Berdamai dengan diri sendiri adalah satu hal yang sebenarnya sulit saya terapkan. Karena seringkali ketika permasalahan datang, tidak henti-hentinya saya seperti menyalahkan diri sendiri. Lalu gusar dan terbebani hingga masalah selesai. Seperti pada kejadian yang saya alami beberapa waktu lalu.

berdamai dengan diri sendiri

pict from freepik

“Yah mbak ternyata KTI (Karya Tulis Ilmiah) nya cuma ada 4 point di kertas itu.”

“Yah Buuuu, gimana nih? Saya dah tlanjur bikin sesuai dengan spesialisasi saya.” aku mulai gusar dengan pemberitahuan yang sangat mendadak.

“Yaudah mbak, gakpapa ya, mudah-mudahan segera ada klarifikasi.” atasanku mencoba menenangkanku.

“Yaudah Bu, alamat cuman dilewatin aja ini sih, pesimis saya.”

Sad.

Minggu lalu aku baru saja menyelesaikan rancangan Karya Tulis Ilmiah Lomba Penyuluh Teladan tingkat Provinsi. Mewakili kotaku untuk maju dan hanya diberi waktu dua minggu dalam perancangan KTI. Mulanya, technical meeting membolehkan tema apa saja asal sesuai spesialisasi. Aku yang sudah satu tahun lebih menjalankan tugas pada bidang spesialisasi narkoba mencoba untuk ikut dalam lomba tingkat kota. Alhamdulillah segala puji bagi Allah, tak disangka aku pun menang dan harus maju mewakili kota untuk lomba tingkat Provinsi.

Atasan dan pembimbing naskah karya tulisku mulai menyuruhku untuk merapikan berkas-berkas yang harus dikirim ke Provinsi sebelum tanggal 14 Mei kemarin. Setelah berkas dikirim oleh kantorku, tiba-tiba ada pengumuman tertulis yang masuk lewat email atasanku bahwa lomba tingkat provinsi tidak mengambil dua spesialisasi yang ada, termasuk narkoba. Belum ada klarifikasi sampai sekarang. Entah bagaimana panitia lomba mengumumkan begitu mendadak dan sampai pada kami setelah berkas-berkas sudah terkirim. Entah bagaimana panitia mempertanggungjawabkan hal-hal yang tidak sesuai dengan technical meeting yang mereka gelar sendiri dulu.

Aku kecewa, sedih, marah, merasa perjuanganku sia-sia. Seolah-olah video testimoni yang kugarap siang malam, juga berkas portofolio yang kukumpulkan satu tahun terakhir, melayang pergi tanpa hasil. Sampai sekarang pun tidak ada konfirmasi dari panitia provinsi. Hingga akhirnya aku merasa harus legowo.

Legowo karena jerih payah keringatku siang malam mulai A sampai Z diluar tugas kantor, juga biaya yang harus kukeluarkan sendiri harus melayang tanpa hasil yang tak tentu. Entah diterima atau tidak. Lebih banyak ditolaknya lah ya, kan tidak sesuai spesialisasi. Ingin rasanya menangis dan protes pada kantor wilayah, tapi siapakah aku? Lagi-lagi harus ikhlas dan pasrah. Menerima takdir. Berdamai dengan diri sendiri. Mencoba menelan kekecewaan yang terasa ngilu setelah melalui banyak peristiwa saat pengumpulan berkas dan pembuatan video.

Yah, mungkin Allah belum mengizinkan aku untuk memenangkan lomba ini. Mungkin Allah sedang mempersiapkan rencana lain yang lebih indah.

“Tak masalah Han, kau tetap punya manfaat bagi banyak orang disini. Jika karyamu tidak terseleksi karena kesalahan teknis, mungkin kau bisa memaksimalkan inovasimu di kota ini.” hiburku dalam hati.

Yaah, tidak semua keinginan kita terpenuhi. Tidak semua kompetisi bisa kita menangkan. Aku harus belajar gagal seperti saat aku pernah gagal dalam perkuliahan genetika dulu. Meskipun luka, tapi aku harus bangkit untuk sembuh.

Perjuangan tidak berhenti disini ketika aku gagal. Masih ada batu-batu lain yang siap menyandung langkahku, maka aku harus lebih tegak lagi, lebih kuat lagi.

Mungkin yang kualami belakangan hanya masalah sepele dibandingkan kegagalanku sebagai seorang istri empat tahun lalu. Kegagalan mempertahankan rahim yang akhirnya harus dibedah dan dilakukan histeroktomi. Tapi nyatanya aku bisa bangkit hingga sekarang. Lalu kenapa masalah seperti ini saja bisa membuatku lemah dan pesimis? Ah, manusia memang suka luput untuk bersyukur. Masih banyak persoalan-persoalan lain yang menimpa orang lain di luar sana, yang lebih berat.

Secara tidak langsung aku dikuatkan oleh sakitnya Paklek bulan kemarin, lagi-lagi aku diingatkan untuk bersyukur atas nikmat sehat. Aku diingatkan oleh tetanggaku yang terpaksa menjual segala harta benda termasuk rumahnya beberapa minggu lalu karena terlilit hutang. Maka aku harusnya bersyukur karena telah diberi hidup yang lapang. Aku diingatkan oleh anak penjual genjer yang membantu ibunya berjualan meskipun hujan membasahi tubuh kecilnya. Semua kejadian di sekitarku seolah mengajarkanku untuk bersabar ketika gagal dan bersyukur ketika lapang. Seakan hal yang menimpaku akhir-akhir ini bukanlah hal besar yang layak untuk ditangisi dan dirutuki sepanjang waktu.

Gagal itu hal wajar dan setiap orang pasti pernah gagal.

Mungkin karyamu cukup dinikmati di tingkat Kota saja, Han. Bangkitlah, izinkan kau memaafkan diri sendiri, merelakan karyamu terlewati.

Yah, satu-satunya jalan agar hati terasa lapang adalah dengan cara berdamai dengan diri sendiri. Lalu menyerahkan segalanya pada Allah.

Karena penilaian terpenting adalah penilaian dari Allah, bukan dari mata manusia. Inilah yang mengingatkanku, sekaligus menguatkanku untuk lebih dekat lagi pada Allah. Kembali pada Allah setelah selesai segala urusan yang telah kuusahakan.
“Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”. (QS. Al Insyirah: 7).