Part sebelumnya : Mengungkap Rasa
Part 19
Malam itu ia pulang dengan perasaan hampa. Sri tak ada di rumah. Bapaknya juga tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Taufiq merasa gamang, ingin melanjutkan tapi ia malu. Ingin bertanya pada Sri langsung, tapi tak tahu bagaimana caranya menemuinya. Meskipun ia tahu kegiatan Sri dimana dan apa saja. Namun Taufiq belum berani menemuinya sendirian, di tempat umum pula. Namun niat baiknya ini dituntun oleh Allah hingga malam ini pun Taufiq punya tekad dan keberanian untuk datang lagi ke rumah Sri. Kali ini ia sudah memastikan bahwa Sri sudah ada di rumah, usai latihan Qiroah katanya.
Ketika datang ke rumah Sri, Taufiq disambut baik oleh Ibunya. Bapaknya kali ini yang tak ada. Teh panas dan pisang goreng dihidangkan di depannya justru membuat dirinya lebih grogi dibanding sebelumnya. Sikap baik sang Ibu justru membuatnya kikuk.
“Diminum Nak,” kata beliau kemudian sambil berlalu meninggalkan Taufiq sendirian di ruang tamu. Tak lama kemudian Sri datang dan mengernyitkan kening. Mungkin antara kaget dan tak menyangka yang datang adalah Taufiq. Sri ikut duduk beberapa meter dari Taufiq.
“Ada apa Mas?” Sri langsung bertanya to the point pada laki-laki di depannya. Begitulah Sri, selalu spontan tanpa tedeng aling-aling. Mengungkapkan apa yang ia suka dan tidak ia suka secara jujur pada orang di depannya. Justru itulah yang membuat Taufiq tertarik padanya. Kepribadiannya yang berani dan spontan sungguh bertolak belakang dengan Taufiq yang tertutup dan pemalu.
“Saya sudah menyampaikan maksud kedatangan saya ke Bapakmu kemarin malam.” Taufiq pun tak mau kalah dengan memberikan sinyal pada Sri yang pasti sudah tahu kedatangannya untuk apa. Taufiq tahu Sri hanya ingin mengujinya.
“Oh, itu beneran?” Sri malah bertanya dengan lucunya. Taufiq ingin tertawa tapi ditahan, ia pun hanya mengangguk.
“Gimana ya mas, kasih saya waktu dulu ya buat mikir,” Sri menjawab enteng. Raut wajahnya namun tampak serius. Taufiq memahami, mungkin Sri kaget tiba-tiba dilamar oleh lelaki yang selama ini hanya dia ketahui sebagai sosok dingin dan pemalu saja. Mengobrol pun jarang. Taufiq pun memberi waktu pada Sri dan berharap dirinya memberikan jawaban secepatnya pada Taufiq.
“Jangan lupa istikharah ya.” Ujar Taufiq sebelum berpamitan pada Sri.
“Insya Allah Mas.” Sri kemudian mengantar Taufiq hingga depan pintu rumah bersama dengan Ibunya yang sedari tadi senyum-senyum melihat anaknya dilamar oleh pria yang bahkan belum dikenal Ibunya. Namun dari keberanian dan santunnya adab Taufiq ketika bertamu ke rumah Sri, ibunya segera tahu bahwa Taufiq adalah lelaki yang baik dan santun. Jarang ada lelaki seperti itu di dunia ini. Jika menginginkan seorang wanita, maka ia langsung datang pada walinya, bukan membicarakannya empat mata di pinggir jalan. Sungguh tak pantas dilihat oleh budaya kita. Apalagi di agama kita.
Dalam waktu singkat, Ibu pun menyukai Taufiq. Ibu menyampaikan pendapatnya tentang Taufiq di depan Sri dan Bapaknya secara terang-terangan. Bapak hanya diam tak merespon, asyik dengan dunianya sendiri. Sri pun senyum-senyum sendiri. Berharap diberikan Allah jawaban yang terbaik. Ia pun semakin dekat dengan Tuhannya, bangun malam dan memohon petunjuk. Ia semakin rajin salat malam sejak kedatangan Taufiq. Ia tahu berharap pada Allah tak akan pernah membuatnya kecewa. Apalagi Ibunya juga sangat mendukungnya menerima lamaran lelaki itu. Satu minggu lagi, ia harus memberi jawaban. Begitu kata Ibunya. Jangan membiarkan orang berlama-lama menunggu jawaban kita, tidak baik. Karena ia juga punya hak untuk tahu secepatnya.
Taufiq pun tak pernah lepas dari sajadahnya kala purnama mulai menghilang dan akan diganti dengan garis fajar. Ia memohon agar Allah memberikan kelembutan hati untuk Bapaknya Sri yang tampak keras perangainya pada sang Penggenggam Hati. Ia yakin hanya Allah Sang Maha Pembolak-balik hatilah yang bisa menolongnya. Ia juga memohon agar hatinya dikuatkan ketika menghadapi orang tua Sri. Ia tahu itu tidak akan mudah. Lelaki sepertinya yang tak punya apa-apa ini sudah pasti punya banyak kendala ketika melamar kembang desa seperti Sri. Bahkan ia juga mendengar rumor bahwa Sri juga dilamar oleh pegawai kantoran yang sudah bermobil. Namun Sri juga belum menjawab lamaran itu, jadi Taufiq masih punya kesempatan. Hanya doa yang Taufiq punya sebagai senjatanya. Hanya iman yang ia punya untuk menolong kekalutan dan rasa mindernya yang besar itu.
Malam itu pun tiba. Taufiq berencana kembali lagi ke rumah Sri untuk menanyakan jawabannya. Sri yang dinanti pun sudah siap memberikan jawaban malam itu juga dengan segala pertimbangan dari Ibu dan Bapaknya.
“Bagaimana?” Tanya Taufiq tanpa basa-basi.
“Duduk dulu deh, saya pingin Mas tahu bagaimana keluarga saya dulu.” Sri kemudian siap menceritakan bagaimana kehidupan keluarganya yang mungkin tidak pernah diketahui orang lain sebelumnya. Taufiq mengangguk, kemudian duduk. Siap mendengarkan cerita dari Sri.
Bersambung >>
Part sebelumnya :
Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)
Part 2 : Membangun Kembali Harapan
Part 3 : Rumah dari Bambu
Part 4 : Celengan Ayam
Part 5 : Menolak Jadi Tukang Sepatu
Part 6 : Menyelinap di Layar Tancap
Part 7 : Gangguan Rumah Baru
Part 8 : Malam-malam Gangguan
Part 9 : Pesan Mbah Isom
Part 10 : Semester Pertama
Part 11 : Dua Puluh Lima Rupiah
Part 12 : Berkah dari Allah
Part 13 : Bekerja Lebih Keras, Berlari Lebih Kencang
Part 14 : Kabar Bahagia Ning Yah
Part 15 : Wanita Berkerudung Putih
Part 16 : Sweet Destiny
Part 17 : Sang Dewi bernama Sri
Part 18 : Mengungkap Rasa
Ih … Bersambung ya 😊🤗😂kan pinisirin. Yuk main juga ke Tokyo y, lama tak bersua 😊lilis
Semoga jawaban ala mas anang hermansyah yg didapat taufiq ya..”aki sih yes” 😁😁
[…] Part sebelumnya : Jawaban Istikharah […]