Kisah sebelumnya : Pesan Mbah Isom
Part 10
Terik matahari masih juga belum mau berkurang. Panas yang berpendar ke permukaan bumi khususnya di tanah Majapahit ini semakin garang saja. Jika tidak ada pepohonan entah panasnya akan seperti apa. Mungkin telur yang diletakkan di jalanan aspal akan matang dengan sendirinya. Namun Taufiq sudah terbiasa melalui itu semua. Bahkan untuk pergi membantu Emaknya membeli bahan-bahan kue yang letaknya enam kilometer dari rumah, ia sudah terbiasa. Sekembalinya dari toko bahan kue, ia segera membersihkan diri. Jika sudah seperti itu maka tak lama lagi azan Ashar akan berkumandang. Tugas selanjutnya yaitu mengajari anak-anak untuk mengaji di langgar musholla Mbah Isom.
Emak sudah semakin senja usianya, pun begitu dengan Bapak. Dulu Bapak akan sigap berbelanja segala kebutuhan yang diperlukan Emak untuk menjual kue di pagi hari. Namun sekarang, Bapak tidak lagi bisa melakukan itu. Maka tugas itu berpindah ke Hud, Ning Ruqoyah, Taufiq atau bisa juga ke adik-adiknya. Meskipun Emak bilang tak mau merepotkan, namun anak-anaknya peka terhadap apa yang tengah terjadi di keluarganya. Seseorang harus segera mengambil alih tugas Bapak.
Kini celengan ayam Taufiq sudah penuh. Isinya siap dibawa kapan saja. Taufiq juga sudah mempersiapkan bekal apa saja yang harus ia persiapkan untuk pendaftaran universitas. Waktu berlalu sangat cepat, Taufiq selalu istikamah melaksanakan apa yang dinasihatkan Emak, Bapak dan Mbah Isom. Tak pernah alpa mengaji dan juga salat malam setiap harinya. Ia semakin mantap untuk terus melanjutkan sekolah. Emak dan Bapak pun merestui. Taufiq satu-satunya anak yang punya keinginan kuat untuk melanjutkan sekolah ke universitas. Kedua kakaknya sudah bekerja, juga sudah menikah. Masing-masing sudah punya penghasilan dan kehidupan masing-masing. Emak lebih ringan bebannya. Taufiq pun tidak ingin membebani Emak dengan biaya kuliah dan semacamnya, ia bertekad akan membiayai sendiri uang kuliahnya nanti. Bagaimana pun caranya, asal halal.
Saat menunggu anak-anak berkumpul di langgar musholla, Taufiq dan Bashori membersihkan karpet yang baunya sudah apek.
“Kau jadi lanjut ke Malang Fiq?” Tanya Bashori di sela-sela kesibukan mereka. Taufiq mengangguk mantap.
“Kau? Jadi di Surabaya?” Kali ini Bashori yang mengangguk atas pertanyaan Taufiq. Mereka berdua memang sama-sama punya keinginan kuat untuk melanjutkan kuliah. Selama ini juga mereka banyak belajar bersama agar nilai mereka bisa diterima oleh Universitas. Taufiq ingin melanjutkan ke IAIN Malang, sedangkan Bashori ke IAIN Surabaya. Keduanya sama-sama ber-azzam agar keinginannya tercapai. Merubah kehidupan dengan cahaya ilmu seperti yang dinasihatkan oleh guru-guru mereka.
Emak dan Bapak merestui Taufiq, berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan anaknya. Satu-satunya anak yang tak tergoda dengan kilau rupiah semasa sekolah kecuali untuk ilmu. Bahkan ia rela tak ikut rekreasi akhir tahun di sekolahnya, baik itu SD, SMP hingga SMA. Taufiq tidak pernah ikut bersama teman-teman sekelasnya untuk merayakan kelulusan. Selain karena tidak punya uang, Taufiq juga punya misi sendiri. Lebih baik uangnya ia tabung untuk memenuhi celengan ayamnya. Karena ia pasti akan sangat membutuhkan banyak uang ketika masuk universitas nanti.
Bapak menjual sepuluh ayamnya, Emak pun bekerja lebih keras dengan membuat kue-kue andalannya. Semua untuk keperluan Taufiq berangkat ke Kota Pendidikan. Akhir tahun usai ujian, Taufiq segera mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk masuk ke universitas. Kakaknya, Hud turut membantunya untuk mencari kos yang dekat dengan universitas yang ia tuju setelah tahu bahwa adiknya diterima di IAIN Malang.
Saat Taufiq berpamitan menuju Malang, Emak dan Bapak hanya berpesan dua hal padanya. Jangan pernah tinggalkan salat malam dan mengaji. Pesan Emak dan Bapak itu lah yang terus ia bawa sebagai bekal untuk dirinya ketika jauh dari orang tua. Pesan yang sama ia dapatkan dari Mbah Isom, guru mengajinya. Bersyukur Taufiq mendapatkan tempat kos yang tepat. Jaraknya hanya sekitar 500 meter dari universitas. Begitu juga dengan induk semangnya, sangat baik hati pada anak-anak kosnya.
Taufiq memulai kehidupan barunya sebagai anak rantau. Kebiasaannya sepulang kuliah adalah mencuci baju dan mulai memasak untuk makan siang. Ia harus mencuci bajunya setiap hari karena ia hanya punya dua pasang kemeja untuk dipakai kuliah. Jika yang satu dipakai maka yang satunya lagi harus bersih, begitu seterusnya. Urusan memasak pun bukan hal baru baginya. Ia banyak belajar dari Emak dan hari-harinya saat mengikuti Pramuka saat di sekolah.
Bersama teman sekamarnya, Taufiq patungan setiap harinya untuk berbelanja. Kemudian dimasak dan dimakan bersama-sama. Meskipun hanya lauk tahu atau tempe dengan sayur bayam, bagi anak kos masakan seperti itu sudah sangat nikmat. Kadang kala ketika Taufiq harus benar-benar menghemat uangnya, ia hanya makan dua kali sehari. Jika ada rezeki lebih, Ibu kos kadang juga memberinya sepiring nasi dan ikan pindang kering untuk makan malam. Semester pertama ini ia lalui dengan berat, ia mencari-cari pekerjaan sambilan belum juga ketemu. Sehingga ia harus pandai mengatur keuangan jika tidak mau kelaparan untuk bulan-bulan berikutnya. Ternyata biaya hidup dan biaya kuliah di kota orang tidak sesederhana yang ia pikirkan. Taufiq pun merencanakan bagaimana caranya agar ia bisa mendapatkan uang tambahan. Ia tidak mau menyerah sebelum berjuang. Meminta uang pada Emak pun ia tak kuasa. Ia harus berdiri di atas kakinya sendiri, kuat dan mandiri.
Bersambung >>
Part sebelumnya :
Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)
Part 2 : Membangun Kembali Harapan
Part 3 : Rumah dari Bambu
Part 4 : Celengan Ayam
Part 5 : Menolak Jadi Tukang Sepatu
Part 6 : Menyelinap di Layar Tancap
Part 7 : Gangguan Rumah Baru
Part 8 : Malam-malam Gangguan
Part 9 : Pesan Mbah Isom
Tambah asyik nih ceritanya 🌻
Jadi teringat jaman ngekos dulu, kangen rumpik ma temen2 kos deh
[…] Part 10 : Semester Pertama […]
[…] Part 10 : Semester Pertama […]