Part sebelumnya : Bekerja Lebih Keras, Berlari Lebih Kencang
Part 14
Selain kegiatan mengajarnya yang sangat padat, hampir-hampir Taufiq tidak memperhatikan kesehatan dirinya sendiri. Suatu ketika ia tumbang karena tenaganya sudah berada di ambang batas. Taufiq terpaksa harus beristirahat selama beberapa hari. Bagaimana tidak? Ia sibuk kuliah dari pagi hingga siang, kemudian lanjut mengajar di sekolah-sekolah. Belum termasuk esktra kulikuler yang kadang mengharuskannya baru pulang di malam hari. Belum ditambah dengan urusan cuci-mencuci. Begitu juga dengan urusan dapur. Ia kadang lupa makan, atau mungkin makan tidak tepat waktu. Inilah yang akhirnya mengakibatkan dirinya tumbang selama beberapa hari.
“Kau harus tahu bahwa hak badan itu juga harus kau tunaikan,” pesan teman sekamarnya yang sudah terlalu sering mengingatkan Taufiq namun tidak diindahkan sama sekali.
“Ingat, kita ini anak kos. Harus pandai menjaga kesehatan jika tak mau masuk rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan malah akan bertambah besar, Naudzubillah.” Tambahnya sambil menyuapkan sesendok bubur ayam panas pada Taufiq yang sedang terbaring lemah.Taufiq hanya mengangguk dan terdiam mendengar penuturan teman sekamarnya sangat perhatian itu.
Benar, ia tidak boleh zalim terhadap dirinya sendiri. Anak kos, jauh dari Emak dan Bapak, ia tak boleh jatuh sakit lagi. Atau uang hasil jerih payahnya selama ini yang dikumpulkan akan berakhir sia-sia masuk pundi-pundi Rumah Sakit. Taufiq terkena gejala tipus setelah ia memeriksakan dirinya ke dokter. Untunglah ia tak harus opname, cukup rawat jalan dengan beristirahat total dari kegiatan-kegiatannya selama ini. Ia sengaja tak memberi tahu Emak dan Bapak di kampung, karena tahu mereka pasti akan sangat khawatir. Maka hanya teman kos sekamarnya dan beberapa temannya yang lain yang tahu kondisi Taufiq. Satu minggu lamanya ia harus beristirahat sampai kondisi tubuhnya sembuh total.
Anak didik pertamanya, bocah lelaki anak Baba Yasir datang menjenguknya dan membawakan dirinya krengsengan daging sapi setelah satu minggu ia hanya makan bubur dan nasi tim. Taufiq merasa senang karena ternyata ia tidak hanya diperlakukan sebagai tenaga pengajar yang diupah oleh Baba. Namun ia sudah dianggap seperti saudara. Bahkan ketika Taufiq libur mengajar pun ia tetap mendapatkan gaji mengajarnya selama satu bulan.
Baba yang sungguh mulia dan baik budinya itu juga tak pernah mempermasalahkan anaknya yang tidak juga bisa membaca AlQuran. Iya, si bocah itu tetap belum bisa membaca AlQuran karena setiap Taufiq datang untuk mengajar, ia tak mau maju ke halaman berikutnya selain : An In Un, Ban Bin Bun.
“An In Un Ban Bin Bun, An In Un Ban Bin Bun,” celotehnya sambil menggerakkan badannya ke kanan dan kiri. Lebih terlihat seperti joget daripada mengaji.
“Ayo ke halaman selanjutnya, yang ini kamu sudah pintar.” Taufiq memperingatkannya agar ia mau memasuki halaman selanjutnya, pelajaran berikutnya.
“Ngga mau! Ini saja. Oh ya, aku punya permainan baru,” bocah itu lagi-lagi mengalihkan perhatiannya untuk absen mengaji lagi.
“Permainan apa? Kita main lagi lah nanti setelah mengaji,” Taufiq mencoba untuk tidak menururti bocah laki-laki itu. Namun siasat sang bocah selalu berhasil membuat pelajaran mengaji hari itu hanya berlangsung lima hingga sepuluh menit saja. Sisanya mereka habiskan untuk makan-makan atau bermain-main.
Taufiq sudah pernah menyampaikan ini pada Baba karena rasa sungkannya. Namun Baba bilang tak mengapa, namanya juga anak-anak. Ia memang cenderung suka bermain. Mau mengaji sepuluh atau paling lama lima belas menit saja itu sudah hebat. Jika dipaksakan, justru akan membuat si bocah tidak akan mau mengaji lagi. Maka Taufiq pun menjaga amanat Baba dengan mengikuti permainan si bocah meskipun perkembangan mengajinya sangat lambat.
Sore itu sepulang mengajar mengaji pertama kalinya setelah Taufiq jatuh sakit, ia mendapati Emaknya berada di rumah kosnya yang sederhana. Betapa kagetnya ia karena melihat Emak yang sudah duduk bersama dengan ibu kosnya di halaman.
“Emak? Kenapa tidak mengabari dulu?” Taufiq segera menghampiri Emaknya dan mencium punggung tangannya.
“Sudah sehat?” Emak justru menanyakan keadaan Taufiq.
“Sudah, Emak tahu darimana?”
Emak tidak menjawab malah tersenyum dan memberikan bungkusan yang sedari tadi dipeluknya pada Taufiq.
“Makanan kesukaanmu. Habiskan bersama Mukhlis. Emak tidak bisa memberimu banyak uang saku, hanya segini.” Tutur Emak sambil menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribu pada Taufiq.
“Ya Allah Mak, kan kulo sampun sanjang. Ndak usah dikirimi uang. Sudah cukup. Kulo sampun ngajar ten MTs,” Taufiq tergugu, hatinya sungguh pilu melihat Emaknya yang semakin senja, guratan keriput dimana-mana. Maksud hati ingin mengembalikan uang yang diberikan Emak, namun Emak menahan tangannya.
“Simpan dulu kalau begitu, siapa tahu butuh. Beberapa bulan ke depan mungkin Emak belum bisa memberi kamu sangu, Mbakyumu bulan depan menikah.” Kata Emak sumringah.
“Ning Ruqoyah? Ning Yah?”
Emak mengangguk.
“Kemudian beberapa bulan lagi Naning yang menikah. Emak akan sibuk. Kau harus pandai menjaga dirimu sendiri. Jaga kesehatanmu.” Emak menasihati. Taufiq mengangguk takzim.
Alhamdulillah. Waktu berlalu sangat cepat, tak terasa Ning Ruqoyah, kakak perempuannya yang dulu suka memandikannya saat kecil sebentar lagi akan menikah. Menjadi milik orang lain. Itu artinya Emak hanya tinggal bersama Naning, adik perempuannya yang juga sebentar lagi dikabarkan akan menikah setelah Ruqoyah. Hati Taufiq berbunga sekaligus teriris. Malu, karena dirinya hanya bisa menyusahkan sebab biaya kuliah yang tak sudah-sudah.
Bersambung >>
Part sebelumnya :
Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)
Part 2 : Membangun Kembali Harapan
Part 3 : Rumah dari Bambu
Part 4 : Celengan Ayam
Part 5 : Menolak Jadi Tukang Sepatu
Part 6 : Menyelinap di Layar Tancap
Part 7 : Gangguan Rumah Baru
Part 8 : Malam-malam Gangguan
Part 9 : Pesan Mbah Isom
Part 10 : Semester Pertama
Part 11 : Dua Puluh Lima Rupiah
Part 12 : Berkah dari Allah
Part 13 : Bekerja Lebih Keras, Berlari Lebih Kencang