidak ada artinya dibandingkan budak tadi. Dia jauh lebih murah hati daripada diriku. Dia memberikan semua harta miliknya meskipun hanya sebuah roti untuk anjing yang kelaparan.

Tak lama, Ibnu Ja’far pun beranjak menemui tuan dari budak tersebut.

Ibnu Ja’far langsung membeli kebun itu dan seisinya, juga kemudian membebaskan budak hitam tersebut, memerdekakannya.

Kemudian Ibnu Ja’far pergi menemui budak hitam yang murah hati.

“Kebun tadi semua menjadi milikmu dan kau merdeka sekarang” kata Ibnu Ja’far begitu bertemu dengan budak tersebut.

“Ini hadiah untukmu dari Allaah. Karena sifat murah hati dan keikhlasanmu. Seperti yang kau tau, tidak ada yang gratis di dunia ini, pasti Allaah akan balas dengan kebaikan yang berlipat,” ucap Ibnu Ja’far kemudian merangkul budak yang sudah merdeka tadi.

 

Derajat tertinggi dari kemurahan hati adalah mendahulukan orang lain, atau makhluk lain, yaitu engkau memberikan hartamu sekalipun engkau membutuhkannya.

 

Allah memuji para sahabat Rasulullah dengan akhlak ini.

Allah berfirman :

(وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)

[Surat Al-Hashr 9]

Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Orang berbuat baik itu ibarat sedang menggali sumur. Suatu saat dia akan mendapat balasannya.

Kisah tersebut di atas berasal dari sebuah hadis panjang, kemudian disarikan agar bisa diambil hikmah darinya. Sebagai pelajaran moral bahwa sesulit apapun kondisi kita, apalagi di tengah pandemi seperti ini, jangan pernah kehilangan rasa kemanusiaan.

Kisah diilustrasikan dari seruan ayat dan hadist tentang keutamaan mendahulukan orang lain dari Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin.

Wallahu a’lam.

Baca juga : Hadis Dua- Iman, Islam, dan Ihsan