BAB 1
Membangun Kembali Harapan
Life offers you a bazillion chances. All you have to do is take one. – Anonim.
“Ayo Ning berangkat, keburu telat!” Seorang anak lelaki kurus tergopoh-gopoh membawa tas sekolahnya yang sudah usang. Warna yang seharusnya biru tua menjadi lebih gelap lagi, entah bisa disebut biru tua atau hitam. Wanita yang dipanggil kakak masih santai melahap kue yang ada di tangan kanannya. Kue cucur buatan Emak yang selalu dilahapnya sebelum keluar rumah. Dia hanya melirik sekilas adiknya yang sudah selesai mengenakan sepatu yang sudah kesempitan. Barangkali jempol kakinya bisa keluar sewaktu-waktu jika sepatunya jebol.
“Ih nanti saja makannya!” Seru bocah itu kemudian sambil merampas kue yang ada di tangan kakaknya. Kontan sang kakak melotot, mengejar sang adik yang sudah berlari terlebih dahulu dengan seragam merah putih yang kedodoran.
“Maak, kami berangkat dulu!” Seru sang kakak sambil terburu-buru meraih tasnya yang kebesaran. Wanita paruh baya yang dipanggil Emak itu hanya tersenyum memandangi kedua anaknya yang akan berangkat sekolah.
Matahari masih belum terlihat, warna langit masih gelap meskipun ada sedikit sinar rembulan yang menerangi jalan setapak yang ditumbuhi tanaman beluntas dan semak belukar. Meskipun hari masih gelap, namun sudah banyak orang berlalu lalang menunaikan urusannya masing-masing. Ada yang berangkat ke sawah, ladang, ada juga yang baru pulang dari masjid. Anak-anak sekolah juga banyak yang tengah berjalan kaki sambil terkantuk-kantuk. Hari masih sangat pagi untuk memulai pelajaran di sekolah. Namun mereka harus berangkat subuh hari jika tak mau ketinggalan kereta. Desa terpencil mereka tidak punya sekolah terdekat. Jika ingin sekolah maka harus pergi ke kota yang jaraknya kurang lebih satu jam ditempuh dengan kereta. Begitu juga dengan Ruqoyah dan Taufiq yang harus berangkat usai Subuh untuk bersekolah di kota.
Mereka selalu bersemangat ketika diberi kesempatan untuk bersekolah di kota. Tidak ada hal yang membahagiakan selain diperintah oleh Emak dan Bapak untuk belajar. Meskipun jarak sekolah dan desa mereka berjauhan, namun tak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu setiap hari tanpa kenal lelah. Jarak tak ada artinya dibanding kehilangan kesempatan untuk bersekolah. Desa Sumobito, tempat dilahirkannya Taufiq kecil di sebuah keluarga yang berkecukupan. Sumobito adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Indonesia. Terletak di bagian tengah-timur Kabupaten Jombang, berbatasan pula dengan wilayah Kabupaten Mojokerto. Desa Menturo, merupakan tempat kelahiran Emha Ainun Nadjib (Cak Nun); dan setiap malam bulan purnama di rumah tempat kelahiran Cak Nun diadakan pengajian Padang Mbulan, yang sering dihadiri langsung oleh Cak Nun.
Taufiq dilahirkan di tengah keluarga Camat yang memiliki banyak tanah untuk digarap. Artinya hidupnya berkecukupan. Bapaknya seorang anak Camat yang sukses di zamannya. Seorang camat di zaman itu juga punya kedudukan yang terhormat di mata masyarakat. Tidak seperti sekarang yang bahkan kita tidak tahu siapa nama Camat kita? Meskipun begitu, Taufiq kecil lahir dan dibesarkan dengan gaya hidup yang sangat sederhana. Jauh dari kata dimanjakan meskipun Bapaknya punya banyak harta. Bahkan untuk ke sekolah pun dia harus berangkat berjalan kaki ke stasiun dan menempuh kurang lebih dua jam perjalanan setiap harinya. Namun siapa sangka hari ini adalah hari terakhirnya naik kereta bersama kakaknya menuju sekolah.
“Ning! Keretanya datang!” Seru Taufiq kecil pada kakak perempuannya sembari berlari-larian mengejar pintu kereta paling depan. Ruqoyah hanya melenggang santai melihat adiknya yang sibuk berlari-larian tanpa memedulikan kakaknya.
“Dasar. Kan nanti juga berhenti, kenapa harus lari-lari.” Gerutu sang Kakak.
NEEETT!! NEEETT!! Bunyi klakson kereta yang memekakkan telinga menandakan kereta akan segera berhenti. Orang-orang sudah ramai bergerombol di tempat pemberhentian. Berusaha menjadi yang pertama masuk agar bisa duduk. Taufiq melambai-lambaikan tangannya mengisyaratkan agar kakaknya segera berlari. Namun Ruqoyah tidak menghiraukan adik kecilnya itu. Toh nanti berdiri juga kalau kereta penuh. Kita kan masih anak-anak, harus mengalah pada yang lebih tua. Batin Ruqoyah.
Bikin penasaran . Apa yg akan terjadi pada ruqoyah
Hehe tunggu lanjutannya besok ya Bu 😁
Ternyata…to be continued…hihihi
Hehehe iyaa mba, tugasnya disuruh upload per episode 😅
Ruqoyah ga apa2 kan bng jihan jangan diapa2in ruqoyahnyaa ya mbakk😢😢😢
engga mba Reeeee. cuzz ke part 2 nya mba. hihi makasih mba Reee
Tulisannya enak sekali di baca, mengalir lancar….semoga aku bisa kayak gini ya
Tulisannya enak sekali di baca…mengalir lancar, semoga aku bisa kayak gini….
Lanjut, Maak😉 keren
😍
Menanti lanjutannya. Selalu keren tulisannya.
tersipu malu kalau dipuji sama Mba PJ. Krisannya ya mbaaaaaaaa. Lope uuu pull >.<
Semangat kak, lanjutlah 😁
siaap udah ada lanjutannya mba hari ini udah mengudara
Ditunggu lanjutannya
Wah..Ruqoyah ketinggalan kereta ya?
[…] Kisah sebelumnya : Narasi Sang Gurunda (Prolog) […]
Ruqoyah jangan jangan ketinggalan kereta…
ehehe engga mba. sudah update lanjutannya di sebelah >.<
[…] Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog) […]
[…] Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog) […]
[…] Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog) […]
[…] Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog) […]
[…] Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog) […]
[…] Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog) […]
[…] Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog) […]
[…] Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog) […]